Teori Penilaian Sosial, yang dikembangkan oleh psikolog sosial Muzafer Sherif, memberikan perspektif komplementer dalam memahami respons individu terhadap pesan. Teori ini mengajukan konsep zona penerimaan, penolakan, dan netralitas yang sangat relevan dalam konteks komunikasi political. Setiap individu memiliki rentang penerimaan (latitude of acceptance) yang berbeda-beda terkait suatu isu, dipengaruhi oleh latar belakang personal, ideologi, dan pengalaman sosial-politiknya.
Dalam zona penerimaan, individu cenderung menerima pesan yang selaras dengan keyakinan dan sikapnya. Mereka yang mendukung putusan Mahkamah Konstitusi akan dengan mudah menerima dan menyebarkan narasi "Peringatan Darurat". Zona penolakan sebaliknya mencakup individu yang memiliki sikap bertentangan, yang cenderung menolak atau bahkan melawan pesan yang disampaikan. Zona netral menjadi ruang paling menarik, di mana individu belum memiliki sikap definitif dan dapat dipengaruhi oleh kualitas komunikasi dan daya tarik simbolik pesan.
Integrasi antara Model ELM dan Teori Penilaian Sosial memungkinkan pemahaman multidimensional tentang proses komunikasi. Kedua teori ini tidak sekadar menjelaskan bagaimana pesan diserap, melainkan juga mengungkap mekanisme psikologis yang kompleks dalam pembentukan sikap dan opini publik. Dalam konteks "Peringatan Darurat Garuda Biru", kombinasi elemen visual yang kuat, argumen verbal yang tajam, dan simbol nasional yang bermakna menciptakan strategi komunikasi yang mampu menjangkau berbagai segmen masyarakat dengan cara yang berbeda.
Secara metodologis, kedua teori ini memungkinkan peneliti untuk tidak sekadar mendeskripsikan fenomena komunikasi, melainkan menganalisis struktur psikologis yang membentuk respons sosial. Penelitian ini akan mengeksplorasi bagaimana jalur sentral dan perifer berinteraksi, serta bagaimana zona penerimaan individu dapat dipengaruhi melalui strategi komunikasi yang cerdas dan sensitif terhadap konteks sosial-politik.
PEMBAHASAN
Fenomena "Peringatan Darurat Garuda Biru" mengungkap kompleksitas komunikasi digital dalam ranah perpolitikan Indonesia, di mana komunikasi verbal dan non-verbal berinteraksi secara dinamis untuk membentuk narasi kolektif. Analisis mendalam terhadap berbagai aspek komunikasi memberikan wawasan signifikan tentang mekanisme penyebaran informasi dan pembentukan opini publik.
Dimensi komunikasi verbal dalam fenomena ini menunjukkan struktur argumen yang kompleks dan strategis. Narasi utama yang dikembangkan masyarakat berfokus pada kritik terhadap tindakan DPR yang dianggap inkonstitusional. Argumen kunci seperti "DPR melanggar keputusan Mahkamah Konstitusi" dan "revisi Undang-Undang Pilkada bertentangan dengan UUD 1945" menjadi penanda penting dalam konstruksi wacana publik. Secara linguistik, penggunaan terminologi hukum dan konstitusional menciptakan kerangka rasional yang memungkinkan audiens memahami substansi persoalan di luar sekadar emosi.
Komunikasi non-verbal, terutama melalui visual simbol Garuda Pancasila berlatar belakang biru, menunjukkan efektivitas tinggi dalam mentransformasi pesan politis. Desain visual yang dipilih tidak sekadar estetis, melainkan memuat muatan simbolik yang kaya. Warna biru dengan konotasi darurat dan simbol Garuda Pancasila yang memiliki signifikansi nasional menciptakan medan komunikasi yang mampu melampaui batas-batas ideologis dan demografis.
Ditinjau dari perspektif Model Elaboration Likelihood (ELM), fenomena ini menampilkan interaksi kompleks antara jalur sentral dan perifer. Jalur perifer ditandai dengan penyebaran cepat gambar visual yang mampu menciptakan kesan emosional instan. Masyarakat yang tidak memiliki kapasitas atau motivasi untuk memproses informasi secara mendalam dapat langsung terpengaruh oleh elemen visual yang kuat. Sebaliknya, jalur sentral melibatkan kelompok masyarakat yang lebih kritis, yang melakukan pengolahan informasi secara mendalam dengan menganalisis argumen konstitusional dan implikasi politis dari tindakan DPR.
Teori Penilaian Sosial memberikan perspektif tambahan dalam memahami variasirespons masyarakat. Zona penerimaan didominasi oleh kelompok yang sudah memiliki sikap kritis terhadap lembaga legislatif, mereka dengan cepat mengadopsi dan menyebarkan narasi "Peringatan Darurat". Zona netral menunjukkan dinamika menarik, di mana simbol Garuda Pancasila berperan signifikan dalam menarik perhatian dan potensial mengubah sikap individu yang sebelumnya tidak memiliki posisi politis yang jelas.
Aspek psikologis penyebaran informasi melalui media sosial menjadi temuan kritis dalam penelitian ini. Mekanisme viralitas tidak sekadar bergantung pada kualitas pesan, melainkan juga pada kapasitas pesan untuk membangkitkan respons emosional. "Peringatan Darurat Garuda Biru" berhasil menciptakan apa yang dapat disebut sebagai "respons kognitif-afektif", di mana stimulus visual dan verbal menciptakan kesan mendalam yang secara simultan memengaruhi struktur kognitif dan emosional penerima pesan.