Mohon tunggu...
Irma Tri Handayani
Irma Tri Handayani Mohon Tunggu... Guru - Ibunya Lalaki Langit,Miyuni Kembang, dan Satria Wicaksana

Ibunya Lalaki Langit ,Miyuni Kembang,dan Satria Wicaksana serta Seorang Penulis berdaster

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Rasanya Jadi Korban Perundungan

12 April 2019   03:09 Diperbarui: 12 April 2019   18:19 716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang teman semasa SD pernah mengirimkan foto bersama di halaman sekolah SDN Babakan Surabaya Bandung, saat kelas  1 kalau tidak salah. Saya yang tak memiliki foto ini tentu saja senang. Kebetulan saya tak memiliki foto ini.

Namun tak lama setelah melihat wajah-wajah polos dalam foto ini saya tiba-tiba merasa sedih.

Masa SD bukan masa yang menyenangkan buat saya. Di masa itu saya pernah mengalami perundungan dari kawan-kawan.

Sebentar, saya menarik nafas dulu sebelum melanjutkan sembari menyusun kembali memori berserakan yang sempat saya simpan rapi.

Saat SD, saya tumbuh menjadi anak yang tak terurus. Baik secara penampilan ataupun kelakuan. Ayah-Ibu saya bercerai di usia saya 4 tahun. Selepas itu saya dibesarkan oleh nenek saya. Usianya yang sudah sepuh membuat beliau tak bisa sempurna dalam mengurus saya.

Akibatnya saya sering pergi tanpa mau mandi. Baju kumal sudah biasa. Rambut berkutu yang tak disisir dengan benar. Kulit saya yang memang termasuk gelap membuat saya terlihat kucal. 

Itulah yang kemudian jadi bahan perundungan teman-teman. Saya dibilang orang Negro. Semua teman tak ada yang mau mendekati saya yang mungkin menurut mereka tak sedap di pandang mata. Seringkali saya menangis karena saat harus belajar berkelompok sering tak ada teman yang mau memasukkan saya menjadi anggota.

Perundungan yang saya terima membuat saya jadi beringas. Sayapun jadi hobi mengutil barang teman-teman saya. Semua saya lakukan semata karena ingin mengganggu mereka. Entah berapa kali saya mereka sidang karena tertangkap basah mengambil barang.

Sering diejek dan dicaci tentu membuat saya tak percaya diri. Saya menarik diri dari kawan-kawan dan terbiasa sendiri.

Mereka enak betul mengeluarkan ejekan, tanpa peduli perasaan saya. Menangis adalah hal yang seringkali saya lakukan di masa itu.

Salahkah merek seperti itu? Ya tentu, tapi siapa sih yang bisa menahan bibir untuk tidak mengomentari orang yang menurut mereka tak layak ditemani.

Siapa yang membuat mereka begitu? Ya tentu saja orang tua mereka. Karakter mereka terbentuk karena cara orang tua mereka memperlakukan mereka.

Bisa jadi di rumah pun orangtuanya terbiasa mengejek orang lain jika tak sesuai standarnya. Bisa jadi orang tua mereka juga biasa mengejek anaknya jika anaknya dianggap tak menuruti apa kata mereka.

Mereka hanya peniru, orangtualah penyebabnya. Jadi jangan sepenuhnya menyalahkan anak-anak yang melakukan perundungan. Coba ditelaah kembali apakah kita sebagai orangtua sudah memberikan contoh yang benar? Banyak dari kita yang hobi nyinyir terhadap apapun. Apalagi masa pilpres begini. 

Jika orangtua tidak terbiasa memberikan contoh buruk, anakpun akan mengikutinya. Dari sekian teman saya ada satu dua sahabat saya yang tak pernah melakukannya.

Setelah saya perhatikan terutama sahabat saya, dia memang di rumah tak pernah diberi label negatif oleh orangtuanya jika tidak menurut. Orangtuanya mendidik dengan penuh perhatian dan pujian sehingga sahabat saya ini tak pernah mengejek saya seperti yang lain. Dia setia menemani saya.

Jadi sumber penyebab perundungan anak adalah kebiasaan orangtuanya di rumah. Maka untuk kasus Audrey, selain kasihan untuk korban, kasihan juga untuk pelaku. Mereka bisa sejahat itu karena orangtuanya di rumah. Mereka tumbuh jadi pribadi perundungan karena orangtuanya biasa mencontohkan.

Berada di lingkungan yang menolak kita tentu tak menyenangkan. Saya merasa menjadi alien di hadapan mereka. Untunglah saya tak melakukan hal yang terlalu jauh karena perundungan itu. Namun luka hati karena dikucilkan oleh mereka berbekas hingga kini.

Hentikan perundungan sekarang juga mulai dari rumah. Untuk ayah dan Ibu, buang kalimat negatif seperti kamu nakal, kamu susah diatur atau kamu menyebalkan. Kalimat itu nanti akan dia praktikkan pada teman-teman yang menurut dia tak sesuai. Perasaan tersakiti saat mendapatkan perundungan sukar hilang oleh waktu.

Sedih karena perundungan. Dokumen Pribadi
Sedih karena perundungan. Dokumen Pribadi
Dibalik daster yang dibeli dengan menawar harga habis-habisan selesai juga satu tulisan ringan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun