Mohon tunggu...
Lamria F. Manalu
Lamria F. Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuluh Hukum

Berbagi Informasi Hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Waspadai Pinjol Fintech Lending Ilegal!

20 Mei 2021   21:35 Diperbarui: 21 Mei 2021   01:24 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pinjaman online Sumber: qoala.app/id

Kasus seorang guru TK di Malang yang terjerat pinjaman dari fintech lending pekan ini cukup menyita perhatian. Dalam sebuah pertemuan dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang juga dihadiri Walikota Malang, guru TK tersebut menyampaikan bahwa dirinya telah meminjam melalui 19 (sembilan belas) fintech lending ilegal dan 5 (lima) fintech lending terdaftar/berizin di OJK dengan total kewajiban mencapai sekitar Rp35 juta. Tahun lalu, seorang nasabah bahkan nekat bunuh diri karena diduga merasa tertekan akibat pinjaman online.

Kasus terkait pinjaman online (pinjol) memang bukan pertama kalinya terjadi di Tanah Air. Dalam siaran pers pada tanggal 5 Mei 2021, Ketua Satgas Waspada Investasi (SWI) menyampaikan bahwa hingga bulan April pihaknya kembali menemukan 86 platform Fintech Peer to Peer Lending (P2PL) ilegal dan 26 kegiatan usaha tanpa izin yang berpotensi merugikan masyarakat (download di SINI). 

Lebih lanjut, beliau juga menyampaikan bahwa sejak tahun 2018 s.d. April 2021 pihaknya sudah menutup sebanyak 3.193 fintech lending ilegal. SWI memang berwenang melakukan pencegahan tindakan dan penanganan dugaan melawan hukum di bidang penghimpunan dana masyarakat dan pengelolaan investasi.

Bila ditelusuri ke belakang, fintech adalah sebuah inovasi pada industri jasa keuangan yang memanfaatkan penggunaan teknologi. Produk fintech biasanya berupa suatu sistem yang dibangun guna menjalankan mekanisme transaksi keuangan yang spesifik. 

Dalam perkembangan selanjutnya, muncul pula istilah fintech lending/ fintech peer-to-peer lending (P2PL)/ Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI).

Perbedaan keduanya adalah fintech bersifat umum dan tidak terbatas pada satu industri jasa keuangan tertentu sedangkan fintech lending/lending terbatas pada inovasi jasa keuangan pada transaksi pinjam meminjam saja. 

Penyelenggara fintech lending dapat berupa suatu badan hukum atau koperasi yang memiliki sistem untuk melaksanakan mekanisme transaksi pinjam meminjam secara online, baik melalui aplikasi maupun laman website.

Layanan fintech lending merupakan salah satu inovasi pada bidang keuangan dengan pemanfaatan teknologi yang memungkinkan pemberi pinjaman dan penerima pinjaman melakukan transaksi pinjam meminjam tanpa harus bertemu langsung. 

Mekanisme transaksi pinjam meminjam dilakukan melalui sistem yang telah disediakan oleh penyelenggara fintech lending, baik melalui aplikasi maupun laman website.

Intinya, penyelenggara fintech lending hanya berperan sebagai perantara yang mempertemukan pemberi pinjaman dan penerima pinjaman. 

Pemberi pinjaman dan penerima pinjaman terlebih dahulu harus melakukan registrasi dan mengisi data diri yang diperlukan sebelum dapat mengajukan pemberian pinjaman ataupun permohonan pinjaman.

Akhir-akhir ini, kehadiran fintech P2PL ilegal memang marak di Tanah Air. Karena itu masyarakat harus jeli dalam mencermati perbedaan fintech P2PL ilegal dan fintech P2PL terdaftar/berizin, antara lain sebagai berikut: 

Pertama, fintech P2PL ilegal mengenakan biaya dan denda yang sangat besar serta tidak transparan sedangkan fintech P2PL terdaftar/berizin diwajibkan memberikan keterbukaan informasi mengenai bunga dan denda maksimal yang dapat dikenakan kepada pengguna.

Kedua, fintech P2PL ilegal tidak mengikuti tata cara penagihan yang beretika dan sesuai aturan sedangkan tenaga penagih fintech P2PL terdaftar/berizin wajib mengikuti sertifikasi tenaga penagih yang dilakukan oleh AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia) dan bila ditemukan pelanggaran dapat diberikan sanksi.

Ketiga, lokasi kantor fintech P2PL ilegal tidak jelas/ditutupi, berbeda dengan fintech P2PL terdaftar/berizin yang lokasi kantornya jelas dan disurvei oleh OJK saat akan mendapatkan tanda terdaftar (mudah ditemukan koordinatnya di google).

Sampai dengan tanggal 4 Mei 2021, tercatat sebanyak 138 (seratus tiga puluh delapan) perusahaan sebagai penyelenggara fintech P2PL yang terdaftar dan berizin di OJK (download di SINI). 

Terdapat penambahan 1 (satu) penyelenggara fintech P2PL berizin, yaitu PT Lumbung Dana Indonesia. Dari total jumlah tersebut, sebanyak 57 (lima puluh tujuh) merupakan penyelenggara berizin, sedangkan sebanyak 81 (delapan puluh satu) merupakan penyelenggara terdaftar.

OJK telah mengeluarkan peraturan mengenai fintech P2PL melalui POJK 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Selanjutnya, peraturan terkait lending tertuang dalam Peraturan OJK No. 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital (IKD) di Sektor Jasa Keuangan. 

Dalam POJK ini, yang dimaksud dengan penyelenggara adalah setiap pihak yang menyelenggarakan IKD. Dalam Pasal 5 ayat (1) disebutkan pula bahwa penyelenggara terdiri dari Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak lain yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.

Masih dalam POJK tersebut, dalam Pasal 18 ayat (1) disebutkan bahwa penyelenggara wajib menerapkan prinsip pemantauan secara mandiri yang salah satunya adalah kerahasiaan data dan/atau informasi konsumen termasuk data dan/atau informasi transaksi. 

Faktanya, fintech P2PL ilegal sering kali meminta akses kepada seluruh pribadi yang ada di dalam ponsel pengguna, bahkan meminta dapat mengakses seluruh nomor kontak di HP, foto, storage, dll. 

Data-data ini kemudian dapat disalahgunakan saat melakukan penagihan. Jika foto diakses, mereka dapat melihat dan menyalin seluruh foto di ponsel pengguna.

Perlu diketahui bahwa penyebaran data pribadi ini dapat dikenakan Pasal 32 juncto (jo) Pasal 48 UU ITE. Selanjutnya, pengancaman terhadap nasabah dapat dijerat dengan Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 29 juncto (jo) Pasal 45B UU ITE. 

Meskipun demikian, fintech P2PL ilegal terus menemukan modus operandi baru untuk menjalankan aksinya. Fenomena ini mengakibatkan berbagai pihak menyuarakan urgensi UU Fintech agar fintech P2PL ilegal yang tidak terdaftar di OJK dapat ditindak dengan tegas. Kabarnya, saat ini OJK juga sedang menyiapkan rancangan peraturan baru untuk fintech lending.

Untuk menghindari terjadinya kasus-kasus pinjaman terkait fintech P2PL ilegal, OJK mengimbau masyarakat untuk selalu menggunakan jasa penyelenggaraan fintech lending yang sudah terdaftar/berizin dari OJK. 

Untuk informasi selengkapnya, dapat menghubungi Kontak OJK 157 melalui nomor telepon 157 atau layanan Whatsapp (081157157157). Hati-hati, waspadai iming-iming pinjol fintech P2PL ilegal agar tak terlibat permasalahan pada kemudian hari.

Sumber:
SATU, DUA, TIGA, EMPAT, LIMA, ENAM, TUJUH, DELAPAN 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun