"Ningsihku tercinta, saya sangat menghargai begitu besar kesetiaan cintamu padaku. Kamu selalu sabar menanti diriku selama ini. Namun sebelum semuanya menjadi sebuah  impian kosong yang akan membuatmu menderita selamanya maka.... ingin aku sampaikan permohonan maaf yang begitu besar bahwa aku ingin kamu melupakanku. Di Lombok aku telah menemukan seorang perempuan yang telah menyelamatkan harga diri dan martabat keluargaku. Aku tertipu rekan kerjaku dan menghabiskan uang perusahaanku hingga Rp 500 juta. Aku dipecat dan diproses oleh kepolisian. Tapi syukurlah, Windari nama perempuan itu membantuku menyelesaikan kasusku. Kini aku pun bisa bekerja seperti biasa.
Ningsih, maafkan aku. Aku ingin menyampaikan bahwa orang tua Windari memintaku untuk menikahi anaknya. Rencananya minggu depan aku akan melangsungkan pernikahan. Sekali lagi akau minta maaf Ningsih. Aku sangat mencintaimu, tapi aku tak bisa menolak karena ia telah menyelamatkan diriku. Aku berharap kau pun akan mendapatkan pria tampan yang jauh lebih baik dariku. Aku yakin itu karena kamu adalah gadis yang cantik dan sangat baik hati.
"Tidaaaak!" teriak Ningsih berlari menuju kamar dan menghempaskan tubuhnya di tempat tidurnya. Ia terkulai lemas tak berdaya, beberapa orang di sekelilinya mencoba menenangkannya dan menanyakan apa yang terjadi. Tapi tak satu pun suara dari Ningsih yang terucap atau menjawab pertanyaan orang-orang di sekelilingnya. Ia menangis sejadi-jadinya. Merobek-robek surat di tangannya. "Marta....Marta...Kau Jahat. Kau jahat sekali.... Tidaaak Marta....." gumam Ningsih menyebut-nyebut nama Marta dengan penuh emosi. Ningsih akhirnya pingsan dan tak sadarkan diri lebih dari dua jam. Untunglah, Bibiknya Ningsih datang tepat waktu. Ia menenangkan Ningsih dan menyemangatinya. Perlahan Ningsih siuman dan mulai bisa mendengarkan nasihat-nasihat bibiknya. Namun air matanya terus mengalir. Pilu di wajahnya  seakan tak bisa terhapus lagi. I sudah putus asa, putus harapan karena merasa dikhianati oleh Marta. Bibik pun terus menyemangati dan menasihati Ningsih hingga akhirnya Ningsih mulai tenang dan sedikit demi sedikit bisa berbicara dan mendengarkan nasihat dari bibiknya.
"Ningsih, jangan kau berputus asa. Jika memang Marta adalah jodohmu, maka dia akan kembali padamu. Tenanglah dan serahkan segalanya pada Yang Kuasa. Mintalah padaNya, bukankah Marta adalah ciptaanNya?" nasihat Bibik pada Ningsih. Ningsih pun terdiam mengangguk perlahan sembari sesekali menghapus bulir-bulir air mata kesedihan yang terus menetes. "Iya, Bik....." jawab Ningsih.
Dua hari setelah peristiwa itu, Ningsih pun sudah memulai aktivitas sehari-harinya di tempat kerja walau terasa berat baginya. Ia tampak masih sulit melupakan Marta. Tanpa disadari sesekali air matanya menetes ketika duduk di samping tumpukan barang dekat meja kasirnya. Ia ingin teriak sekuat-kuatnya, tapi apa daya. Ia menyadari bahwa ia harus bisa membanggakan kedua orang tuanya. Bisa bekerja dan menambah nafkah untuk kedua orang tuanya yang kini tampak sudah menua.
Seminggu telah berlalu, Ningsih telah berupaya melupakan Marta walau irisan-irisan pedih di hatinya tak bisa disembuhkan. Ia masih berharap Marta akan kembali padanya. "Tapi tak mungkin Marta kembali" Gumamnya. Aktivitas rutin pun ia lakukan seperti biasa, hingga bunyi klakson motor "Teeet, Teeet, Teeet". "Eh, Pak Pos yang datang. Rupanya ada surat yang datang. Aku tak berharap sedikit pun surat itu untukku. Tapi, tiba-tiba Maya yang menerima surat dari Pak Pos, berlari kencang memanggil-manggil namaku. "Ningsih,.....Ningsih.... ini surat dari Lombok untukmu. Aku pun menyambut biasa dan tak berpikir panjang. Biasanya Marta yang mengirim surat untukku dari Lombok dan beralamat kostku. Kalau ada surat beralamat tempat kerjaku, itu berarti bukan dari Marta pikirku. Aku menerima surat itu dan mengucapkan terima kasih. Surat itu aku ambil dan langsung kusimpan di tas. Aku ingin membacanya setelah di kos pikirku.
Beberapa saat kemudian, aku berpikir sendiri, "Siapa gerangan di Lombok yang bersurat padaku. Keluarga tidak punya. Melamar pekerjaan ke Lombok pun tidak pernah, pikirku. Lalu siapa yang berkirim surat padaku dan beralamat tempat kerjaku? Tanyaku dalam hati. Akhirnya muncul rasa penasaran, "jangan-jangan Marta," pikirku. Aku langsung meraih tas yang ada di sampingku. Kuraih surat itu dan kubaca pelan-pelan. Di amplopnya tertulis nama pengirim: MARTA. "Ah....? tanyaku kaget dalam hati. "Marta.....? Aku langsung membukanya dan kubaca dengan penuh penasaran. Jantung makin berdegup kencang tak karuan. Surat itu hanya bertuliskan,
 "Hari Ini Aku Akan Pulang Ningsih, Tunggu Aku di Rumahmu."
Ningsih semakin kaget dan tak percaya membaca isi surat itu. Matanya terbelalak lebar. Mulutnya sedikit terbuka, seolah kata-kata yang ingin diucapkan terhenti di tenggorokan. Tangan kanannya bergerak otomatis, menyentuh dada, seolah ingin menenangkan detakan jantungnya yang semakin cepat. Dia berusaha meredakan rasa kaget yang menyelimuti hatinya. Tanpa pikir panjang, Ningsih bergegas mempersiapkan barang-barang untuk segera pulang ke kampung halamannya. Dengan wajah ceria ia menaiki sepeda motor pemberian orang tuanya, menyalakan mesin dengan suara nyaring yang memecah keheningan pagi. Dengan helm terpasang rapi dan jaket kulit yang membungkus tubuhnya, dia merasakan semangat mengalir dalam diri. Saat melaju, dia menyanyikan lagu favoritnya dengan suara pelan, menambah semangat perjalanan. Pemandangan indah di sepanjang jalan. Persawahan yang membentang, anak-anak yang bermain di tepi jalan, dan rumah-rumah tradisional, semuanya membuat hatinya bergetar penuh kebahagiaan. Setiap kilometer yang dia lewati semakin mendekatkannya pada rumah dan orang-orang tercinta. Akhirnya, setelah perjalanan panjang yang penuh rasa antusiasme, dia melihat papan tanda desa muncul di kejauhan. Hatinya berdegup kencang, dan sebuah senyum tak bisa dia sembunyikan. Dengan semangat membara, dia memutar gas motor, melaju lebih cepat menuju kampung halaman yang selalu diimpikannya.
Setelah bertahun-tahun terpisah oleh jarak, pagi itu akhirnya tiba. Hari-hari yang dinanti-nanti oleh keduanya akan tiba. Ningsih berdiri di depan rumah orang tuanya menunggu Marta. Gaun sederhana yang ditiup angin serta rambut yang terurai bebas menyelimuti rasa rindu yang menggebu-gebu selama ini di hatinya. Di sisi lain, Marta melangkah menuju rumah sang kekasih dengan perasaan bersemangat. Wajahnya bersinar dan berkilauan saat melihat perempuan yang telah lama dirindukannya. Ketika pandangan mereka bertemu, waktu seolah berhenti. Senyum lebar menghiasi wajah mereka, dan tanpa pikir panjang, mereka berlari satu sama lain. Pertemuan yang sudah lama ditunggu itu akhirnya terwujud, menghapus semua jarak dan kerinduan yang terpendam. Di dalam kebersamaan itu, mereka merasakan kehangatan yang seolah menembus batasan waktu dan ruang. Setelah melepaskan kerinduan yang selama ini terpendam, mereka menghabiskan waktu berkeliling desa, berbagi tawa dan cerita. Mereka melewati jalanan setapak yang dikelilingi pepohonan, mengenang semua rencana yang pernah mereka buat. Setiap detik terasa berharga, seolah mereka ingin mengabadikan momen ini dalam ingatan selamanya.