Akhir-akhir ini, kehadiran fintech P2PL ilegal memang marak di Tanah Air. Karena itu masyarakat harus jeli dalam mencermati perbedaan fintech P2PL ilegal dan fintech P2PL terdaftar/berizin, antara lain sebagai berikut:Â
Pertama, fintech P2PL ilegal mengenakan biaya dan denda yang sangat besar serta tidak transparan sedangkan fintech P2PL terdaftar/berizin diwajibkan memberikan keterbukaan informasi mengenai bunga dan denda maksimal yang dapat dikenakan kepada pengguna.
Kedua, fintech P2PLÂ ilegal tidak mengikuti tata cara penagihan yang beretika dan sesuai aturan sedangkan tenaga penagih fintech P2PL terdaftar/berizin wajib mengikuti sertifikasi tenaga penagih yang dilakukan oleh AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia) dan bila ditemukan pelanggaran dapat diberikan sanksi.
Ketiga, lokasi kantor fintech P2PL ilegal tidak jelas/ditutupi, berbeda dengan fintech P2PL terdaftar/berizin yang lokasi kantornya jelas dan disurvei oleh OJK saat akan mendapatkan tanda terdaftar (mudah ditemukan koordinatnya di google).
Sampai dengan tanggal 4 Mei 2021, tercatat sebanyak 138 (seratus tiga puluh delapan) perusahaan sebagai penyelenggara fintech P2PL yang terdaftar dan berizin di OJK (download di SINI).Â
Terdapat penambahan 1 (satu) penyelenggara fintech P2PL berizin, yaitu PT Lumbung Dana Indonesia. Dari total jumlah tersebut, sebanyak 57 (lima puluh tujuh) merupakan penyelenggara berizin, sedangkan sebanyak 81 (delapan puluh satu) merupakan penyelenggara terdaftar.
OJK telah mengeluarkan peraturan mengenai fintech P2PLÂ melalui POJK 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Selanjutnya, peraturan terkait lending tertuang dalam Peraturan OJK No. 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital (IKD) di Sektor Jasa Keuangan.Â
Dalam POJK ini, yang dimaksud dengan penyelenggara adalah setiap pihak yang menyelenggarakan IKD. Dalam Pasal 5 ayat (1) disebutkan pula bahwa penyelenggara terdiri dari Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak lain yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.
Masih dalam POJK tersebut, dalam Pasal 18 ayat (1) disebutkan bahwa penyelenggara wajib menerapkan prinsip pemantauan secara mandiri yang salah satunya adalah kerahasiaan data dan/atau informasi konsumen termasuk data dan/atau informasi transaksi.Â
Faktanya, fintech P2PL ilegal sering kali meminta akses kepada seluruh pribadi yang ada di dalam ponsel pengguna, bahkan meminta dapat mengakses seluruh nomor kontak di HP, foto, storage, dll.Â
Data-data ini kemudian dapat disalahgunakan saat melakukan penagihan. Jika foto diakses, mereka dapat melihat dan menyalin seluruh foto di ponsel pengguna.