Tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Murni (bukan nama sebenarnya), seorang guru di salah satu TK di kota Malang bahwa ia akan terjerat hutang hingga puluhan juta rupiah. Berawal dari tuntutan lembaga tempat ia mengajar yang mengharuskan seluruh pengajarnya bergelar sarjana, ia pun yang sudah mengabdi selama 13 tahun di sekolah tersebut mau tidak mau harus memiliki gelar S1. Sayangnya, dalam hal ekonomi ia bukan dari kalangan berada. Karna keterbatasan biaya itulah ia pun terpaksa mengambil jalan pintas yaitu meminjam uang sebesar 2,5 juta melalui aplikasi Fintech alias Pinjaman Online (PinJol) untuk membayar uang kuliahnya.
Akhirnya ia pun bisa melanjutkan pendidikan berbekal dana tersebut. Namun ketenangan Murni dalam menimba ilmu hanya berlangsung singkat, ia mulai bingung ketika cicilan pinjolnya telah jatuh tempo. Gaji 400 ribu dari mengajar yang ia terima habis untuk keperluan sehari-hari.Â
Tanpa berfikir panjang dan karna khawatir hutangnya diketahui oleh pihak sekolah, Murni kembali meminjam uang melalui pinjol yang berbeda untuk menutupi hutang sebelumnya, dalam istilah lain gali lubang tutup lubang.Â
Singkat cerita, dari awalnya hanya 1 aplikasi pinjol, kini murni terlilit hutang oleh 24 aplikasi pinjol. Dari 24 aplikasi tersebut, hanya 5 yang legal. Sisanya sebanyak 19 aplikasi merupakan PinJol ilegal.
Syahdan... Murni pun kebingungan, ia mendapatkan teror bertubi-tubi dari penagih hutang (debt colector) 19 pinjol ilegal tersebut. Kata-kata makian serta ancaman menjadi santapannya sehari-hari. Pada titik tertentu, murni bahkan sempat ingin bunuh diri karena data-data dirinya akan disebar ke media sosial oleh sang penagih hutang.Â
Tak hanya sampai disitu, murni juga harus rela kehilangan pekerjaannya sebagai guru karna dipecat oleh sekolah tempat ia mengajar. Beruntung ia memiliki keluarga dan kerabat yang menguatkannya, ia juga disarankan untuk melaporkan apa yang dialaminya ke lembaga bantuan hukum.Â
Dengan bantuan LBH itulah akhirnya murni diberikan kelunasan oleh 5 aplikasi pinjol legal tempat ia berhutang. Namun ke 19 pinjol yang lain masih menagih murni, sampai kemudian murni mendapatkan bantuan kemanusiaan dari Baznas Kota Malang sebesar 26,2 juta rupiah untuk membayar sisa hutangnya kepada aplikasi-aplikasi Fintech tersebut.Â
Mimpi buruk murni pun akhirnya berakhir, ia sangat menyesal dan kapok jika ditawarkan lagi untuk meminjam uang secara online. Ternyata apa yang dialami murni juga banyak terjadi pada guru, mahasiswa juga orangtua yang kesulitan dalam pembiayaan pendidikan dan terjebak hutang melalui Fintech.
Apa itu Fintech?
Fintech merupakan salah satu bentuk kemajuan teknologi di bidang keuangan yang melibatkan artificial Intellegence, big data dan cloud computing. Di era masyarakat 5.0 ini semua bentuk kemudahan serta fleksibilitas menjadi hal yang banyak dicari oleh masyarakat.Â
Masyarakat yang hanya dengan berdiam diri di rumah sudah bisa melakukan dan mendapatkan banyak hal termasuk diantaranya adalah pinjaman dana/uang. Hal tersebut terjadi karna sistem keuangan konvensional seperti bank tidak dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat oleh sebab keterbatasan waktu dan jarakÂ
Fintech menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial definisikan sebagai penggunaan teknologi dalam sistem keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru serta dapat berdampak pada stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, dan/atau efisiensi, kelancaran, keamanan, dan keandalan sistem pembayaran.
Financial Technology (Fintech) memiliki beberapa jenis produk diantaranya adalah Thirdy party payment, peer to peer landing (P2P Landing) dan crowdfounding.Â
Dari ketiga jenis tersebut yang akan penulis bahas disini adalah Fintech P2P Landing yaitu sistem yang mempertemukan orang dengan kebutuhan pendanaan (borrower) dan orang yang bersedia meminjamkan dananya (lender).Â
Sistem tersebut sebagai platform untuk melakukan transaksi pinjam meminjam online tanpa harus bertemu secara tatap muka dan tidak perlu adanya agunan.Â
Sejak terjadinya pandemi Covid-19, keberadaan fintech semakin dibutuhkan oleh masyarakat karena segala transaksi harus dilakukan secara online dan harus meminimalisir transaksi langsung.Â
Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga tanggal 22 Januari 2021 terdapat 148 perusahaan yang bergerak di dunia fintech, serta telah terdaftar dan memiliki izin beroperasi resmi dari OJK (Otoritas Jasa Keuangan, 2021). Itu baru yang terdaftar di OJK, tentunya Fintech P2P Landing yang ilegal jauh lebih banyak.
Sementara itu Fintech P2P Landing juga tak hanya melayani pendanaan kebutuhan harian para borrower namun juga pendanaan di bidang pendidikan.Â
Beberapa hari lalu bahkan tagar #StopPinjolPendidikan menjadi trending topik Twitter. Kita ketahui bersama bahwa kasus-kasus masyarakat korban Fintech P2P Landing atau lebih singkatnya PinJol sudah sangat banyak. Seorang pegawai bank di Surabaya bahkan ditemukan gantung diri di kantornya lantaran tidak bisa melunani hutang PinJolnya. Fenomena kredit macet atau gagal bayarpun terus meningkat setiap tahunnya.
Menurut data OJK selama periode Januari 2021 hingga Januari 2022, jumlah pinjaman yang masih berjalan (outstanding loan) meningkat secara konsisten.Â
Pada Januari 2022, outstanding loan mencapai Rp31,14 miliar. Angka itu melesat dari Januari 2021 yang nilainya sebesar Rp16,07 miliar.Â
Sebagian besar pinjaman atau sekitar Rp25,9 miliar disalurkan kepada peminjam perseorangan, sisanya disalurkan ke peminjam berbadan usaha (lembaga).Â
Tingkat keberhasilan pembayaran 90 hari (TKB90) juga memburuk di lima bulan terakhir, yaitu mentok di angka 97,48%. Itu artinya setiap tahun pelaku peminjaman online semakin banyak, namun tingkat keberhasilan pembayaran semakin menurun.
Pendidikan dan Kewajiban Pemerintah
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengamanahkan bahwa "mencerdaskan kehidupan bangsa dan kesejahteraan umum" merupakan tugas negara. Hal tersebut telah disepakati oleh para founding fathers sebagai salah satu cita-cita negara kita tercinta.Â
Pendidikan yang memadai seyogyanya menjadi tanggung jawab pemerintah, karna kondisi sebuah bangsa tergantung pada bagaimana pendidikan di negara tersebut dikelola. Namun sayangnya, alih-alih mengoptimalkan penggunaan APBN untuk pendidikan agar lebih efektif dan efisien, para petinggi negara malah fokus memperkaya diri sehingga prakter korupsi tak jua habis.
Akibatnya kualitas pendidikan di Indonesia belum terlihat membaik, posisinya di berbagai survey dan jajak pendapat masih berada di bawah negara tetangga Singapura bahkan Malaysia. Ketidakmampuan pemerintah dalam memperbaiki kualitas pendidikan justru membuat pemerintah menyerahkan persoalan pendidikan ke mekanisme pasar, akibatnya warna pendidikan di Indonesia menjadi semakin kapitalis. Sudah menjadi rahasia umum bahwa semakin berkualitas sebuah sekolah maka akan semakin mahal biaya yang dikeluarkan, sehingga si miskin pun semakin sulit menggapai cita-cita yang ia impikan.
Semakin kapitalistiknya pendidikan kita kembali dibuktikan dengan memberi angin segar kepada para pemilik aplikasi Fintech untuk masuk ke sektor pembiayaan pendidikan. Padahal tanpa memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat, hadirnya flatform-flatform Fintech tersebut hanya akan menambah masalah sosial baru. Akan ada murni-murni lain yang akan mengalami gagal bayar sekaligus kehilangan pekerjaannya.
Pada awalnya Fintech P2P Landing di bidang Pendidikan hadir untuk membantu orang-orang yang memiliki aspirasi untuk melanjutkan pendidikan di jenjang selanjutnya. Bahkan diantara mereka ada yang mempunyai misi mentransformasi pendidikan dan berkomitmen terhadap perbaikan ekosistem pendidikan di Indonesia.Â
Karenanya produk yang ditawarkan bukan hanya memberikan pinjaman kepada peserta didik tetapi juga kepada lembaga pendidikan mulai dari TK hingga perguruan tinggi, formal maupun informal seperti lembaga-lembaga kursus dan pelatihan. Tidak hanya untuk kebutuhan pembayaran sekolah/kuliah, pinjaman juga boleh digunakan untuk pembelian gadget, laptop bahkan kendaraan peserta didik.
Bagaimana Islam memandang Fintech?
Islam sebagai agama yang sempurna dan menyeluruh memandang transaksi muamalah (pinjam meminjam) sebagai hal yang diperbuat selama tidak ada pihak yang dirugikan dan dilakukan secara transparan. Namun sejauh ini, menjamurnya flatform-flatform PinJol justru menyuburkan praktek riba di masyarakat. Karna hampir sebagian besar PinJol yang ada membebankan bunga kepada peminjamnya bahkan bunga riba pinjol lebih besar dari pada perbankan. Padahal Islam secara tegas dan jelas melarang praktek riba apapun bentuknya.
Allah SWT berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 275; "Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat).
Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya."
Banyak sekali dalil baik dari Al-Qur'an maupun hadits Rasulullah yang berkaitan dengan pengharaman riba, ia (riba) juga merupakan salaj satu dosa besar yang pelakunya mendapatkan laknat dari Allah dan Rasul-Nya. Serendah-rendahnya dosa riba diibaratkan seperti seorang anak yang menzinahi ibu kandungnya. na'udzubilllahi min dzalik.
Uniknya, untuk mengakomodir masyarakat muslim yang ingin melakukan pinjaman secara online hadirlah fintech-fintech syariah yang menyasar komunitas-komunitas muslim. Namun sayangnya menurut sebagian pakar, praktek pinjaman melalui pinjol syariah juga belum secara total terpisah dari unsur riba, atau pada level tertingginya masih terbilang syubhat (meragukan). Hal tersebut dikarenakan akad pinjol tidak menghadirkan kedua belah pihak antara peminjam dan pemberi penjaman secara langsung padahal dalam transaksi syariah kehadiran keduanya menjadi syarat mutlak.
Sebagai seorang muslim, penulis percaya bahwa praktek-praktek riba yang dinormalisasi oleh sebuah masyarakat bahkan pemerintah akan mengundang bencana-bencana di negri tersebut. Bukan sekedar bencana alam, namun juga bencana sosial yang telah kita rasakan dampaknya saat ini. Mulai dari munculnya para pemimpin yang tidak amanah, hingga tingkat kemiskinan yang semakin hari semakin tinggi. Sehingga jelaslah apa yang dikabarkan oleh Rasulullah Saw, ;
.
Jika zina dan riba sudah menyebar di suatu kampung maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri. (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani).
Wallahu'alam
Kurniadi Sudrajat
(Guru SD/Anggota Bid Pendidikan dan Pelatihan RPI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H