Belum lama di social media, ramai perdebatan yang di antaranya bermula dari postingan seorang seleb mengenai pembunuhan anjing peliharaan di suatu daerah.
Bunyi postingannya seperti ini:
"Masih stres kebayang hewan peliharaan tersayang, dirawat dari kecil, ramah dan percaya sama manusia, eh diburu, disiksa dan tewas oleh tangan-tangan aparat berseragam, utk alasan apakah? Wisata halal? Kalau sampai iya demi itu, apakah halal = menghalalkan segala cara? Sakit."
Banyak respon atas postingan tersebut, di antaranya memiliki tipikal jawaban seperti berikut ini:
"Saya sepakat dengan *****, hal itu tak dapat dibenarkan. Mungkin akan lebih baik lg, jika ***** juga ikut bersuara sekeras mungkin utk ribuan anjing lain yg dipukul dan dibakar SETIAP HARI di Tomohon, Medan, Solo, dan kota-kota lain di Indonesia. Terima kasih."
Memang di Indonesia, postingan yang menyenggol daerah akan menjadi cukup sensitif, sehingga respon "terbakar" sering kali akan mendominasi. Saya sengaja sudah pilihkan jawaban yang cukup "aman" supaya tidak mengundang resiko baru.
Tipikal jawaban seperti itu saat ini dikenal juga dengan istilah whataboutism. Sebenarnya ada juga aspek lainnya yaitu ad hominem (menyerang pribadi), tetapi kita di sini akan berfokus pada whataboutism.
Whataboutism adalah teknik propaganda yang pernah digunakan oleh Uni Soviet saat berinteraksi dengan dunia Barat, kemudian menjadi bentuk propaganda di Rusia pasca-Soviet.
Saat itu, whataboutism dijadikan propaganda Rusia dengan tujuan mengaburkan kritik terhadap negara Rusia dan menurunkan kualitas percakapan dari kritik yang masuk akal terhadap Rusia menjadi perselisihan sepele. Gampangannya segala perdebatan didegradasi menjadi debat kusir.
Sejumlah pemimpin Rusia mengadopsi praktik whataboutism Soviet untuk menghindari refleksi internal terhadap kritik eksternal dan menyoroti kesalahan negara-negara lain. Gampangannya adalah cara penguasa untuk ngeles.
Whataboutism adalah kesesatan berpikir (logical fallacy) di mana satu pihak membelokkan kritik/tudingan dari pihak lain dengan mengangkat isu lainnya yang dianggap setara. Di sini digunakan retorika guna membelokkan tudingan atau fakta yang disampaikan oleh orang lain.
Respon yang diberikan sering kali bermuatan "kamu juga begitu", "mereka juga begitu", "orang lain juga melakukannya".
Taktik tersebut juga dilakukan untuk mengaburkan fakta-fakta yang tengah dipertanyakan. Pembelokan tudingan tersebut seringkali dengan mengangkat isu yang tidak setara, atau istilahnya tidak "apple to apple". Gampangannya tadinya ngomongin apel, dipelintir biar menjadi ngomongin duren.