Puasa sudah beberapa hari, namun bagiku hari ini terasa lebih berat dari kemarin.
Mengapa puasa hari ini lebih berat dari kemarin? Alasannya adalah karena hari ini aku harus sekolah dan bagiku berat.
Jarak rumahku menuju sekolah jauh. Aku  tak tahu sih tepatnya berapa kilometer yang aku lewati setiap hari.
Hm, sepertinya pelajaran menentukan jarak dan kecepatan yang diajarkan bu Guru belum aku pahami betul.
Aku cuma tahu bahwa perlu 30 menit untuk tiba di sekolah dengan berjalan kaki.
Ya aku cuma bisa mencapai sekolahan dengan berjalan kaki, belum ada transportasi yang bisa kugunakan untuk menuju sekolah.
O, ya sedari kecil aku tinggal bersama Nenek dan tidak bersama ayah atau Ibu.Â
Rumah yang aku tinggali bersama Nenek berada di perumahan yang baru dibangun.
Sebagai perumahan baru, belum ada angkutan umum . Jalan menuju perumahan saja masih banyak yang belum di aspal.Â
Untuk tiba di sekolah pun aku harus melewati perkampungan sebagai jalan alternatif dan bukan jalan utama yang disediakan.
Untuk tiba di perkampungan itu aku harus melewati 2 Â sungai.
Di sungai pertama, Â belum ada jembatan sehingga jika akan menyebrangi sungai itu aku harus turun dulu ke sungai.
Saat turun sepatu harus kulepas, sepatu baru kupakai setelah sampai di seberang.
Namun sungainya tak terlalu besar airnya pun tak deras.
Air sungainya masih bening dan terkadang membuatku betah untuk berada di air sungai untuk memainkan kaki-kakiku di beningnya air.Â
Sementara di sungai kedua yang ukurannya lebih besar sudah ada jembatan untuk melintasinya .Â
Nah kembali ke cerita perjalanan sekolah, yang membuat aku merasa berat puasa hari ini adalah  ya tadi karena harus berjalan kaki menuju sekolah saat perut sedang lapar.
Mungkin kalau perginya aku masih kuat karena masih di pagi hari. Matahari masih malu-malu dan perutku masih kenyang karena baru sahur.
Namun entahlah nanti saat pulang. Aku masuk sekolah pukul tujuh pagi dan pulang pukul dua belas siang.
Pukul dua belas bukanlah waktu yang bersahabat untuk melangkah.Â
Sudahlah pada jam itu perutku sedang laparnya, panas matahari bisa jadi membuatku jadi alami kondisi haus hausnya
Sesuai dengan perkiraanku benar saja saat pulang matahari sedang bersinar Panas-panasnya saat aku keluar kelas.
Tapi tenang, aku sudah mempersiapkan antisipasi untuk menghadapi gempuran panas sinar matahari ini.
Kubuka tasku lalu ku keluarkan jaket. Bukan ingin mengamankan warna kulitku yang kata orang ekssotik, Aku berpikir panas matahari yang mengenai kulit pasti akan membuatku kepanasan dan berujung haus.
Kalau sampai haus gimana coba? Mana maghrib masih jauh.Â
Nah,  jaket yang kupakai ini akan  melindungiku tanganku dari panas sinar matahari.
Setelah jaket kupakai, aku mengeluarkan lagi topi merah putih khas dari dalam tas.
Aku takut panas matahari juga akan membuat kepalaku pusing oleh teriknya. Ku pasangkan topi ini di kepalaku.Â
Dengan topi ini kepalaku aman dari sorotan sinar matahari.
Sudah cukup antisipasiku? Belum dong masih ada satu lagi andalanku untuk menghalau sinar matahari.
Kuambil payung  dari dalam tas yang sudah kupersiapkan tadi pagi dari rumah.
Hari pertama sekolah saat puasa aku harus mengamankan diri dari sinar matahari yang menurutku akan mengancam keberlangsungan puasa karena rawan menyebabkanku kehausan.
Cukuplah lemah letih lemasnya karena jalan kaki , tapi aku tak mau panas ikut-ikutan mengganggu.Â
Karena jujur kalau lapar aku kuat, Â tapi haus aku lemah. Apalagi tenggorokan kering, tidaaak kemarin saja hampir aku menelan air wudlu.
"Lah, kamu apa-apaan? " tanya Aning sahabatku yang biasa pulang sama-sama saat melihat aku menggunakan semua perlengkapan ini.
"Menghalau panas! "jawabku mantap dengan senyum super manis.Â
Aning malah geleng-geleng. Begitupun teman-temanku lain yang kebetulan melewati kami melakukan hal yang sama, geleng-geleng kepala.Â
" Kamu mau ikut berpayung? " tanyaku sambil bersiap memayunginya.
"Ogah! " jawab dia dengan tatapan aneh.
Terserah deh ,kalau dia tak mau kuajak berpayung ya sudah aku sendiri saja.
Jadilah kami jalan berjauhan. Dia memilih duluan sementara aku  belakangan.
Apakah panas berhasil kuberantas dengan perlengkapan ini?
Jawabannya adalah ya, aku  berhasil tak kepanasan. Namun ada satu hal yang tak kuantisipasi dari perlengkapan ini.
Ternyata panas terhadang , gerah malah yang melanda.
5 menit masih ok, 10 menit mulai terasa gerah, 15 menit badan basah. Wah kok begini ya?Â
Rasanya aku tak sabar untuk segera sampai rumah agar bisa membuka jaket yang ku kenakan ini. Akhirnya semakin lama langkahku makin cepat.Â
Begitu rumah sudah terlihat aku langsung berlari tanpa sempat ucapkan dadah pada Aning yang tadi berjalan di belakang.
"Mikummm! " teriakku asal sebut sambil langsung memburu kamar.
Nenek yang sedang di dapur terlihat kaget dengan tingkahku.
"Ada apa ma? " tanyanya heran melihat tingkahku .Â
"Gerah nek ga kuat! " jawabku sambil melempar jaket yang sedari membuka pintu sudah kulepas.
"Eits itu jaketnya jangan dilempar sembarangan! "
"Hehehehe maaf Nek! "jawabku.
Segera kuambil jaket yang ku lempar dan kusimpan di tempat yang benar.
Aku masuk ke kamar untuk berganti baju dai kamar.Â
"Masih panas gak cu? " tanya nenek
"Masih! " Jawabku merajuk.
"Boleh buka ya nek, ga kuat nih panas! " pintaku iseng-iseng berhadiah.Â
"Janganlah cu, sayang, di tahan ya kan sudah sampai rumah ini dah tak kena panas matahari lagi! "kata Nenek sambit tersenyum.Â
" Ya.. Nenek sekali ini aja, besok enggak deh sekolah sambil puasa berat Neeeek! " kataku sambil memasang tampang memelas.Â
"Enggak ah Cu, Nenek yakin kamu masih kuat! " jawab nenek sambil mengelus rambutku.Â
Nenek nampak seperti berfikir melihat aku yang mengeluh kepanasan ini.
Mungkin Nenek juga tak tega melihatku, namun Nenek ingin aku bisa menamatkan puasa di tahun ini selama sebulan.Â
Kata Nenek kalau aku sudah masuk SD aku harus puasa tamat sampai Magrib.Â
Dulu sebelum masuk SD, Nenek mempersilahkan kubuka setiap kali adzan terdengar.Â
Adzan Dzuhur aku buka ,tapi setelah itu aku harus puasa lagi. Begitupun adzan Ashar, aku boleh berbuka dan kembali harus berpuasa.Â
Kulihat Nenek malah pergi meninggalkanku  menuju pergi ke kamar mandi.Â
Sementara aku masih sibuk kipas-kipas  dengan kipas anyaman yang biasa digunakan Nenek untuk mengipasi nasi.
"Maaa, sini! "Panggil Nenek.
"Apa nek? "tanyaku sambil mendekati Nenek di kamar mandi.
Nenek menunjukkan sebuah ember lebar yang biasa disebut Jolang dalam bahasa Sunda.
Jolang itu biasa nenek gunakan untuk merendam baju sebelum di cuci.Â
" Tuh jolang gede dah nenek isi air penuh! "tunjuk Nenek padaku.
Aku mengerutkan dahi karena tak mengerti dengan maksud Nenek.Â
" Terus? "tanyaku belum mengerti.
" Noh beremdam di jolang sampai panasnya mendingan! " suruh Nenek sambil senyum seolah tahu aku akan girang dengan suruhannya.Â
Mataku langsung membelalak mendengar ide Nenek itu.
Wah, ide Nenek bagus juga nih aku langsung saja mengiyakan . Membayangkan kesegaran air akan mengaliri tubuhku yang sedang kepanasan.Â
Meskipun rasanya tumben Nenek minta aku main air.Â
Biasanya boro-boro dibebaskan main air yang ada Nenek marah aku kelamaan di kamar mandi .
Baju yang tadi kupakai kubuka lagi dan tanpa ragu aku langsung berendam di jolang yang Nenek sediakan.
 Betul saja panas rasanya menguap dari seluruh badannku mungkin kalau digambarkan di film kartun ada gas yang keluar dari pori-pori kulitku ke udara.Â
Tak lama aku  merasakan  adem dari ujung rambut sampai ujung kaki.Â
Nenek tertawa melihat tingkah lakumu saat meninkati air di Jolang.Â
Nah sejak saat itu kalau pas puasa aku tak kuat dengan panas , modus berendam di jolang sampai panas hilang kulakukan.
Lalu bagaimana dengan payung, topi dan jaket yang sebelumnya kujadikan andalan?Â
Nah untuk ketiga perlengkapan perang ini hanya payung yang masih kupakai sekali-kali.Â
Aning pun mau mendekat kalau yang kugunakan hanya payung saja.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H