Mohon tunggu...
Trie Yas
Trie Yas Mohon Tunggu... Jurnalis - Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Ayo ke Jakarta Biennale! Besok Hari Terakhir

16 Januari 2016   13:17 Diperbarui: 16 Januari 2016   20:31 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Jakarta Biennale ke-16 ini berlangsung dari 15 November 2015-17 Januari 2016."]

Perhelatan akbar seni rupa kontemporer dua tahunan, Jakarta Biennale 2015 tidak terasa akan berakhir besok (17/01/16). Setelah selama 2 bulan Jakarta Biennale hadir  memeriahkan kota Jakarta dengan mengusung tema “Maju Kena, Mundur Kena: Bertindak Sekarang”. Tema tersebut diangkat sebagai sebuah tinjauan atas masa kini, tanpa terjebak dalam nostalgia akan masa lalu dan utopia masa mendatang.

Selama pameran berlangsung Jakarta Biennale 2015 juga menyelenggarakan berbagai rangkaian program publik dan program pendukung seperti akademi, lokakarya, edukasi publik, simposium, tur biennale, weekend market, dan lain sebagainya yang dapat dinikmati oleh semua orang.

[caption caption="Suasana Jakarta Biennale 2015."]

[/caption]Creative Weeked Market VI “Pasar Loak” Vintage Market yang dimulai hari Jumat (15/01) masih terbuka untuk umum dan gratis sampai pukul 21.00 WIB (16/01). Begitu juga Perfomance Art Tisna Sanjaya & Reak “Meruwat Jakarta” dibuka dari pukul 14.00-16.00 WIB. Sedang penutup acara besok, Sabtu  (17/07) Music Performance Silampukau (Surabaya) dan OM Pengantar Minum Racun (Jakarta) dari pukul 19.30 sampai selesai. Semua acara gratis dan terbuka untuk umum.

Jakarta Biennale ke-16 ini berlangsung dari 15 November 2015-17 Januari 2016. Penyelenggaraan pameran utama diadakan di Gudang Sarinah, Jalan Pancoran Timur II No. 4, Jakarta Selatan. Acara ini didukung oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, Dewan Kesenian Jakarta, serta Sarinah Dept. Store.

Tahun ini Jakarta 2015 melibatkan 70 seniman baik kelompok maupun individu, terdiri dari 42 seniman dari Indonesia dan 28 seniman mancanegara dengan memfokuskan masalah ekonomi, sosial, lingkungan dan dinamika masyarakat saat ini. Cukup mendapatkan tanggapan positif, baik itu dari masyarakat, media lokal maupun media internasional.

Ada tiga topik besar yang diangkat Jakarta Biennale 2015,

Pertama : Tentang penggunaan dan penyalahgunaan air.

Sampai sekarang air masih menjadi isu yeng belum terpecahkan di Indonesia. Air bisa menjadi sumber kehidupan namun juga bisa menjadi bencana.

Evelya Pritt, yang akrba disapa Epel, membuat portraiture tentang air. Tidak seperti manusia, air tak bisa berpura-pura di depan kamera, hadir di berbagai tempat di langskap alam maupun lingkungan buatan. Perilaku air banyak dibentuk oleh tindak tanduk manusia sekitarnya. Air adalah kejujuran akan kemanusian. Jika pada musim hujan banyak tempat di genangi air. Itu masyarakat harus sadar air yang meluap adalah bentuk akibat dari perilaku masyarakat itu sendiri.

Hampir 3 bulan Epel mengikuti keberadaan air tiga tempat; Kampung Geulis Bogor, serta Kampung Pulo dan Kampung Maja di Jakarta, rangkaian foto yang dihasilkan merupakan kegaraman sifat air. Air bisa santai di suatu tempat, diam di tempat lain atau berbuih di tempat lainnya. Bisa menunjukan kejernihan sekaligus kekotoran.

Melalui karya ini Epelsecara khusus berbicara tentang makna perempuan dan air. Selama ini perempuan diasosiasikan dengan bekerja domestik, seperti mencuci dan beberes rumah, sementara air adalah simbol pemeberi kehidupan. Ibu Pertiwi.

Berbeda dengan yang dilakukan Iswadi. Seniman kelahiran Pidie 1977 silam yang kini aktif di salah satu sanggar lukis bernama Apotek Wareuna menjadi satu-satunya lukisan yang dipajang di Jakarta Biennale.

Lukisan pertama Iswadi adalah 'Menjamu Tamu', 'Konferensi Air', dan 'Robot Kapitalis'. Melalui kanvas yang masing-masing berukuran 140 x 290 sentimeter tersebut Iswadi mencoba berbicara tentang komersialisasi air. Seperti di 'Menjamu Tamu', dia mempertanyakan air tanah itu milik siapa. Sedangkan di karya kedua menampilkan seekor lalat besar berbentuk robot sedang mengisap bumi yang gersang. Selain itu, Iswadi juga menampilkan sebuah gelas yang besar dan bumi yang bertengger di sisinya. Tak jauh dari gelas, ada ekor lalat mengisap air yang tumpah.  Melalui karya lukisannya Iswadi seolah menggambarkan metafora bagi orang-orang yang mengisap hasil alam, termasuk air.

[caption caption="Melalui karya lukisannya Iswadi seolah menggambarkan metafora bagi orang-orang yang mengisap hasil alam, termasuk air."]

[/caption]Kedua: Sejarah

Refleksi terhadap masa lampau pada masa kini, memori dan tradisi membentuk perilaku kita hari ini. Sejarah Bangsa kita  banyak kejadian dan peristiwa yang menjadi luka dan trauma perlu untuk dibicarakan kembali. Melalui media seni, sejarah dapat dituturkan kembali dengan cara yang mampu menggugah kesadaran masyarakat. Karya seni bisa menjadi sebuah platform yang baik untuk kembali membicarakan tentang peristiwa sejarah. Tidak hanya sekadar membicarakan, tapi juga sebagai pengingat. Salah satu cara untuk menghargai dan menanggapi apa yang terjadi di masa lalu.

Seperti karya seniman Idrus bin Hasan yang membuat mural menyerupai burung Garuda bertuliskan 'Bhoneka Tinggal Luka'. Sebagai ungkapan untuk Aceh yang tidak punya ruh untuk bergerak sesuai dengan keinginannya sendiri.  Sedang  istilah  'Menolak Jawai' sengaja digunakannya sebagai kata yang cocok untuk mengingat kembali peristiwa yang terjadi di Aceh, mengkritisi dan merespons kota kelahirannya.

“Kata ‘Jawai, Bukan kata ‘Jawa’ Karena saya lebih senang menggunakan kata ‘Jawai” daripada menolak lupa.”, ungkap Idrus,  Pendiri Komunitas Kanot Bu. Kata 'Jawai' dalam bahasa Aceh berarti penyakit lupa yang kerap melanda para lansia atau dikenal dengan 'pikun'.

[caption caption="Garuda bertuliskan 'Bhoneka Tinggal Luka'. Karya Idrus bin Hasan Sebagai ungkapan untuk Aceh yang tidak punya ruh untuk bergerak sesuai dengan keinginannya sendiri."]

[/caption]Ketiga: Isu Gender

Identitas gender dan pembagian peran gender dalam masyarakat. Banyak dari kita yang mencoba untuk kompromi atau bahkan menentang pada batasan identitas gender yang ada. Pembagian gender yang timpang melahirkan relaksi kuasa yang sering kali beujung pada kekerasan.

Sebanyak 5 seniman perempuan Tanah Air berpartisipasi dan membuat mural di 5 wilayah ibukota dan dinding Gudang Sarinah, Jalan Pancoran Timur 2, Jakarta Selatan. Mereka adalah Cut Putri asal Banda Aceh yang buat mural di Komunitas Paseban, Jakarta Pusat. Dari Jakarta, ada 4 seniman yang berpartisipasi yakni Aprilia Apsari dan Wonderyash di Rusunawa Marunda, Jakarta Utara. Serta Sanchia T.Hamidjaja di Petamburan, Jakarta Barat. Seniman yang terakhir adalah Marishka Soekarna asal Depok. Dia membuat mural di Taman Kanak-kanak (TK) di Penjaringan, Jakarta Utara. Kelimanya pun tengah menciptakan mural di gudang pertama Sarinah. 

Isu gender bukan hanya bicara soal seksualitas maupun kekerasan dalam rumah tangga. Tapi juga menyuarakan suara dan aspirasi dari seniman perempuan. Selain mural ke-5 seniman perempuan, Jakarta Biennale juga mengisi ruang-ruang kota melalui proses kerja bareng komunitas di beberapa wilayah ibukota. Seperti Condet, Penjaringan, Pejagalan, Petamburan, Marunda, Jatiwangi di Jawa Barat, dan area pinggir Kali Surabaya, Jawa Timur.

[caption caption="Karya Arahmaiani (Yogyakarta), instalasi pakaian-pakaian yang setiap helainya menyimpan jejak kekearasan dari beberapa generasi."]

[/caption]Jakarta Biennale adalah wujud dari pengamatan tajam akan fenomena dalam bidang sosial budaya dan tahun ini hadir berbeda dari sebelumnya, salah satunya karena untuk pertama kali bekerjasama dengan kurator internasional, Charles Esche, Seorang kurator dan penulis asal Skotlandia. Charles telah berpengalaman sebagai kurator pada beberapa biennale seni rupa internasional seperti Gwangju, Istanbul, dan Sao Paulo.

“Jakarta Biennale sejak tahun 2009 lalu telah mampu bertransformasi dengan melibatkan publik dan ruang-ruang kota sebagai bagian dari praktek serta strategi artistiknya. Mendukung praktik-pratik seni rupa yang kritis terhadap publik dan ruang kotanya,”jelas Ade Darmawan, Direktur Eksekutif Jakarta Biennale yang berpendapat Charles Esche sosok tepat menjadi kurator Jakarta Biennale tahun ini. Selain pengalaman mumpuin juga visi artistik, sosial, dan politik. Menjadikan Jakarta Biennale sebagai platform yang memiliki peran edukasi baik secara umum yakni public dan secara khusus di wilayah praktik pengetahuan seni rupa.

Beberapa program seperti akademi, lokakarya, edukasi publik, simposium, tur biennale, dan bazar seni pun akan mewarnai perhelatan seni rupa kontemporer ini. 

 ***

[caption caption="Evelya Pritt, yang akrab disapa Epel, membuat portraiture tentang air."]

[/caption]

[caption caption="Konferensi Air Melalui karya lukis Iswadi mencoba berbicara tentang komersialisasi air."]

[/caption]

[caption caption="Pengunjung tidak hanya datang dari masyakarat sekitar tetapi para turis juga sangat antusias dengan pameran seni rupa kontemporer dua tahuanan, Jakarta Biennale."]

[/caption]Foto-foto koleksi pribadi (Trie yas) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun