Bulan Februari setiap tahun bagi masyarakat Papua merupakan bulan dihormati dikerenakan pada bulan tersebut merupakan masuknya Injil di Tanah Papua namun bulan Februari 2015 merupakan bulan duka tepatnya pada hari Minggu, 7 Februari 2015 FB di fosting telah meninggal 23 orang setelah minimum miras oplosan di asrama mahasiswa Puladadi Babarsari, Slemen dan Kamasan, Kota Jogyakarta. Dari data yang dihimpun VIVA.co.id, berikut daftar korban tewas akibat miras oplosan tersebut:
1. Arzani Wanimbo (19) Papua
2. Marcelius Melky (23) Papua
3. Mikison Kogaya (20) Papua
4. Johanes Auri Chosby (23) Papua
5. Yakison Telenggen (..), Papua
6. Tendinus Tabuni (22) Papua
7. Fajar Bayu Putra (20) Bengkulu
8. Nur Bahri Nur Rifai (18) Maluku
9. M. Rivaldi Syahputra (21) Medan
10. Muhammad Hasan (19) Maluku
11. AlQurni Nur Ramadhan (26) Yogyakarta
12. Suwasono (51) Yogyakarta
13. Hendra Sayogya (48) Yogyakarta
14. Endro Sriharjanto (32) Yogyakarta
15. Stephanus Dony Tamtomo (38) Bantul
16. Madiyo Saroyo (57) Sleman
17. Veris Luber JI (28) Yogyakarta
18. Sariman (..) Sleman
19. Anang kurniawan (..) Sleman
20. Hengky Wonda (..) Papua
21. Manggun Kogoya (..) Papua
22. Sitti Nur Dayantikaaba (21) Maluku
23. Novrillah Gamawati (23) Maluku
Dari ke 23 korban diatas terdapat 8 Mahasiswa Papua yang meninggal ini sangat ironis, kita refleksi kembali sudah beberapa tahun ini pada saat memasuki tahun baru misalnya tahun baru 2015 yang lalu Pada perayaan malam tahun baru 2015, tidak sedikit yang konsumsi minuman keras (miras). Pagi harinya, ada yang tergelatak di tepi jalan, ada yang didalam parit, ada yang jalan miring-miring, sambil pegang botol, sebagian putar musik keras-keras, ada juga yang tidak bernapas alias meninggal, dua minggu mamasuki tahun baru tiada hari tampah orang mabuk, tampaknya miras menjadi gaya hidup “orang akan menjadi bangga kalau di minum miras” ada kepercayaan diri dalam dirinya, ada beberapa remaja dan pemuda di Abepantai Kampung Fakfak mengatakan hidup tanpa minum alkohol rasanya kurang. Ucapan itu sepertinya sudah membenarkan alkohol (Miras) sebagai candu. Beberapa teman mengakui bahwa, dengan minum alkohol (mabuk) membuat mereka percaya diri, berani tampil di depan umum untuk mengekspresikan diri tentang bakatnya yang terpendam. (Sumber : Hasil Penyeuluhan Berantas Miras dan Napza, 2013), Pada hal sebaliknya miras merusak kehidupan manusia. Orang mabuk makin banyak, Indikatornya sederhana saja, kita bisa lihat orang mabuk di sudut-sudut kota, di taman-taman, di tepi jalan, bahkan pada malam hari, ada yang duduk bersila di depan emperan toko sambil konsumsi miras. Kota Jayapura merupakan salah satu surga toko berjejaring. Sebagian besar toko-toko itu menjual minuman beralkohol. Dengan tidak ada larangan oleh pihak yang berwajib beberapa toko-toko yang ada di Jayapura Papua terlihat eksis selama 24 jam. Pada hal beberapa kota besar yang di Indonesia Pada Umumnya telah melarang keras peredaran minuman keras dari golongan A sampai seterusnya.
Di Kota Jayapura, toko-toko miras tumbuh seperti jamur di musim hujan. Mencari toko miras tidak susah, bahkan diruko-ruko sudah dijual minuman keras, ruko-rukopun tidak jauh dari kediaman masyarakat bahkan ada yang dekat dengan tempat ibadah, tempat pendidikan, Padahal seharusnya minuman memabukkan ini hanya bisa ditemui di tempat-tempat khusus yang mengantongi izin tertentu Harganya pun terjangkau untuk ukuran di Papua. Akibatnya, konsumsi miras sulit dikendalikan. Lihat saja, tatkala malam tiba, tidak sedikit yang bergegas ke toko miras, mencari hiburan dengan konsumsi miras. Miras seperti istri dalam hidup, tanpa miras hidup terasa hampa.
Realitasnya alkohol memang membunuh. Tetapi, pemerintah bilang Miras itu untuk Pendapatan Asli Daerah, pada hal dampak sosial yang ditimbulkan kerena Miras terjadi kejadian kriminal seperti pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan, pencurian, penipuan, pemerasan, teror dan seterusnya berawal dari miras. Miras ini membuat orang menjadi pemalas, bermental santai tetapi ingin mendapat untung besar, dan semangat belajar para siswa sekolah pun menurun. Hal itu terjadi karena seorang alkoholik nalar sudah tidak akan berfungsi sebagai manusia normal barangkali seperti orang kelainan jiwa alias gila.
Tradisi Miras Kalau sedikit kita buka lembaran sejarah Papua, kebiasaan minum alkohol muncul di kalangan orang Papua melalui kontak orang-orang kulit putih dari Eropa, Melayu dan orang Timor dari Tidore Ternate. Masalah alkoholisme juga ditemukan di antara masyarakat luar Papua. Bedanya masalah alkoholisme di kalangan orang bukan asli Papua tidak begitu terlihat. Kalangan orang pegunungan Papua mereka tidak sama sekali mengenal minuman beralkohol. Tidak ada tradisi pesta minuman keras, karena tidak ada bahan baku untuk produksi alkohol. Daerah pesisir pantai Papua lebih dahulu sudah melakukan kontak dengan orang luar Papua dan telah mengenal minuman beralkhohol dari pohon kelapa ataupun aren yang disebut sagero (saguer/bobo). Namun, minuman keras tradisional itu tidak membunuh Seorang aktivis Aborigin, Charles Perkin menuliskan, bahwa orang Aborigin sering minum dalam pertemuan-pertemuan tradisional, tidak sebagai minuman-minuman yang sengaja melanggar tata cara minum sebagimana mestinya.
Seharusnya ada proteksi, mengeluarkan peraturan daerah, ada peraturan tentang penjualan Miras, namun nampaknya proteksi terhadap Miras tidak berjalan baik, bahkan tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Alasanya barangkali karena Miras memiliki pasokan devisa cukup besar, di kota Jayapura sudah dan Provinsi Papua Kota Jayapura punya Perda Nomor 20 Tahun 2014 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Keras di Kota Jayapura dengan adanya peraturan Mendag Nomor 6/M-Dag/PER/1/2015 ini memperkuat peraturan daerah yang sudah dibuat oleh Pemerintah kota, namun dalam realisasi di lapangan implementasi belum begitu optimal
Walaupun ada banyak aturan, larangan, anjuran, nasihat dan lain sebagainya, tetapi kalau perilaku konsumsi miras tidak dihentikan, maka maut tetap ada di pelupuk mata orang Papua. Kematian sia-sia akibat miras tidak dapat dihindari. Saya sering bercerita kepada kawan-kawan bahwa terlepas dari adanya banyak toko miras, yang menentukan adalah orang Papua. Biar ada seribu toko miras, tetapi kalau orang Papua tidak beli dan konsumsi, maka orang Papua tidak akan pernah mati karena miras. Sebaliknya, walau hanya ada satu dua toko miras, tetapi kalau orang Papua suka konsumsi miras, maka rantai kematian orang Papua akibat miras tidak akan pernah berhenti. Orang Papua harus sadar, bahwa populasi orang Papua semakin sedikit. Kematian demi kematian telah menyebabkan orang Papua menjadi minoritas. Ke depan orang Papua harus kembali ke budaya asalnya. Menghidupkan nilai-nilai kearifan yang diwariskan leluhur dan berhenti konsumsi miras, yang hanya merusak hidup dan masa depan orang Papua.
Berbicara tentang kearifan lokal terkait dengan miras Secara umum orang Papua dalam kajian saya perkaitan dengan tingkah laku kontrol sosial untuk tata aturan yang 1). ditaati adalah Hukum Informal Adat , 2).Baru Hukum Formal. Untuk itu pendekatan adat perlu dilakukan pada Pranata-pranata lembaga adat yang ada di Papua harus dibangkitkan, Masyarakat lebih takut dengan sumpah adat ketimbang hukum formal.
Saya mempunyai pengalaman penelitian disalah satu wilayah perbatasan kota jayapura tepatnya dikampung Skouw Sae, dibahwa hasil penelitian bersama dengan Prof.Dr.Dirk Veplun, MS.
Perda Lokal Tentang Minuman Beralkohol
Komunitas lokal di Kampung Skou Sae memiliki tradisi bermusyawarah memecahkan setiap permasalahan yang muncul di masyarakat yang dianggap meresahkan dan mengganggu ketenangan keluarga dan komunitas tersebut. Ketika kontak dunia luar komunitas tersebut memiliki kebiasaan penggunaan minuman beralkohal atau minuman keras oleh sebagian anggota komunitasnya. Kelompok peminum minuman keras tersebut menunjukkan perilaku yang aneh-aneh ketika dalam keadaan mabuk. Dalam keadaan mabuk diikuti perkelahian dalam keluarga, antar anggota komunitas bahkan tidak jarang menimbulkan tindakan kriminalitas lainnya. Minum dan mabuk hampir menjadi kebiasaan baru yang berkembang di kampung yang terletak di daerah perbatasan itu. Minum dan mabuk karena sesungguhnya tidak biasa mengkonsumsi minuman keras, sehingga bila minum selalu diikuti dengan perilaku mabuk di kalangan komunitas tersebut.
Pada puncaknya terjadi kasus yang sangat memalukan bagi segenap komunitas tersebut, yaitu ketika seorang pelaku mabuk menggantung celana dalam (CD) wanita di persimpangan jalan raya Wutung menuju perbatasan. Kasus itu dibiarkan beberapa hari lamanya tetapi tidak ada tindakan untuk menurunkan CD tersebut. Hal tersebut dianggap sangat menodai harga diri, kehormatan dan martabat kaum perempuan umumnya dan khususnya kaum perempuan di Kampung Skou Sae. Seiring dengan kasus itu kaum perempuan mengadakan reaksi dengan menggelar demo jalan di jalan raya dalam keadaan telanjang dada mengelilingi Kampung Skou Sae dan sekitarnya. Selama aksi demo digelar kaum laki-laki tidak berani keluar rumah karena merasa malu terhadap keadaan yang tidak biasa dilakukan oleh kaum perempuan tersebut.
Menurut Usman Pelly (1994), suatu masyarakat dapat saja menolak, atau menyelesaikannya terlebih dahulu baru kemudian menyerap unsur-unsur budaya yang sesuai. Respon terhadap suatu budaya baru masuk ke dalam suatu wilayah tertentu, yaitu sebagai cross-cultural contact terdapat 4(empat) kemungkinan, yaitu 1) typed passing, 2) type chauvinist, 3) type marginal dan 4) type mediating. Type passing individu yang tergabung dalam kelompok kebudayaannya asli dan mengadopsi kebudayaan baru. Hal ini terjadi bila kebudayaan yang baru dianggap lebih tinggi dari kebudayaan setempat. Dalam konteks itu minuman keras sebagai sesuatu yang baru bagi komunitas tersebut, kemudian diterima dan digunakan dalam kehidupan dengan tidak mempertimbangkan baik buruk dari suatu kebiasaan baru. Type chauvinist menunjukkan bahwa individu atau kelompok menolak sama sekali terpengaruh budaya asing, mereka mundur kembali kepada kebudayaan asli mereka dan biasanya mereka tampil melitan dan berjuang menolak pengaruh asing tersebut. Ketika minuman keras dengan segala dampaknya bagi komunitas tersebut, tedapat kelompok perempuan bertindak tegas menolak peredaraan, penjualan dan mengkonsumsi minuman keras tersebut di wilayah kulturalnya, karena berbahaya bagi lingkungannya terutama bagi kaum pemuda sebagai generasi penerus. Type marginal adalah respon yang terombang-ambing diantara kebudayaan aslinya sendiri dengan kebudayaan masyarakat lain yang dianggap asing bagi komunitas mereka. Tidak jarang suatu komunitas dipersimpangan jalan dalam arti menerima atau menolak suatu kebiasan baru yang muncul di wilayah kulturalnya. Kecenderungan menolak atau menerima sangat tergantung pada kondisi seseorang atau kelompok bersangkutan yang dengan mudah terpengaruh dan tidak benar mengatakan tidak terhadap sesuatu yang nyata-nyata berdampak negatif bagi kehidupannya. Type mediating individu dapat menyatukan bermaca-macam identitas budaya, mempunyai keseimbangan integrasi dan memperoleh persanality atau beberapa kebudayaan sekaligus. Hans-Diater Evers (1988), menyebut sebagai perubahan peradaban suatu komunitas, yaitu suatu proses pertumbuhan kesadaran akan dunia sekitar. Kesadaran terhadap sesuatu yang dianggap mengancam eksistensi kehidupan pribadi, keluarga dan kelompok bahkan komunitas yang bersangkutan, tidak dapat dibiarkan berkembang dan menjadi budaya baru di lingkungannya. Sebagai tindakan perlindungan terhadap sesuatu yang dapat membahayakan eksistensi atau keberadaan komunitasnya. Pada waktu bersamaan kaum perempuan mendesak aparat pemerintah setempat, tokoh adat (Ondoafi), dan tokoh agama lainya, untuk berkumpul bermusyawarah dan memutuskan tentang ketetapan larangan peredaraan, penjualan dan mengkonsumi minuman keras di Kampung Skou Sae. Larangan tersebut diikuti oleh beberapa sanksi tegas terhadap setiap orang yang melanggarnya. Larangan yang disepakati tersebut adalah sebagai berikut.
1). Tidak dibenarkan menyimpan, mengedarkan atau menjual dan mengkunsumsi minuman keras di lingkungan kumunitas Kampung Skou Sae dan sekitarnya
2). Tidak dibenarkan mengadakan dan mengkunsumsi minuman keras pada setiap ritual apapun yang di wilayah hukum Kampung Skou Sae dan sekitarnya
3). Kepada barang siapa yang melannggar ketentuan tersebut disengaja atau tidak disengaja akan dihakimi oleh massa di Kampng Skou Sae.
Pada tingkat impelementasinya peraturan yang kemudian menjadi tradisi baru tersebut diberlakukan secara ketat di lingkungan komunitas tersebut. Pernah telah terjadi kasus pemukulan terhadap seorang pemuda, karena mabuk dan mengganggu ketenangan warga komunitas di Kampung Skou Sae. Hal itu terjadi sebagai sebuah konsekwensi atas kesepakatan yang didasarkan atas janji dan sumpah adat dihadapan tokoh adat, agama, pemerintah dan komunitas setempat. Konsekwensi lain bahwa aturan ini diberlakukan tidak mengenal sistem ’’tebang pilih’’ artinya siapapun yang melanggar termasuk tokoh adat sekalipun, tetap dikenakan saksi sesuai janji dan sumpah adat yang sudah diikrarkan itu.
Kondisi ini menggambarkan bahwa kaum perempuan selama ini dalam tradisi selama ini mengalami hambatan dalam pengambilan keputusan, karena terkendala oleh tradisi dan adat istiadat lokal yang mengikat, kini tampil menentukan dan menghasilkan suatu regulasi lokal yang berarti bagi kehidupan komunitas di Kampung Skou Sae. Keputusan menentukan suatu regulasi lokal terhadap suatu masalah sosial yang banyak menimbulkan permasalahan sosial dalam kehidupan individu, keluarga, kelompok komunitas lainnya.
Dalam regulasi itu ditetapkan sanksi terhadap setiap pelanggaran pengedaran dan mengkonsumsi minuman beralkohol di Kampung Skou Sae. Keputusan ini memiliki dampak ke dalam ataupun ke luar lingkungan komunitas tersebut. Ke dalam patut mendapat penghargaan dari komunitasnya, karena telah dibebaskan dari suatu masalah sosial yang meresahkan komunitas Kampung Skou Sae yang telah diperkasai oleh kaum perempuan setempat. Ke luar patut ditiru oleh komunitas lain, paling tidak ditiru oleh tiga kampung tetangga yang lain yatitu, Kampung Skou Mabo, Skou Yambe dan Kampung Moso di wilayah perbatasan, karena ketiga kampung tersebut masih rawan terhadap peredaran dan pengguna minuman keras (miras) sampai sekarang ini di wilayah hukum perbatasan antara Republik Indonesia dan Papua New Guinea (RI-PNG).
Penulis Merupakan Pemerhati Masalah Sosial, Staf Magister Sosiologi Universitas Cenderawasih
Pernah Kuliah di Universitas Sains Malaysia (USM)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H