Mohon tunggu...
Lanjar Wahyudi
Lanjar Wahyudi Mohon Tunggu... Human Resources - Pemerhati SDM

Menulis itu mengalirkan gagasan untuk berbagi, itu saja. Email: lanjar.w77@gmail.com 081328214756

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Evaluasi Diri Sendiri untuk Hasil yang Lebih Baik

3 Desember 2022   17:42 Diperbarui: 10 Desember 2022   20:07 737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersalaman (Shutterstock)

Jika harapan dan hasil pencapaian digambarkan sebagai dua buah lingkaran yang saling beririsan, maka jika semakin besar irisan yang terbentuk hal ini menandakan semakin baik pula kualitas evaluasi diri yang telah kita lakukan. 

Evaluasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai kegiatan untuk menganalisis sebuah pencapaian atas hal-hal yang sudah direncanakan atau diharapkan. Maka unsur pertama yang harus ada adalah adanya hal yang direncanakan atau diharapkan. 

Misalnya adalah seorang Ayah yang ingin membeli mobil untuk keluarga, seorang anak yang ingin membelikan tiket umroh untuk orangtuanya, seorang ustadz yang ingin meningkatkan jumlah jamaah pada pengajian ahad pagi. 

Atau seorang mahasiswa yang ingin mendapatkan IPK 4, seorang manajer yang ingin membuat staf specialistnya menguasai kompetensi tertentu sesuai bidangnya, atau seorang salesman yang ingin meningkatkan omzet tahunannya sebesar 30%.

Unsur kedua yang harus ada adalah hasil aktual atau pencapaian, yaitu apa saja yang saat ini sudah dicapai atas berbagai usaha yang dilakukan. 

Misal seorang ayah yang merencanakan membeli mobil di akhir tahun namun ternyata baru bisa mendapatkan 80% dari jumlah uang yang dibutuhkan pada akhir tahun tersebut, seorang manajer yang ingin agar pada kuartal pertama tahun ini staf specialistnya menguasai kompetensi sebagai tester dengan berbagai alat tes untuk seleksi karyawan namun baru bisa terealisasi pada kuartal kedua. 

Atau seorang ustadz yang memimpin kelompok jamaah pengajian ahad pagi yang semula beranggotakan 500 orang kemudian ingin ditingkatkan menjadi 1000 orang dalam 6 bulan namun baru bisa berhasil dalam waktu 9 bulan.

Evaluasi menjadi aspek strategis jika seseorang benar-benar ingin meningkatkan pencapaiannya secara pribadi, maupun secara organisasi. Bukan sekadar mencanangkan harapan atau program namun membiarkannya mengalir tak terukur. 

Pencapaian secara pribadi sebab setiap orang selaku individu tentu memiliki rencana atau harapan yang ingin dicapainya dalam setiap periode usia kehidupannya. 

Secara organisasi sebab setiap pribadi setidaknya pernah bersama-sama dengan orang lain dalam sebuah kelompok dengan tujuan bersama misalnya adalah keluarga, atau lebih mudah lagi jika ia adalah bagian dari organisasi formal seperti perusahaan, komite sekolah, gereja, ormas, dan lain-lain.

Selanjutnya bagaimana cara melakukan evaluasi diri yang terukur dan berkualitas, sehingga bisa didapatkan manfaat lebih lanjut? 

Ada sebuah cara yang cukup sederhana untuk melakukan evaluasi diri. 

Ahli manajemen Peter F. Drucker memberikan tipsnya yaitu kapanpun Anda harus membuat keputusan penting, tulislah apa yang Anda harapkan. Setelah setahun bandingkan harapan itu dengan kenyataan aktualnya alias hasil yang didapatkan.

Tentu saja periode waktu setahun boleh anda variasikan menjadi beberapa sub periode lebih kecil namun berjalan dalam periode utamanya yaitu sepanjang satu tahun tersebut.

Baiklah mari kita ambil contoh seorang anak yang ingin membelikan tiket ziarah rohani ke Yerusalem untuk kedua orangtuanya yang beragama katholik. Anggaplah ia memiliki waktu satu tahun untuk menyiapkan dana sekitar 30 juta per orang, sehingga sama dengan 60 juta rupiah untuk 2 orang.

Kebetulan anak berbakti ini memiliki pekerjaan sebagai pedagang barang elektronik dengan sebuah toko yang cukup lengkap berisi berbagai barang elektronik seperti televisi, mesin cuci, kompor listrik, kipas angin, AC, dan sebagainya. 

Omzet atau hasil penjualan kotornya per bulan adalah sekitar 100 juta rupiah, dengan profit atau keuntungan sekitar 30% yaitu kurang lebih 30 juta rupiah.

Kebutuhan biaya untuk ziarah ke tanah suci kedua orangtuanya adalah 60 juta rupiah alias sama besar dengan profit tokonya dalam 2 bulan. Jika ia ikhlas kehilangan profit selama 2 bulan dalam tahun ini, maka selesai sudah masalah kebutuhan biaya tersebut. 

Namun sebagai seorang pengusaha sekaligus kepala keluarga yang menghidupi istri dan anak-anaknya tentu ia tidak bisa semata-mata memutuskan sesederhana itu. Ia lebih memilih menyiapkan dana 60 juta rupiah tersebut dalam waktu satu tahun atau sama dengan 12 bulan bekerja.

Jika dibagi dalam satu tahun, maka setiap bulan ia harus mendapatkan profit atau tambahan keuntungan sebesar 60 juta rupiah dibagi 12, sama dengan 5 juta rupiah. 

Sehingga total profitnya harus dinaikkan dari 30 juta per bulan menjadi 35 juta per bulan. Sedangkan omzet bulanannya yang semula 100 juta harus dinaikkan menjadi 117 juta rupiah.

Setelah diketahui target penjualannya harus menembus angka 117 juta rupiah per bulan atau naik 17% dari biasanya, maka ia kemudian memikirkan cara-cara yang harus dilakukan agar penjualannya bisa meningkat.

Ia sangat tahu bahwa tokonya memiliki keunggulan sebagai toko elektronik yang sangat mudah dijangkau di daerahnya, tidak memiliki banyak pesaing bahkan hanya ada satu toko berjarak sekitar satu kilometer dari tokonya dan itupun kurang begitu lengkap koleksinya. Dengan keunggulan itu, secara alamiah pembeli pasti memilih datang ke tokonya.

Namun dengan adanya rencana baru untuk menaikkan omzet penjualannya demi bisa membelikan tiket ziarah kedua orang tuanya ke tanah suci Yerusalem maka ia sadar diri tidak bisa lagi berjualan dengan mengandalkan kelebihan atau kekuatan tokonya saat ini. 

Strategi penjualannya kemudian berubah dari yang selama ini relatif pasif dengan mengandalkan kedatangan pembeli ke tokonya menjadi pola penjualan yang lebih proaktif progresif.

Ia mulai membuat berbagai program diskon bahkan membranding tokonya sebagai toko diskon, ia membuat program kredit bagi karyawan pabrik di daerah tersebut dengan menggandeng koperasi karyawan, menggandeng koperasi pegawai pemerintah untuk memberikan kemudahan kredit bagi para pegawai negeri, dan membuat program buy one get one untuk menghabiskan barang stok lama.

Ia juga mengirim tenaga penjualnya untuk membuka stand di acara car freeday setiap hari minggu dengan harga khusus, ia membidik para petani di pedesaan dengan program cicilan setelah masa panen.

Ia membuat program diskon khusus dan pembayaran tempo yang sangat murah untuk pengadaan sound system dan kelengkapannya untuk sekolah, masjid, gereja dan semua lembaga sosial. Dan berbagai program penjualan lain ia buat demi mencapai goal omzet bulanannya.

Dan singkat cerita setelah setahun berjibaku dengan berbagai strategi penjualan, ia berhasil mendapatkan keuntungan fantastis dari bisnisnya. 

Toko yang dalam kondisi biasa mampu menjual 100 juta rupiah per bulan, setelah berjalan setahun mampu menjual 180 juta per bulan, naik 80% omzetnya dengan profit 30%, artinya jumlah rupiah keuntungannya meningkat dari 30 juta menjadi 54 juta rupiah per bulan.

Dengan angka itu praktis kebutuhan untuk membelikan tiket kedua orangtuanya dengan mudah terlampaui, bahkan sebenarnya hanya perlu waktu normal 2,5 bulan jika penjualan relatif stabil diangka 180 juta per bulannya. 

Namun karena situasi yang dinamis ia membutuhkan waktu lebih lama dan itu tidak menjadi masalah karena itu membuatnya semakin terasah dalam menjalankan bisnisnya. Happy ending, kan....

Nah, sekalipun ini hanyalah sebuah alkisah namun bila diresapi ada makna-makna luar biasa yang bisa kita serap:

  • Menyatakan rencana atau harapan adalah awal dari sebuah keberhasilan.
  • Membandingkan pencapaian terhadap hasil aktual secara periodik membuat kita mampu mengetahui kekurangan dan kelemahan yang harus diperbaiki pada tahap pekerjaan selanjutnya.
  • Kemampuan menerima kelemahan dan kekurangan membuat otak kita dipaksa berpikir lebih kreatif untuk menemukan solusi-solusi baru yang kompetitif.

Jika harapan dan hasil pencapaian aktual digambarkan sebagai dua buah lingkaran yang saling beririsan, maka jika semakin besar irisan yang terbentuk hal ini menandakan semakin baik pula kualitas evaluasi diri yang telah kita lakukan. 

Bila lingkaran harapan dan lingkaran hasil akhirnya menyatu, maka sempurnalah kemampuan kita dalam mengevaluasi diri dan berhasil melakukan perbaikan-perbaikan yang membawa perubahan dan manfaat.

Selamat mencoba mengevaluasi diri sendiri dalam perjalanan setahun ini, dan membuat perbaikan-perbaikan ke masa depan untuk hidup yang lebih berkualitas.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun