Berawal dari situlah saya kini mulai mengurangi penggunaan sampah plastik. Untuk membeli bubur misalnya, saya kini selalu membawa mangkuk bertutup dan kantong sendiri. Begitpun jika berbelanja sayur. Saya sudah menyiapkan keranjang sendiri agar tidak banyak sampah plastik yang akan saya buang.
Setelah hapal kebiasaan saya pada akhirnya tukang sayur itu berkelakar.
"Coba kalau semua pembeli seperti Ibu, mungkin saya bisa berhemat dengan tidak membeli kantong keresek , ini yang ada kadang ibu-ibu cuma beli cabe rawit doang dua ribu perak tapi minta dikeresekin."
Memang belum semua Ibu-Ibu menyadari bahwa perilaku mereka yang terbiasa menggunakan kantong plastik, ikut andil dalam mengotori bumi dengan sampah plastik. Belum lagi kurang terbiasanya kita dalam membagi jenis sampah organik dan anorganik.
Sayapun masih dalam tahap belajar. Sebisa mungkin membagi kedua sampah tadi. Jika sampah organik sebangsanya sayur, buah dan dedaunan tidak terlalu banyak, saya biasa menimbunnya di tanah. Kebetulan saya masih memiliki sepatak tanah yang sengaja disiapkan untuk bercocok tanam.
Lingkungan yang bersih seyogyanya dimiliki oleh orang-orang yang ramah. Senyum manis merupakan salah satu indikasi sifat itu. Dan sebagai seorang Ibu, senyum manis merupakan bekal melewati hari bagi setiap anggota keluarga.
Suami tentu akan berangkat dengan semangat jika diantar oleh senyuman manis sang istri. Jika istri tercintanya cemberut maka suaminya tentu tak akan nyaman saat melenggang ke tempat kerja. Bisa-bisa pekerjaannya tak bisa tuntas. Hilangnya senyum menandakan ada masalah yang sedang dihadapi.
Tapi siapa sih yang tak punya masalah? Semua manusia dimulai bumi ini tak luput dari masalah. Jikalau memang masalahnya belum terselesaikan, senyum akan mengurangi dampak psikologis yang terasa.
Begitupun dengan para buah hati kita Ibu-ibu. Jika kita melepas mereka ke sekolah tanpa senyuman, tentu mereka tak kan gembira saat belajar atau berinteraksi dengan teman-temannya. Karena jika kita marah tentunya mereka akan merasa bersalah.