Mohon tunggu...
Langit Muda
Langit Muda Mohon Tunggu... Freelancer - Daerah Istimewa Yogyakarta

Terimakasih Kompasiana, memberi kesempatan membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seni Menghaluskan Pisuhan

6 Oktober 2020   20:02 Diperbarui: 6 Oktober 2020   20:06 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kucing kabeh (dokpri)

Waktu saya kecil, di rumah ortu cukup ketat dalam memantau kosa kata apa saja yang boleh beredar di dalam rumah. Tidak bakal dibiarkan "para penghuni kebun binatang" berkeliaran di dalam rumah.

Namanya anak kecil, masih sekolah dasar, gampang menirukan apa yang didengarnya. Beberapa kali ketika naik bis, dan duduk di sekitar sopir, saya kerap mendengar sopir mengucapkan kata "edan", baik saat mengobrol dengan kernet maupun ketika berpapasan dengan sopir bus lainnya. Ketika sopir mengucapkan kata "edan" dengan suara keras saat berpapasan dengan sopir lainnya, rasanya keren. 

Nah, ketika di rumah, saya mengucapkan kata "edan", saya langsung mendapat "kartu kuning" dari ortu. Saya lalu menyadari bahwa edan itu ternyata tidak keren. Kena jewer atau kena slenthik, jelas ndak keren ... Untunglah jaman dulu belum ada CCTV ....

Saya kemudian mengamati, bahwa ortu memang tidak pernah terdengar misuh. Paling banter ortu hanya bilang "hayo" atau "horotoyoh" jika kita kedapatan melakukan sesuatu yang beresiko atau kecerobohan. 

Memang ada kata-kata yang masih ditoleransi oleh ortu, mungkin dianggap bukan pisuhan atau hanya pisuhan berkategori "soft", misal "semprul", "gombal", "asem", "ngawur", "sontoloyo" dan "ngisinke waris". 

Mungkin pisuhan itu mirip keripik, ada levelnya. Saya sering mendengar ayah saya dalam obrolan berucap "gak pateken". Mungkin semboyan beliau adalah gak misuh yo gak pateken ....

Pisuhan di kampus dan sekolah
Di lingkungan sekolah maupun kampus semasa saya dulu, jarang saya mendengar ada siswa atau mahasiswa yang berani mengucapkan pisuhan semacam "asu", "anjing", "bajingan", dan sejenisnya, apalagi dengan suara keras. 

Memang sih, kadang di sekolah ada saja bocah ndugal yang gemar menyuarakan kosa kata bernuansa "anatomi tubuh", seperti (maaf) "pringsilan", "kantong menyan", "sonyol", "tempik", "itil", dan "bawuk". 

Maaf, bagi panjenengan yang berlatar belakang non-Jawa, mungkin pengetahuan kosa kata ini berguna, agar tidak menggunakan kata-kata di atas apalagi keras-keras, jangan seru-seru kalau mau saru .... 

Tapi saya sendiri masih kurang paham mengapa kata "bawuk" tergolong saru, lha wong di TVRI Jogja saja tiap minggu ada acara untuk anak-anak berjudul Kuncung-Bawuk ... Masak TVRI mau ngajari saru ya ndak mungkin toh ....

Ada yang misuh dengan kata "bajindul", mungkin ini versi soft dari "bajingan". Tapi ada yang menggunakan kata "bajigur", lho ... padahal bajigur itu kan minuman, ntar bisa-bisa ada yang misuh pakai sekoteng dan bandrek.... Ada juga yang membelokkan menjadi "bajindut". 

Wah mungkin kalau bajindul buat misuhi orang gundul, kalau bajindut, buat misuhi orang gendut. Ada yang misuh dengan kata "bajinguk", mungkin maksudnya bajingan penguk (bau).

Ada yang ingin mengucapkan kata "anjing" tapi ndak sepenuhnya berani, jadinya yang keluar  "anjrit" dan "anjir". Maaf, jaman itu saya belum mengenal "anjay", mungkin karena "anjay" belum lahir. Mungkin ntar ada juga pisuhan "anjoy" alias "anjing asoy", "anjeb" alias "anjing ajeb-ajeb", "anjrut" alias "anjing ajrut-ajrutan" dan "anjeh" alias "anjing beibeh".

Ada yang belum lega kalau belum misuh "jiancuk", bagaikan menahan kentut, tapi demi menjaga ketertiban setempat, dia potong ucapannya, menjadi "cuk tenan ...." Jadi kalau mau misuh "diamput", cukup bilang "Mput ...."

EMQ - Emotional Misuh Quotient

Mungkin ada benarnya tingkat pendidikan sebanding dengan "kualitas" pisuhan. Waktu kuliah sangat jarang terdengar pisuhan "low level". Yang muncul adalah hasil modifikasi berupa kosa kata yang sudah "di-upgrade", dengan "extension" atau dikustomisasi. Pokoknya tidak lagi terdengar sebagai sesuatu yang kasar. Mungkin suatu saat perlu referensi semacam:
- The Art of Misuh
- Misuh for Dummies
- How to Mastering Misuh in 21 Days
- The Seven Ways of Highly Effective Misuh

Memang sepertinya suatu saat kata-kata yang digolongkan sebagai pisuhan bakal bertambah. Misal, ada teman yang misuh dengan kata "ganyong", lho, padahal ganyong kan tanaman ... 

Tapi kalau suatu saat banyak yang misuh begitu, maka kata "ganyong" bisa jadi bakal disahkan menjadi pisuhan. Ada yang di daerah asalnya kata "bagong" merupakan pisuhan. Tapi oleh yang lainnya akan disahuti dengan, "Petruk ..."

Ada teman yang suka misuh dengan kata "telo" (ketela), oleh yang usil sering disahuti dengan "gedhang goreng" ..... Tapi susah juga ntar kalo nama-nama makanan banyak dijadikan pisuhan. Bagaimana coba kalau ada yang misuh begini, "Oooo dading .....". Nah, orang-orang bisa bingung ini misuh atau mau jualan.

Kata "dengkulmu mlicet" dan "gundulmu peang", mungkin sudah banyak yang mengenalnya. Bagaimana kalau "untumu lemes", drijimu tengeng", "cocote lancip"? Tergantung bagaimana "pabrik pisuhan" akan memasyarakatkannya. Memasyarakatkan pisuhan, dan me-misuhkan masyarakat.

Saya jadi ingat bukunya profesor Masaru Emoto. Menarik untuk membayangkan apa hasil eksperimen bila pada air dilakukan pisuhan dengan level tertentu. Tapi kayaknya orang yang gemar misuh ndak cocok jadi motivator. 

Bagaimana coba kalau dia ngomong begini, "Sahabat-sahabatku yang jiancuk tenan, jadikanlah diri kalian menjadi pribadi-pribadi yang layak untuk dipisuhi. Ingatlah kata pepatah, becik ketitik, ala rupamu, njelehi dapurmu".

Pisuhan vs UU ITE

Saat ini di era social-media sesuatu akan sangat mudah sekali tersebar. Saya kurang tahu bagaimana delik mengenai pisuhan dalam pasal UU ITE. Tetapi ada baiknya kita berhati-hati saat misuh di social-media. 

Mungkin nanti kalau ada kasus-kasus semacam itu di pengadilan maka guru besar bahasa yang pakar dalam bidang pisuhan akan diminta untuk menjadi saksi ahli. 

Misalkan saja "asu kabeh" dianggap sebagai pisuhan. Nah, biar ndak dianggap misuh, maka orang akan mengubahnya menjadi "kucing kabeh". Karena kemudian banyak yang menggunakannya maka "kucing kabeh" bisa saja suatu saat akan dianggap tergolong pisuhan.

Jaman milenial ini mungkin menyadarkan kita, bila pisuhan daring bisa memiliki konsekuensi lebih berat ketimbang pisuhan luring. Pisuhan luring mungkin berakibat bonyok dikepruki. Tapi pisuhan daring bisa berujung di pengadilan. 

Masih mending pisuhan garing, paling orang lain cuma bingung dan mikir, "Ngomong opo tho iki?" Bukankah menurut ahli perang Sun Tzu, membingungkan lawan merupakan salah satu strategi.

Ketika Sinaga belajar misuh
Sebagai penutup saya ingin menceritakan sebuah joke ringan. Alkisah ada teman mahasiswa asal Medan, sebut saja namanya Sinaga. Meski berbadan besar dan bersuara besar, tapi sesungguhnya Sinaga berhati lembut. Sinaga juga termasuk mahasiswa yang rajin dan ndak suka berulah.

Nah, ketika kumpul-kumpul bareng mahasiswa lainnya, yang kebanyakan berasal dari Jawa dan Sunda, Sinaga kerap mendengar mereka misuh. Sinaga lebih banyak bengong tanpa ikut menimpali. Sepertinya Sinaga tergolong anak yang tidak gemar misuh.

Suatu kali Sinaga bertanya padaku, "Eh, kalau di bahasa Jawa itu ada ngoko dan kromo ya?". Saya lalu menjelaskan mengenai tingkatan ngoko dan kromo beserta sejumlah contohnya. 

Lalu Sinaga bertanya, "Kalau anjing itu bahasa Jawa-nya asu kan? Nah, kromo-nya asu, apa?" Setelah beroleh jawaban, Sinaga berlalu dengan wajah cerah.

Suatu ketika kala para mahasiswa duduk-duduk bareng, pada ngobrol, bertebaran lah kata-kata seperti "anjrit", "anjir", "bajigur" dan species sejenisnya. Tiba-tiba terdengar suara keras Sinaga menimpali, "Segawon ...." Dan beranjaklah Sinaga dengan wajah puas penuh kemenangan ...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun