Malam tiba, cuaca dingin mulai menusuk mereka. Suasana tenang dan damai, hanya terdengar suara angin yang berbisik di antara pepohonan. Marta merasa jantungnya berdegup kencang, mempersiapkan diri untuk mengungkapkan perasaannya. Dengan langkah mantap, dia mendekati Ningsih, mengambil tangannya dengan lembut. "Ada sesuatu yang ingin aku katakan," katanya, suaranya penuh rasa percaya diri dan kelembutan. Dia bisa merasakan ketegangan dalam udara, menambah magis momen itu. Marta mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku jaketnya, dan jari-jarinya sedikit bergetar saat membuka tutupnya. Di dalamnya, bersinar sebuah cincin yang indah. Simbol cinta dan komitmen. "Aku ingin kita bersama selamanya. Maukah kamu menjadi pendamping hidupku?" tanyanya penuh ketulusan. "Ya, aku mau!" jawab Ningsih, Â suaranya bergetar penuh emosi. Dia mengangguk, tidak bisa menahan senyumnya yang lebar. Di bawah cahaya bulan dan bintang-bintang, mereka merayakan cinta yang telah tumbuh di antara mereka, siap untuk menghadapi masa depan bersama. Malam itu, bukan hanya tentang lamaran, tetapi juga tentang cinta yang semakin mendalam, sebuah awal baru yang penuh harapan dan kebahagiaan.
Cinta seringkali diuji oleh waktu dan jarak, tetapi bagi Ningsih dan Marta, pertemuan mereka di ujung senja telah menciptakan ikatan yang takkan pernah pudar. Di tengah tantangan, mereka menemukan kekuatan dalam cinta yang tulus, berharap untuk masa depan yang lebih cerah bersama. Ningsih tahu bahwa pertemuan mereka di sungai itu bukanlah akhir, tetapi awal dari sebuah cerita indah yang akan terus berlanjut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H