Pernahkah kita membayangkan ada mahluk hidup selain manusia yang melakukan tindak bunuh diri? atau bertanya-tanya apakah rasa putus asa hanya dimilki oleh manusia saja?
Kasus bunuh diri terus mengalami tren peningkatan ditiap tahunnya. Data dari WHO menunjukan selama tahun 2020 di Indonesia tercatat sebesar 3,5 per 100.000 populasi. Artinya 3,5 orang melakukan tindak bunuh diri dari setiap 100.000 penduduk Indonesia.
Ada beragam perspektif untuk menjelaskan mengapa fenomena bunuh diri terus bermunculan. Tak pandang gender tak kenal status sosial, bunuh diri seolah berpotensi dilakukan oleh siapapun.
Apa yang melatar belakangi tindakan bunuh diri?
Dari kalangan filusuf sejak era Plato, Arthur Schopenhauer, hingga Albert Camus, tak ketinggalan sosiolog seperti Emile Durkheim, hingga psikolog seperti Sigmund Freud turut membedah fenomena ini.
Emile Durkheim seorang sosiolog yang menghabiskan hidupnya berkeliling dunia dan mempelajari fenomena ini menyimpulkan, jika kegagalan relasi seorang terhadap lingkungan sosial menjadi akibat dari tindakan bunuh diri.
Lain hal dengan Frued, menurutnya setiap manusia memiliki hasrat untuk bunuh diri. Walau demikian menurutnya hasrat ini dapat diredam dalam kondisi normal. Namun saat depresi, manusia akan cenderung melakukan bunuh diri yang merupakan bentuk kemarahan terhadap dirinya sendiri.
Pendekatan Arthur Schopenhauer mungkin dapat menjadi alternatif jawaban. Dalam pendekatan filsafatnya sang filsuf kelahiran Jerman (1788-1860), menyimpulkan jika “kehendak” menjadi penyebab dari segala bentuk penderitaan yang dapat memicu tindakan bunuh diri.
Schopenhauer beranggapan jika dunia ini digerakkan oleh kehendak, dari kehendak yang sederhana seperti ingin dicintai hingga ke hal yang kompleks seperti kehendak untuk hidup dan mendapatkan pengakuan. Melalui kehendak manusia cenderung akan menjumpai sejumlah permasalahan. Masalah tersebut dipicu oleh keinginan manusia yang tak kenal batas saat dirinya bersentuhan dengan “kehendak”. Sudah jadi hukum alam jika semakin terpenuhinya kehendak, manusia akan terus memproduksi kehendak baru yang lebih banyak, massif, dan cenderung distruktif.
Berkenalan Dengan Kekecewaan.
Pertanyaannya apa yang terjadi saat manusia gagal menunaikan kehendaknya? Konsekuensi paling ringan ialah rasa kecewa namun yang terberat akan berujung pada penderitaan dan depresi.
Depresi merupakan bentuk lain dari keputusasaan yang dipicu kekecewaan. Contoh paling kongkrit yang biasa kita temui ialah rasa kecewa akibat kegagalan dalam menunaikan kehendak untuk dicintai.
Contoh manifestasi kehendak yang paling sederhana ialah saat seorang pria belajar mencintai dan berusaha dicintai oleh seorang wanita. Jika cinta bersambut mungkin sang pria bahagia, namun bagaimana jika tak bersambut alias bertepuk sebelah tangan, tidak direstui, bahkan diselingkuhi? Saat kegagalan cinta terjadi, itulah saat paling memungkinan bagi manusia berkenalana dengan kekecewaan, bahkan yang paling ekstream rasa kecewa dapat berubah menjadi penderitaan dan berujung depresi.
Seperti belum lama ini seorang pria dari Bengkalis, Riau berinisial IS (38) tewas gantung diri akibat diputuskan oleh pacarnya. Tak sampai disitu seorang influencer berinisial Z viral di medsos, usai memergoki pasangannya berselingkuh. Ia mengaku begitu depresi mengetahui kenyataan tersebut dan tak menutup kemungkinan kitalah korban berikutnya.
Depresi karena cinta selalu muncul akibat ketidaksiapan kita dalam menghadapi konsekuensi atas kehendak yang kita pilih (berusaha dicintai). Secara kehendak kita inginnya dicintai juga, namun faktanya kita sama sekali tak mampu mengendalikan kehendak orang yang kita cintai agar mengafirmasi cinta kita atau tidak berselingkuh dari kita. Kegagalan-kegagalan itulah yang membuat kita menjadi depresi.
Mengatasi Depresi/Penderitaan.
Menilik asumsi diatas, kita layak mempertimbangkan pandangan Schopenhauer. Baginya penderitaan muncul karena manusia kerap bersentuhan dengan banyak hal, sehingga selama manusia hidup penderitaan akan terus ada akibat sifat alamiah manusia yang tak pernah mengenal kata cukup.
Bagi Schopenhauer ketika rasa sakit kehidupan dianggap lebih menyakitkan dari rasa sakit akibat kematian itu sendiri, maka bunuh diri diperbolehkan, karena lewat kematian manusia tak lagi bersentuhan dengan kekecewaan hidup, dan difase ini manusia berhenti untuk menghendaki sesuatu. Meski demikian Schopenhauer sendiri hidup hingga umur 72 tahun, dan dia tidak bunuh diri.
Bagi Schopenhauer ketika manusia tidak mampu memperoleh makna tentang kehidupan, mengapa manusia harus menciptakan makna tentang kematian? Dari logika tersebut dapat diasumsikan ketika manusia menghadapi berbagai tekanan hidup yang mungkin saja berujung pada penderitaan, lalu manusia memilih kematian sebagai opsi mutlak mengakihir permasalahan hidup, maka secara tidak sadar manusi tengah seberusaha itu untuk memberikan makna pada kematian dengan asumsi kematiannya dapat menghilangkan pederitaan. Lantas, jika kita seberusaha itu memberi arti pada kematian, mengapa kita tidak berusaha keras memberikan makna pada kehidupan?
Ketimbang bunuh diri, Schopenhauer menawarkan 2 formulasi untuk mengakhiri penderitaan. Pertama dengan mengafirmasi (mengakui/menerima) kehendak, kedua dengan menegasikannya (menyangkal/menolak). Bila kita mengafirmasi, maka bersiaplah untuk menderita, namun apakah menegasikannya berarti kita lepas dari penderitaan? Belum tentu, namun setidaknya dapat meminimalisir penderitaan.
Sederhananya kita bisa praktikan hal ini dalam hidup kita. Kita bisa menegasikan berbagai bentuk kehendak yang kita sudah tau jika kita gagal mewujudkan kehendak tersebut maka kita akan sangat kecewa dan membuat kita menderita. Contohnya seperti berharap secara berlebihan pada orang-orang, ingin divalidasi dan dipuji manusia, atau memaksa diri untuk diterima oleh semua orang. Kita mungkin harus belajar mengafirmasi apa yang saat ini telah kita milki, seperti keluarga atau lingkungan yang mencintai kita secara utuh, maka terimalah rasa cinta itu dan berusahalah mengarahkan kehendak kita untuk mencintai mereka seperti mereka mencintai kita.
Schopenhauer juga berpesan untuk jangan pernah merasa menjadi manusia yang paling menderita apalagi berfikir penderitaan yang dihadapi orang lain tak lebih buruk dari penderitaan yang kita hadapi.
Jika kita sering melihat masih banyak orang disekitar kita yang juga menghadapi banyak masalah bahkan jauh lebih parah dari yang kita rasakan, entah akibat ketidakmampuan mewujudkan kehendak hidupnya ataupun karena factor lainnya, maka perasaan sebagai si paling menderita yang kita sematkan sendiri pada diri kita akan hilang, karena kita mengetahui bahwa ada yang lebih menderita daripada kita.
Empati
Ber-empatilah pada sekitar kita. Saat manusia belajar mengasihi dan menyayangi, saat itulah manusia secara perlahan melepaskan dirinya dari segala penderitaan yang membelenggu jiwanya. Berempatilah pada sekitar kita.
Mungkin jika masalah yang kita rasakan begitu berat, ada baiknya jika perlu kita ceritakan keluh kesah kita pada orang yang tepat, walau belum tentu terselesaikan namun setidaknya kita tak merasa sendirian. Belajarlah juga menjadi pendengar yang baik. Lebih baik kita mendengar keluh kesah orang-orang disekitar kita selama beberapa jam, daripada kita tak akan pernah lagi mendengarkan suara mereka untuk selama-lamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H