Mohon tunggu...
Lambang Wiji Imantoro
Lambang Wiji Imantoro Mohon Tunggu... Konsultan - Amor fati fatum brutum

Manusia biasa yang menjalani hidup dengan biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memahami Mengapa Orang Melakukan Bunuh Diri

13 Desember 2022   15:29 Diperbarui: 13 Desember 2022   16:27 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Depresi merupakan bentuk lain dari keputusasaan yang dipicu kekecewaan. Contoh paling kongkrit yang biasa kita temui ialah rasa kecewa akibat kegagalan dalam menunaikan kehendak untuk dicintai.

Contoh manifestasi kehendak yang paling sederhana ialah saat seorang pria belajar mencintai dan berusaha dicintai oleh seorang wanita. Jika cinta bersambut mungkin sang pria bahagia, namun bagaimana jika tak bersambut alias bertepuk sebelah tangan, tidak direstui, bahkan diselingkuhi? Saat kegagalan cinta terjadi, itulah saat paling memungkinan bagi manusia berkenalana dengan kekecewaan, bahkan yang paling ekstream rasa kecewa dapat berubah menjadi penderitaan dan berujung depresi. 

Seperti belum lama ini seorang pria dari Bengkalis, Riau berinisial IS (38) tewas gantung diri akibat diputuskan oleh pacarnya. Tak sampai disitu seorang influencer berinisial Z viral di medsos, usai memergoki pasangannya berselingkuh. Ia mengaku begitu depresi mengetahui kenyataan tersebut dan tak menutup kemungkinan kitalah korban berikutnya.

Depresi karena cinta selalu muncul akibat ketidaksiapan kita dalam menghadapi konsekuensi atas kehendak yang kita pilih (berusaha dicintai). Secara kehendak kita inginnya dicintai juga, namun faktanya kita sama sekali tak mampu mengendalikan kehendak orang yang kita cintai agar mengafirmasi cinta kita atau tidak berselingkuh dari kita. Kegagalan-kegagalan itulah yang membuat kita menjadi depresi.

Mengatasi Depresi/Penderitaan.

Menilik asumsi diatas, kita layak mempertimbangkan pandangan Schopenhauer. Baginya penderitaan muncul karena manusia kerap bersentuhan dengan banyak hal, sehingga selama manusia hidup penderitaan akan terus ada akibat sifat alamiah manusia yang tak pernah mengenal kata cukup.

Bagi Schopenhauer ketika rasa sakit kehidupan dianggap lebih menyakitkan dari rasa sakit akibat kematian itu sendiri, maka bunuh diri diperbolehkan, karena lewat kematian manusia tak lagi bersentuhan dengan kekecewaan hidup, dan difase ini manusia berhenti untuk menghendaki sesuatu. Meski demikian Schopenhauer sendiri hidup hingga umur 72 tahun, dan dia tidak bunuh diri.

Bagi Schopenhauer ketika manusia tidak mampu memperoleh makna tentang kehidupan, mengapa manusia harus menciptakan makna tentang kematian? Dari logika tersebut dapat diasumsikan ketika manusia menghadapi berbagai tekanan hidup yang mungkin saja berujung pada penderitaan, lalu manusia memilih kematian sebagai opsi mutlak mengakihir permasalahan hidup, maka secara tidak sadar manusi tengah seberusaha itu untuk memberikan makna pada kematian dengan asumsi kematiannya dapat menghilangkan pederitaan. Lantas, jika kita seberusaha itu memberi arti pada kematian, mengapa kita tidak berusaha keras memberikan makna pada kehidupan?

Ketimbang bunuh diri, Schopenhauer menawarkan 2 formulasi untuk mengakhiri penderitaan. Pertama dengan mengafirmasi (mengakui/menerima) kehendak, kedua dengan menegasikannya (menyangkal/menolak). Bila kita mengafirmasi, maka bersiaplah untuk menderita, namun apakah menegasikannya berarti kita lepas dari penderitaan? Belum tentu, namun setidaknya dapat meminimalisir penderitaan.

Sederhananya kita bisa praktikan hal ini dalam hidup kita. Kita bisa menegasikan berbagai bentuk kehendak yang kita sudah tau jika kita gagal mewujudkan kehendak tersebut maka kita akan sangat kecewa dan membuat kita menderita. Contohnya seperti berharap secara berlebihan pada orang-orang, ingin divalidasi dan dipuji manusia, atau memaksa diri untuk diterima oleh semua orang. Kita mungkin harus belajar mengafirmasi apa yang saat ini telah kita milki, seperti keluarga atau lingkungan yang mencintai kita secara utuh, maka terimalah rasa cinta itu dan berusahalah mengarahkan kehendak kita untuk mencintai mereka seperti mereka mencintai kita.

Schopenhauer juga berpesan untuk jangan pernah merasa menjadi manusia yang paling menderita apalagi berfikir penderitaan yang dihadapi orang lain tak lebih buruk dari penderitaan yang kita hadapi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun