Mohon tunggu...
Langit Muda
Langit Muda Mohon Tunggu... Freelancer - Daerah Istimewa Yogyakarta

Terimakasih Kompasiana, memberi kesempatan membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seni Menghaluskan Pisuhan

6 Oktober 2020   20:02 Diperbarui: 6 Oktober 2020   20:06 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kucing kabeh (dokpri)

Pisuhan vs UU ITE

Saat ini di era social-media sesuatu akan sangat mudah sekali tersebar. Saya kurang tahu bagaimana delik mengenai pisuhan dalam pasal UU ITE. Tetapi ada baiknya kita berhati-hati saat misuh di social-media. 

Mungkin nanti kalau ada kasus-kasus semacam itu di pengadilan maka guru besar bahasa yang pakar dalam bidang pisuhan akan diminta untuk menjadi saksi ahli. 

Misalkan saja "asu kabeh" dianggap sebagai pisuhan. Nah, biar ndak dianggap misuh, maka orang akan mengubahnya menjadi "kucing kabeh". Karena kemudian banyak yang menggunakannya maka "kucing kabeh" bisa saja suatu saat akan dianggap tergolong pisuhan.

Jaman milenial ini mungkin menyadarkan kita, bila pisuhan daring bisa memiliki konsekuensi lebih berat ketimbang pisuhan luring. Pisuhan luring mungkin berakibat bonyok dikepruki. Tapi pisuhan daring bisa berujung di pengadilan. 

Masih mending pisuhan garing, paling orang lain cuma bingung dan mikir, "Ngomong opo tho iki?" Bukankah menurut ahli perang Sun Tzu, membingungkan lawan merupakan salah satu strategi.

Ketika Sinaga belajar misuh
Sebagai penutup saya ingin menceritakan sebuah joke ringan. Alkisah ada teman mahasiswa asal Medan, sebut saja namanya Sinaga. Meski berbadan besar dan bersuara besar, tapi sesungguhnya Sinaga berhati lembut. Sinaga juga termasuk mahasiswa yang rajin dan ndak suka berulah.

Nah, ketika kumpul-kumpul bareng mahasiswa lainnya, yang kebanyakan berasal dari Jawa dan Sunda, Sinaga kerap mendengar mereka misuh. Sinaga lebih banyak bengong tanpa ikut menimpali. Sepertinya Sinaga tergolong anak yang tidak gemar misuh.

Suatu kali Sinaga bertanya padaku, "Eh, kalau di bahasa Jawa itu ada ngoko dan kromo ya?". Saya lalu menjelaskan mengenai tingkatan ngoko dan kromo beserta sejumlah contohnya. 

Lalu Sinaga bertanya, "Kalau anjing itu bahasa Jawa-nya asu kan? Nah, kromo-nya asu, apa?" Setelah beroleh jawaban, Sinaga berlalu dengan wajah cerah.

Suatu ketika kala para mahasiswa duduk-duduk bareng, pada ngobrol, bertebaran lah kata-kata seperti "anjrit", "anjir", "bajigur" dan species sejenisnya. Tiba-tiba terdengar suara keras Sinaga menimpali, "Segawon ...." Dan beranjaklah Sinaga dengan wajah puas penuh kemenangan ...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun