Mohon tunggu...
lamochtarunu
lamochtarunu Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Stop Miras, Belajar dari Skouw Sae

8 Februari 2016   18:24 Diperbarui: 8 Februari 2016   18:46 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Komunitas lokal di Kampung Skou Sae memiliki tradisi bermusyawarah memecahkan setiap permasalahan yang muncul di masyarakat yang dianggap meresahkan dan mengganggu ketenangan keluarga dan komunitas tersebut.   Ketika kontak dunia luar komunitas tersebut memiliki kebiasaan penggunaan minuman beralkohal atau minuman keras oleh sebagian anggota komunitasnya. Kelompok peminum minuman keras tersebut menunjukkan perilaku yang aneh-aneh ketika dalam keadaan mabuk. Dalam keadaan mabuk diikuti perkelahian dalam keluarga, antar anggota komunitas bahkan tidak jarang menimbulkan tindakan kriminalitas lainnya. Minum dan mabuk hampir menjadi kebiasaan baru yang berkembang di kampung yang terletak di daerah perbatasan itu. Minum dan mabuk karena sesungguhnya tidak biasa mengkonsumsi minuman keras, sehingga bila minum selalu diikuti dengan perilaku mabuk di kalangan komunitas tersebut.

Pada puncaknya terjadi kasus yang sangat memalukan bagi segenap komunitas tersebut, yaitu ketika seorang pelaku mabuk menggantung celana dalam (CD) wanita di persimpangan jalan raya Wutung menuju perbatasan. Kasus itu dibiarkan beberapa hari lamanya tetapi tidak ada tindakan untuk menurunkan CD tersebut. Hal tersebut dianggap sangat menodai harga diri,  kehormatan dan martabat kaum perempuan umumnya dan khususnya kaum perempuan di Kampung Skou Sae. Seiring dengan kasus itu kaum perempuan mengadakan reaksi dengan menggelar demo jalan di jalan raya dalam keadaan telanjang dada mengelilingi Kampung Skou Sae dan sekitarnya. Selama aksi demo digelar kaum laki-laki tidak berani keluar rumah karena merasa malu terhadap keadaan yang tidak biasa dilakukan oleh kaum perempuan tersebut.

Menurut Usman Pelly (1994), suatu masyarakat dapat saja menolak, atau menyelesaikannya terlebih dahulu baru kemudian menyerap unsur-unsur budaya yang sesuai. Respon terhadap suatu budaya baru masuk ke dalam suatu wilayah tertentu, yaitu sebagai cross-cultural contact terdapat 4(empat) kemungkinan, yaitu 1) typed passing, 2) type chauvinist, 3) type marginal dan 4) type mediating. Type passing individu yang tergabung dalam kelompok kebudayaannya asli dan mengadopsi kebudayaan baru. Hal ini terjadi bila kebudayaan yang baru dianggap lebih tinggi dari kebudayaan setempat. Dalam konteks itu minuman keras sebagai sesuatu yang baru bagi komunitas tersebut,  kemudian diterima dan digunakan dalam kehidupan dengan tidak mempertimbangkan baik buruk dari suatu kebiasaan baru.   Type chauvinist menunjukkan bahwa individu atau kelompok menolak sama sekali terpengaruh budaya asing, mereka mundur kembali kepada kebudayaan asli mereka dan biasanya mereka tampil melitan dan berjuang menolak pengaruh asing tersebut. Ketika minuman keras dengan segala dampaknya bagi komunitas tersebut, tedapat kelompok perempuan bertindak tegas menolak peredaraan, penjualan dan mengkonsumsi minuman keras tersebut di wilayah kulturalnya, karena berbahaya bagi lingkungannya terutama bagi kaum pemuda sebagai generasi penerus.  Type marginal adalah respon yang terombang-ambing diantara kebudayaan aslinya sendiri dengan kebudayaan masyarakat lain yang dianggap asing bagi komunitas mereka.  Tidak jarang suatu komunitas dipersimpangan jalan dalam arti menerima atau menolak suatu kebiasan baru yang muncul di wilayah kulturalnya. Kecenderungan menolak atau menerima sangat tergantung pada kondisi seseorang atau kelompok bersangkutan yang dengan mudah terpengaruh dan tidak benar mengatakan tidak terhadap sesuatu yang nyata-nyata berdampak negatif bagi kehidupannya. Type mediating individu dapat menyatukan bermaca-macam identitas budaya, mempunyai keseimbangan integrasi dan memperoleh persanality atau beberapa kebudayaan sekaligus. Hans-Diater Evers (1988), menyebut sebagai perubahan peradaban suatu komunitas, yaitu suatu proses pertumbuhan kesadaran akan dunia sekitar. Kesadaran terhadap sesuatu yang dianggap mengancam eksistensi kehidupan pribadi, keluarga dan kelompok bahkan komunitas yang bersangkutan, tidak dapat dibiarkan berkembang dan menjadi budaya baru di lingkungannya. Sebagai tindakan perlindungan terhadap sesuatu yang dapat membahayakan eksistensi atau keberadaan komunitasnya. Pada waktu bersamaan kaum perempuan mendesak aparat pemerintah setempat, tokoh adat (Ondoafi), dan tokoh agama lainya, untuk berkumpul bermusyawarah dan memutuskan tentang ketetapan larangan peredaraan, penjualan dan mengkonsumi minuman keras di Kampung Skou Sae. Larangan tersebut diikuti oleh beberapa sanksi tegas terhadap setiap orang yang melanggarnya. Larangan yang disepakati tersebut adalah sebagai berikut.

 1). Tidak dibenarkan menyimpan, mengedarkan atau menjual dan mengkunsumsi minuman keras di lingkungan kumunitas Kampung Skou Sae dan sekitarnya

 2). Tidak dibenarkan mengadakan dan mengkunsumsi minuman keras pada setiap ritual apapun yang di wilayah hukum Kampung Skou Sae dan sekitarnya

 3). Kepada barang siapa yang melannggar ketentuan tersebut disengaja atau tidak disengaja akan dihakimi oleh massa di Kampng Skou Sae.

 

Pada tingkat impelementasinya peraturan yang kemudian menjadi tradisi baru tersebut diberlakukan secara ketat di lingkungan komunitas tersebut.  Pernah telah terjadi kasus pemukulan terhadap seorang pemuda, karena mabuk  dan mengganggu ketenangan warga komunitas di Kampung Skou Sae. Hal itu terjadi sebagai sebuah konsekwensi atas kesepakatan yang didasarkan atas janji dan sumpah adat dihadapan tokoh adat, agama, pemerintah dan komunitas setempat. Konsekwensi lain bahwa aturan ini diberlakukan tidak mengenal sistem ’’tebang pilih’’ artinya siapapun yang melanggar termasuk tokoh adat sekalipun, tetap dikenakan saksi sesuai janji dan sumpah adat yang sudah diikrarkan itu.

Kondisi ini menggambarkan bahwa kaum perempuan selama ini dalam tradisi selama ini mengalami hambatan dalam pengambilan keputusan, karena terkendala oleh tradisi dan adat istiadat lokal yang mengikat, kini tampil menentukan dan menghasilkan suatu regulasi lokal yang berarti bagi kehidupan komunitas di Kampung Skou Sae. Keputusan menentukan suatu regulasi lokal terhadap suatu masalah sosial yang banyak menimbulkan permasalahan sosial dalam kehidupan individu, keluarga, kelompok komunitas lainnya. 

Dalam regulasi itu ditetapkan sanksi terhadap setiap pelanggaran pengedaran dan mengkonsumsi minuman beralkohol di Kampung Skou Sae. Keputusan ini memiliki dampak ke dalam ataupun ke luar lingkungan komunitas tersebut. Ke dalam patut mendapat penghargaan dari komunitasnya, karena telah dibebaskan dari suatu masalah sosial yang meresahkan komunitas Kampung Skou Sae yang telah diperkasai oleh kaum perempuan setempat. Ke luar patut ditiru oleh komunitas lain, paling tidak ditiru oleh tiga kampung tetangga yang lain yatitu, Kampung Skou Mabo, Skou Yambe dan Kampung Moso di wilayah perbatasan, karena ketiga kampung tersebut masih rawan terhadap peredaran dan pengguna minuman keras (miras) sampai sekarang ini di wilayah hukum perbatasan antara Republik Indonesia dan Papua New Guinea (RI-PNG).

Penulis Merupakan Pemerhati Masalah Sosial, Staf Magister Sosiologi Universitas Cenderawasih

Pernah Kuliah di Universitas Sains Malaysia (USM)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun