Mohon tunggu...
LM Yakdatamare Yakub
LM Yakdatamare Yakub Mohon Tunggu... Dokter - Studure in sempiternum

Hiduplah dengan strategimu sendiri dan jadilah mahluk yang bermanfaat !

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bakti Dokter Indonesia dalam Kilas Sejarah dan Perjuangan Dokter Soetomo

19 Agustus 2023   16:22 Diperbarui: 22 Mei 2024   17:14 925
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


dr. L.M. Yakdatamare Yakub, S.Ked
Mahasiswa Program Studi Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum
Konsentrasi Hukum Kesehatan Universitas Islam Nusantara

"Pekerjaan dokter adalah tugas mulia, namun ada tugas yang lebih penting lagi yaitu Mengobati Bangsa yang Sedang Sakit". --dr. Soetomo.

Hari Bakti Dokter Indonesia diperingati sejak ditetapkan pada 2008 atau saat puncak peringatan Seabad Kebangkitan Nasional dan Seabad Kiprah Dokter Indonesia oleh IDI di Istana Negara. 

Tujuan peringatan Hari Bakti Dokter Indonesia adalah sebagai penghargaan untuk jasa-jasa dokter yang menggerakkan kebangkitan nasional.

Secara historis, dokter Indonesia memiliki sejarah panjang di negeri ini. Bila ditarik ke belakang, maka kita akan bertemu sosok pemuda, yakni seorang mahasiswa Stovia ketika itu, sebut saja ia Soetomo.

***

Latar Sosial

Dokter Sutomo yang bernama asli Subroto lahir di Ngepeh, Loceret, Nganjuk, Jawa Timur, 30 Juli 1888. Ia adalah anak pertama dari tujuh orang bersaudara. Ayahnya adalah Raden Soewadji seorang Wedana Maospati di Madiun saat itu.

Sutomo menempuh pendidikan di Sekolah rendah bumiputera Maospati Madiun, kemudian di ELS Bangil, lalu melanjutkan studinya ke STOVIA di Batavia (1903-1911), dalam tahun 1911 ketika pemerintah Hindia Belanda kekurangan Ind. 

Arts (dokter jawa), disebabkan penyakit PES, R. Sutomo bersama enam teman sekelasnya, enam bulan sebelum ujian akhir, diangkat sebagai Ind. Arts tanpa menempuh ujian.

Sutomo lahir di tengah keluarga dan kerabat aktivis, mulai dari kakek yang mengasuhnya, KH. Abdurakhman seorang pemuka agama besar di jawa timur, ayahnya seorang wedana yang berani, demokratis, dan dikenal sederhana dalam penampilannya. 

Kemudian adik pertamanya yang bernama Raden Soesilo seorang kepala laboratorium malaria yang memelopori metode pengendalian malaria yang disebut "sanitasi spesies", adik berikutnya bernama Raden Soeratmo, seorang dokter hewan alumni sekolah kedokteran hewan di belanda. 

Kemudian adik wanita pertamanya Raden Adjeng Srijati yang menikah dengan salah seorang pendiri Boedi Oetomo yakni dr. Goenawan Mangonkoesoemo, bertugas mengasuh asrama sekolah yang didirikan oleh dr. Sutomo di bawah pengawasan organisasi Boedi Oetomo.

Kemudian adik Perempuan berikutnya R.A. Sri Woelan, istri dari Soeratin Sosrosoengondo, salah satu pendiri dan sekaligus ketua pertama Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (PSSI). 

Sri Woelan membantu suaminya membesarkan PSSI dengan memberi dukungan dana dari anggran rumah tangganya pribadi, bahkan rumahnyapun dijadikan tempat penampungan pemain, bahkan secara tidak langsung ia juga berjuang menyebarluaskan nasionalisme melalui sepak bola.

Kemudian adik Perempuan yang terakhir yakni Sri Oemijati dan Siti Soendari merupakan aktivis perempuan, Sri Oemijati menjadi Kepala Sekolah Kartini di Cirebon dan Kepala Sekolah Guru Puteri di Yogyakarta, sedangkan Siti Soendari menjadi anggota persatuan mahasiswa perempuan Universitas Leiden dan ikut dalam perhimpunan Indonesia yang mendukung emansipasi perempuan.

Dokter Sutomo menikah dengan seorang perawat bernama Everdina Broering, Everdina adalah seorang perawat Belanda yang bertugas di Rumah Sakit Blora, mereka pertamakali bertemu pada tahun 1917 saat dr. Sutomo mengabdi di Rumah Sakit Blora. 

Hubungan yang awalnya hanya sebatas teman kerja, lambat laun berubah menjadi cinta. Karena perbedaan latar belakang hubungan merekapun banyak mendapat pertentangan, khususnya dari keluarga Everdina dan teman seperjuangan dr. Sutomo, lantas pertentangan tersebut tidak membuat mereka menyerah, keduanya lantas menikah. 

Sepanjang pernikahannya kehidupan mereka berdua bahagia meski tidak dikaruniai anak. Dan akhirnya Everdina yang telah lama berjuang dengan sakitnya menghembuskan napas terakhirnya di Malang, 17 Februari 1934.

***

Awal Berdirinya Boedi Oetomo

Saat menempuh pendidikan di STOVIA, Sutomo dikenal sebagai mahasiswa paling nakal, berani, malas belajar, suka mencontek dan membuat masalah akibatnya kehidupan sosial dan akademiknya menjadi berantakan bahkan hampir direkomendasikan untuk di Drop Out. 

Perubahan terjadi saat sang Ayah meninggal dunia pada 28 Juli 1907. Hal tersebut merubah cara hidup Sutomo. Beliau menjadi pendiam dan sangat perhatian dengan teman-temannya. Jiwa sosial dan kepedualinnya terhadap nasib bangsa mulai tumbuh dan bergejolak dalam dirinya.

Saat di STOVIA Sutomo bertemu dan berkesempatan mendengarkan ceramah dr.Wahidin Sudirohusodo. Ceramah dr.Wahidin membukakan mata Sutomo akan pentingnya pemuda dalam membebaskan bangsa dari penjajahan. 

Sutomo menyampaikan gagasan kepada teman-temannya di STOVIA untuk mendirikan sebuah perkumpulan yang bertujuan memajukan bangsa dan mempertinggi cita-cita kemanusiaan untuk mencapai kehidupan yang terhormat dan bermartabat.

Pada 20 Mei 1908 Organisasi Boedi Oetomo resmi didirikan oleh para mahasiswa STOVIA yang lebih senior. Ketua terpilih adalah Raden Sutomo yang duduk di kelas tiga tingkat medik. 

Yang juga duduk di kelas tiga adalah Goenawan, M. Soelaiman dan M. Saleh. Sementara Soewarno duduk di kelas empat. Sedangkan yang duduk di kelas dua adalah Angka dan Soeradji. Hari lahir Budi Utomo pada 20 Mei ditetapkan sebagai hari kebangkitan nasional (HARKITNAS) dan diinternal IDI diperingati sebagai Hari Bakti Dokter Indonesia (HBDI)

***

Trias Peran Dokter Indonesia

"Berhasil dan tidaknya usaha ini hanya tergantung pada kesungguhan hati kita, bergantung pada kesanggupan kita bekerja. Saya yakin bahwa nasib tanah air di masa depan terletak di tangan kita". -dr. Soetomo-

Sebagai seorang dokter pejuang, dr.Soetomo telah meneladankan trias peran dokter Indonesia: agent of treatment, agent of development dan agent of change.

Melalui Organisasi Budi Utomo, dr.Soetomo menginisiasi kebangkitan pergerakan nasional sekaligus menginspirasi perjuangan para dokter Indonesia yang tidak hanya membebaskan rakyat dari penyakit tetapi juga dari belenggu penjajahan dan penindasan.

Agent Of Treatment

Selama berpindah-pindah tugas, dr.Soetomo dengan jelas melihat penderitaan rakyat saat itu. Ketika ada pasien, beliau tidak menetapkan tarif pembayaran tetapi mempersilahkan siapa saja yang berobat mengisi kotak yang sudah tersedia. 

Rakyat kecil yang tidak mampu, dibebaskan dari pembayaran bahkan seringkali diberi uang untuk ongkos pulang. 

Panggilan di saat tengah malampun beliau jalani tanpa kesal. Semua dilaksanakan secara tulus tanpa membeda-bedakan bangsa, golongan dan status sosial ekonomi demi kemanusiaan.

Dokter Sutomo atas prestasinya pula mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan melalui jalur beasiswa untuk mendalami penyakit kulit dan kelamin di Belanda. Dan di Belanda ia terpilih menjadi ketua Indische Vereeniging (1921-1922). 

Kemudian setelah lulus menjadi dokter spesialis kulit dan kelamin, beliau Kembali ke Surabaya dan bekerja di Rumah Sakit Central Buggerlijk Ziekenhuis di Karangmenjangan.

Pada saat yang sama pula diangkat sebagai "Leraar" (dosen) Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) oleh pemerintah Hindia Belanda dan merupakan pribumi pertama yang memberikan kuliah di bidang dermato-venereologi di Surabaya. 

Bahkan kita mengenal murid-murid beliau yang menjadi tokoh nasional diantaranya, dr.Ibnu Sutowo (Dirut Pertamina), dr.G.A.Siwabessy (Menteri Kesehatan 1968-1978).

Agent Of Development

Pada tanggal 11 Juli 1924 dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club (ISC), Kemudian tahun 1927, ISC menggabungkan diri dalam Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) dan dalam kongres pertamanya di tahun 1930, dr.Soetomo terpilih sebagai ketua. 

Kemudian, pada 1930, ISC berkembang menjadi partai yang dinamakan Partai Bangsa Indonesia (PBI) dengan dr.Soetomo sebagai ketuanya dan pada tahun 1934 dibentuk komisi budi utomo-PBI.

Itu kemudian disepakati terjadi fusi antara PBI dengan Budi Utomo hingga terbentuklah Partai Indonesia Raya (PARINDRA) dengan dr.Soetomo sebagai Ketua Pertamanya, dimana organisasi ini ditujukan untuk mengupayakan kemerdekaan Indonesia.

Kegiatan dan kedudukan dr.Soetomo dalam masyarakat membawa beliau ke jenjang politik dengan diangkat menjadi anggota dewan kota (Gemeen-teraad) Surabaya. 

Dalam dewan ini beliau memperjuangkan nasib rakyat antara lain perbaikan kesehatan dan nasib mereka. 

Namun usul-usulnya selalu dikalahkan oleh suara terbanyak yang tidak berorientasi pada rakyat. Ketika usulnya tentang perbaikan kampung ditolak sedangkan usul perbaikan kediaman orang Belanda diterima, dr.Soetomo langsung meminta berhenti dari keanggotaan dewan kota. Dr.Soetomo berpikir tidak ada gunanya bekerja di lembaga yang menjadi alat pemerintah kolonial.

Agent Of Change

Dokter Sutomo itu tidak saja seorang penganjur, pemuka dan pemimpin, tetapi juga seorang penyusun (bouwer) yang kelihatan nyata segala perbuatannya, tidak hanya cakap bicara, tetapi juga bisa bekerja. 

Beliau juga memprakarsai berdirinya Bank Bumiputera yang menjadi bank nasional (1929), mendirikan Gedung Nasional Indonesia yang dibangun secara bergotong royong dari bantuan lapisan masyarakat mulai dari pegawai negeri, swasta, buruh, pedagang, petani, nelayan bahkan seniman yang tergagung dalam ludruk Cak Durasin ikut berkontribusi.

Membangun kegiatan di bidang sosial ekonomi diantaranya Rukun Tani, Rukun Pelayaran, Serikat buruh, koperasi, Rumah Piatu, Badan Pengurus Pengangguran, Rumah untuk memelihara anak-anak supaya terhindari dari penyakit lepra.

Tidak hanya itu, di bidang pengajaran membangun sekolah taman kanak-kanak, mengusahakan bacaan untuk anak sekolah dasar, di bidang politik memberikan kursus politik dan kursus kader, di bidang pers mendirikan perusahaan surat kabar, bahkan menjadi Ketua Perkumpulan Para Pengelola Surat Kabar dan mengisi rubrik di sejumlah surat kabar yang terbit di Indonesia. 

Bahkan untuk menghormati jasa-jasa dr.Soetomo dalam bidang jurnalistik, oleh dewan pers namanya disematkan menjadi nama yayasan pers dr.Soetomo dan Lembaga Pers Dokter Soetomo (LPDS) pada 1988.

***

Sutomo & Organisasi ISLAM Indonesia

Pada tahun 1923 dr. Sutomo merintis pendirian RS PKU Muhammdiyah di Yogya dan tahun 1924 di Surabaya. Sejak tahun 1925 hingga akhir hayatnya dr. Soetomo menjabat sebagai Medisch Adviseur H.B. PKO Muhammadiyah. 

Berdirinya rumah obat, klinik dan poliklinik serta adanya dokter- dokter Muhammadiyah, semuanya itu adalah buah advis Dr Soetomo. 

Saat Pembukaan Poliklinik Muhammadiyah Surabaya pada 14 September 1924 dr Soetomo memberi sambutan sekaligus memperkenalkan gerakan Muhammadiyah. Acara tersebut dihadiri ole Haji Soedja' dan Ki Bagus Hadikoesoemo.

Sutomo juga turut berkontribusi dalam proses pendirian Nahdlatul Ulama (NU). Sutomo memiliki kedekatan pula dengan sejumlah tokoh Nahdlatul Ulama. 

Ia berkawan karib dengan KH. Abdul Wahab Chasbullah sejak aktif di Indonesia Studio Club (ISC). Ia juga dekat dengan Kiai Nawawi Amin Surabaya yang tak lain adalah konseptor AD/ART NU. Dalam beberapa kali Muktamar NU.

Soetomo bahkan menjadikan gagasan dan pemikiran NU dan dunia pesantren untuk turut mewarnai perjalanan berdirinya Boedi Oetomo pada 1908. 

Inspirasi pesantren sebagai National Onderwijs yang kemudian diadaptasi oleh Ki Hadjar Dewantara pada tahun 1922 sebagai pondasi pendidikan Taman Siswa.

Akan tetapi, gagasan tersebut langsung direspon oleh Sutan Takdir. Sutan Takdir beranggapan, justru pesantren yang menjadikan bangsa Indonesia anti-intelektualitas dan mengalami kemunduran. Sutan Takdir beranggapan bahwa kebudayaan Indonesia perlu mengacu ke dunia Barat agak tidak tertinggal.

***

Jika mengamati lika dan liku perjuangan dr. Sutomo, harusnya dokter dan pemuda saat ini harus malu, di tengah sulitnya dan terbatasnya informasi saat itu tidak menjadikan mereka putus asa dan terpecah belah dalam mengawal perjuangan agar sampai pada apa yang dicita-citakan.

Perjuangan mereka mengingatkan saya tentang falsafah kuno orang muna yang menjadikan salah satu landasan saya untuk bergerak dan menentukan pilihan.

"Hansuru hansuru badha sumano kono hansuru liwu, Hansuru hansuru ana liwu sumano kono hansuru adhati, Hansuru hansuru ana adhati, sumano tangka agama".

"Biar hancur badan asalkan daerah/kampung terjaga, Biar hancur daerah/kampung asalkan adat istiadat terjaga, Biar hancur adat istiadat asalkan agama (Islam) tetap tegak".

Jayalah Pemuda Indonesia
Jayalah Dokter Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun