Peluk erat dan tangis haru mewarnai event wisuda dan pelepasan siswa-siswi kelas 6 kala itu. Bukan hanya karna hari itu adalah hari perpisahan dengan siswa-siswi yang akan melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya, namun nampaknya karna ada jenis perpisahan yang lain. Anehnya lagi, moment itu terjadi setelah acara rampung dan sebagian besar siswa beserta orangtuanya telah meninggalkan lokasi acara sementara yang tersisa hanya para guru yang juga merupakan panitia.
Momen mellow itu terjadi antar sesama guru. Iya, hari itu ada beberapa guru yang diketahui akan resign dan tak lagi melanjutkan menjadi pengajar di sekolah tersebut. Ada yang telah bergabung selama setahun, 3 tahun bahkan ada yang lebih dari 10 tahun.Â
Tentunya keputusan untuk resign bukanlah keputusan yang mudah bagi seorang guru. Diakui atau tidak biasanya keputusan untuk resign merupakan opsi terakhir yang dipilih sebelum opsi-opsi lain yang telah ditempuh namun menemui jalan buntu.Â
Berbeda dengan jenis profesi yang lain, guru melibatkan lebih banyak ikatan emosional dalam kehidupan pekerjaannya sehari-hari. Hal itu karna ia berhadapan secara langsung dan terus menerus dengan siswa, orangtua, rekan kerjanya. Oleh sebab itu, berhentinya seorang guru di sebuah sekolah akan berdampak terhadap sekolah tersebut baik secara langsung maupun tidak. Dampak yang dihasilkan pun beragam, bisa saja negatif atau sebaliknya tergantung sebaik apa kontribusi guru yang keluar bagi sekolah. Hilangnya guru yang pintar, pekerja keras, kreatif, inovatif serta disukai oleh siswa jelas merupakan kiamat kecil bagi sebuah sekolah.Â
Peristiwa pergantian pekerja dalam sebuah lembaga sering kita sebut dengan istilah turnover. Tidak hanya di perusahaan istilah tersebut juga berlaku pada lembaga pendidikan khususnya sekolah swasta yang sebagian besar gurunya merupakan pegawai Non PNS.Â
Sedangkan pada sekolah negri, umumnya fenomena turnover hanya terjadi pada guru yang statusnya honorer atau kontrak. Adapun guru-guru yang berstatus PNS jarang sekali berhenti dari sebuah sekolah kecuali karena pensiun atau karna penugasan (mutasi).
Turnover atau pergantian guru menjadi permasalahan di banyak sekolah perkotaan selama bertahun-tahun (Sachs; 2004). Guru pemula berkontribusi lebih banyak terhadap pergantian guru dengan meninggalkan profesinya segera setelah belum lama bekerja.Â
Sebuah studi yang dilakukan oleh Goldring dan kawan-kawan pada tahun 2014 menyebutkan 7 sampai 30% guru meninggalkan profesinya dalam 3 tahun pertama mengajar. Survey yang diberi judul Teacher attrition and mobility tersebut dipublish oleh National Center for Education Statistics.Â
Studi yang berbeda menyebutkan pada sekolah-sekolah perkotaan sebanyak 70% guru baru dapat meninggalkan posisinya dalam lima tahun pertama mereka mengajar. (Papay et all: 2015)
Hal tersebut juga sering penulis jumpai pada akhir dan awal tahun ajaran. Hampir setiap tahun ada saja broadcast message yang masuk ke grup WhatsApp atau media sosial lainnya yang berisi informasi lowongan pekerjaan menjadi guru.Â
Tak terkecuali sekolah tempat penulis bekerja yang setiap tahunnya membuka lowongan untuk guru-guru baru. Lowongan dibuka karena ada guru yang keluar juga karena ada penambahan kelas.Â