Malam hari tiba dengan lembut, menyelimuti dunia dalam kegelapan yang menenangkan. Langit menjadi kanvas hitam yang dipenuhi bintang-bintang berkelap-kelip, seolah ribuan permata menghiasi langit. Bulan purnama bersinar cerah, memancarkan cahaya lembut yang menciptakan bayangan panjang di atas tanah. Ningsih dan Marta duduk di tepi pantai melihat gelombang ombak berdebur dengan lembut, menciptakan irama yang menenangkan, seolah menyanyikan lagu pengantar tidur bagi alam. Kedua kaki mereka menyentuh pasir sejuk, tangan mereka saling menggenggam erat. Kedua insan saling memandang dengan senyuman, sementara angin malam membelai wajah mereka. Dalam keheningan malam, setiap momen terasa lebih berharga, dan keindahan pantai yang tenang memberikan ruang untuk merenung dan berbagi cerita cinta.
Ningsih merasa sangat bahagia, begitu pun sebaliknya Marta merasa sangat beruntung untuk memiliki Ningsih sebagai kekasihnya. Namun sayang, kebahagiaan itu terputus ketika Marta mulai menunjukkan muka datar tanda ia sedang serius.
"Ningsih", ucap Marta sembari mengusap lembut wajah dan rambut Ningsih yang tertiup angin malam. Pandangan Ningsih yang awalnya menatap keindahan pantai seketika berpaling menuju wajah kekasihnya. Tidak memberi waktu Ningsih untuk menjawab, Marta melanjutkan perkataannya.
"Saya harus pindah ke Pulau Lombok untuk urusan hal pekerjaan. Saya tahu ini mungkin berat untuk kita berdua, namun pekerjaan ini menentukan masa depan saya. Masa depan kita berdua. Saya berjanji untuk terus mencintaimu, Ningsih. Saya tidak akan pernah berpaling dari cinta dan ketulusanmu. Saya bertekad untuk menjadikanmu kekasih seumur hidup saya."
Ningsih terpaku, matanya melebar saat mendengar perkataan kekasihnya. Wajahnya seketika berubah, dari ekspresi ceria menjadi penuh kebingungan. Bibirnya sedikit ternganga, seolah-olah kata-kata itu tidak bisa dicerna oleh akalnya. Jantungnya berdegup kencang, seolah berusaha menyesuaikan diri dengan kenyataan baru yang tiba-tiba hadir. Dalam hatinya, rasa campur aduk memenuhi ruang; ada ketidakpastian dan kepedihan yang mulai menjalar. Dia meremas tangan Marta, mencoba mencari kekuatan, tetapi semua terasa hampa. Suara kekasihnya masih terngiang di telinganya, menciptakan kesakitan yang dalam dan menusuk. Ketika dia berusaha menatap kekasihnya. Matanya yang biasanya cerah kini tampak redup dan penuh kesedihan. Air mata akhirnya menetes deras, membasahi pipinya, menandakan keretakan dalam hatinya yang tak bisa dia sembunyikan.
"Bagaimana dengan diriku disini, Marta?" Â akhirnya dia bisa berucap, suaranya bergetar, mengungkapkan kebingungan dan kerinduan akan penjelasan. Dalam momen itu, semua impian dan harapan seakan melayang, meninggalkan bekas yang sulit dihapus. Dia merasa terjebak antara keinginan untuk memahami dan rasa sakit yang menggerogoti hatinya.
Marta melihat dengan penuh rasa prihatin saat air mata mengalir di pipi perempuan itu. "Semua akan baik-baik saja. Saya selalu mencintaimu, Ningsih" ucapnya dengan kedua tangannya mengusap air mata sang kekasih. Dia menggeser sedikit lebih dekat, membiarkan bahunya bersandar pada tubuh kekasihnya, menciptakan ruang yang aman bagi perempuan itu untuk bersedih. Rambutnya yang tertata rapi bergerak lembut saat dia menundukkan kepala, memandang kekasihnya dengan perhatian. Dia menepuk punggung kekasihnya dengan lembut, setiap gerakan penuh kasih sayang dan pengertian. "Aku di sini untukmu," lanjutnya, merasakan betapa berharganya momen ini. Dalam pandangannya, ada ketegasan yang menunjukkan bahwa dia siap mendukungnya, tak peduli seberapa berat beban yang harus dihadapi. Dia mengajak kekasihnya untuk berbicara, mendengarkan setiap kata yang terucap, memberi ruang bagi perasaannya untuk diekspresikan. Dalam keheningan, dia berusaha menunjukkan bahwa cinta dan dukungannya tidak akan goyah. Setiap detik terasa seperti pengingat bahwa, meskipun saat-saat sulit datang, mereka akan selalu saling memiliki dan melewati semuanya bersama.
Sejak malam itu, kesedihan terus menghantui Ningsih. Ia dan sang kekasih harus menjalin hubungan asmara dengan jarak yang memisahkan mereka. Jarak pulau dan lautan tak berbatas. Wajahnya terlihat lelah, dengan mata yang sedikit bengkak akibat kurang tidur dan tangisan yang sering menghampirinya. Rambutnya yang tergerai tampak acak-acakan, menandakan kekacauan emosional berat yang dia alami. Ningsih dan Marta hanya mampu berkomunikasi dan bertukar kabar melalui media surat. Setiap surat terasa menghibur, tetapi juga menambah kesedihan, menyadarkannya akan betapa jauh mereka terpisah.
      Ningsih sering kali menghabiskan waktu di sungai dimana ia berjumpa dengan Marta. Memandangi langit indah dan berharap bisa merasakan kembali kehadiran orang yang dicintainya akan berada selalu di sampingnya. Pedih dan perih ia rasakan dalam  hati.  Beratnya kesepian dan kesendirian. Setiap detak jantungnya menjadi pengingat akan kerinduan yang menggebu. Air mata sering mengalir tanpa bisa ditahan, menciptakan jejak di pipinya yang biasanya selalu tampak cerah. Suara kekasihnya yang hangat masih selalu terngiang di telinga. Namun jarak antara mereka menciptakan jurang yang tak terjangkau. Dalam pikiran, dia sering kali berdebat dengan dirinya sendiri. Apakah cinta ini cukup kuat untuk bertahan dalam jarak yang membentang? Momen-momen bahagia saat bersama terasa begitu jauh, dan dia merindukan kehangatan dan kasih sayang Marta yang membuatnya selalu merasa aman. Setiap malam, sebelum tidur, dia selalu berharap untuk segera bertemu kembali. Doanya sederhana: agar jarak ini segera sirna, dan cinta mereka bisa bersatu kembali.
Tak terasa waktu telah berjalan 1 tahun lamanya. Kini Ningsih sudah mendapatkan kesibukannya sendiri. Ia bekerja di salah satu Supermarket di Kota Singaraja yang membuatnya terpisah dari kedua orang tuanya di desa. Ningsih duduk di meja kasirnya, dikelilingi tumpukan struk belanja dan layar komputer yang menyala. Keringat kecil membasahi pelipisnya, menandakan betapa fokusnya dia pada tugas yang harus diselesaikan. Rambutnya diikat rapi, tetapi beberapa helai mulai lepas dan jatuh menutupi wajahnya, mencerminkan betapa lamanya dia terjebak dalam rutinitas. Meskipun pikirannya dipenuhi dengan beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan, hatinya terperangkap dalam kerinduan yang mendalam kepada kekasihnya. Setiap kali dia menatap jam, rasa rindu itu semakin menyesakkan, mengganggu fokusnya. Terkadang, Ningsih membawa sekumpulan surat Marta ke tempat kerjanya hanya untuk dibaca ulang agar rasa rindu di benaknya segera terobati. Tegur sapa, dari teman-teman kerjanya hanya dijawabnya dengan senyuman, tetapi senyum itu terasa berat. Setiap obrolan-obrolan tak mampu mengalihkan pikirannya. Pikirannya kembali melayang kepada kekasihnya yang jauh. Dia tahu bahwa kesibukan ini adalah bagian dari usaha untuk masa depan mereka, tetapi rindu yang menggelora sering kali membuatnya merasa hampa dan kosong.
Keesokannya, pagi tiba dengan pelukan udara dingin yang menyentuh kulit, membuat setiap nafas terasa segar. Embun masih menempel di daun-daun, berkilau seperti mutiara kecil di bawah cahaya lembut matahari yang baru terbit. Langit berwarna biru pucat, dengan semburat oranye dan merah yang perlahan menghangatkan horizon, menandakan awal hari yang baru. Suara burung berkicau riang menggema, seolah menyambut datangnya cahaya. Sambil menatap ke arah cakrawala, rasa syukur mengalir dalam hati Ningsih. Namun pandangannya terhenti ke arah surat di depan pintu. Ia segera beranjak dari duduknya dan dengan tangan bergetar, dia meraih surat itu, merasakan detakan jantungnya semakin kencang. Rasa penasaran menyelimuti pikirannya. Dia mengamati amplop itu, mengenali tulisan tangan kekasihnya yang rapi dan penuh perhatian. Aroma kertas yang khas menambah nuansa emosional saat dia membuka surat itu perlahan. Jari-jarinya menyentuh kertas, seolah ingin merasakan kehadiran orang yang dicintainya. Saat membaca setiap kata, matanya berbinar dengan kebahagiaan. Kalimat-kalimat yang ditulis dengan penuh cinta mengalir dalam pikirannya, membuatnya tersenyum dan sesekali tertawa kecil. Akan tetapi, fokus Ningsih terdiam di salah satu paragraf surat Marta.