Di sebuah desa kecil nunjauh di sana, tepatnya di bawah kaki perbukitan Gunung Agung, Bali. Hiduplah seorang gadis bernama Ningsih. Gadis dengan rambut panjang berkilau dan sedikit ikal, memiliki mata bersinar dan senyuman yang sangat menawan. Ia dikenal sebagai gadis yang baik, sederhana, pintar, ceria, dan periang. Kebiasaannya setiap hari yang tidak pernah ditinggalkannya di hari Minggu adalah mengunjungi sebuah sungai cantik dan elok di dekat rumahnya. Aliran airnya begitu kuat menembus bebatuan, membentuk alur yang sangat indah. Sementara riak airnya menandakan perjalanan panjang yang telah dilalui, penuh dengan kisah dan misteri yang hingga kini masih menjadi pertanyaan. Dari manakah asal usul sumber airnya? Apakah dari bawah bebatuan perbukitan Gunung Agung, ataukah sumber airnya berasal dari sungai-sungai Kahyangan sana? Tak ada satu pun jawaban yang mengakhiri misteri ini. Namun lepas dari semua itu, di situlah Ningsih banyak menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Mandi bareng, mencuci baju atau sekadar menikmati keindahan sungainya. Tanpa disadari, rutinitasnya ini akan mengubah hidupnya selamanya.
Pagi itu embun membasahi dedaunan. Sinar mentari perlahan-lahan muncul di cakrawala, menciptakan gradasi warna oranye dan kuning yang memukau. Ningsih kembali ke sungai seperti biasanya. Ia melakukan rutinitas mencuci baju dan sesekali memandangi gemericik air yang mengalir dan jatuh dari bebatuan. Pandangannya tak putus sampai gemericik air di bebatuan, tapi liuk-liuk arus air yang menyusup di celah bebatuan dan mengalir deras menuju sebuah pusaran pertemuan berbagai arus airnya pun ia perhatikan. Dari pusaran pertemuan arus air itu, tiba-tiba muncul sosok pemuda bertubuh tegar dan tampan keluar dan berdiri tegak tepat di samping bebatuan besar yang tak jauh darinya. Ningsih kaget dan terpukau oleh pemuda tampan yang kini berjalan perlahan mendekati dirinya. Postur tubuhnya tegap dan kulitnya kecokelatan berkilau di bawah sinar matahari. Rambutnya yang hitam legam basah oleh air, menambah pesonanya yang menawan.
Dua meter lagi pemuda tampan itu akan mendekati dirinya, tapi bukannya ia mendekat untuk menghampirinya. Ternyata pemuda itu mencari posisi lompatan di sebuah batu yang dekat dengannya. Â Ia melompat tinggi dan mencebur hingga muncul suara gemuruh air yang dihempas tubuh kekarnya. Ia tampak asyik berenang dengan beberapa pemuda lainnya yang tiba-tiba muncul dan berlompatan ke sungai. Namun ia hanya fokus memperhatikan pemuda yang membuatnya terpesona itu. Gerakan tubuhnya yang lincah saat menyelam dan muncul kembali dari air diikuti oleh senyum lebar menghiasi wajahnya, membuatnya semakin menawan.
Ningsih terdiam sejenak, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak memperhatikan setiap gerakan laki-laki itu. Di dalam hatinya, ada perasaan hangat dan berdebar-debar yang tak bisa dijelaskan. Rasa kagum dan ketertarikan mengalir dalam dirinya, membuatnya merasa seolah-olah berada di awan. Ia berharap pemuda itu akan berbicara padanya. Suaranya akan terdengar merdu di telinganya. Ia akan mendengarkan setiap kata dengan seksama. Ia membayangkan dirinya akan tertawa kecil dan tentu hal ini akan membuatnya terlihat lebih bersemangat dan hidup. Ia membayangkan saat pandangan mereka bertemu, mata Ningsih tentu akan membulat, seolah menyerap setiap detail, sementara pemuda itu akan tersenyum tipis, menunjukkan rasa senang yang tulus. Waktu seakan melambat saat pandangan mereka akan bertahan, membiarkan mereka menikmati keajaiban pertemuan tersebut. Hati Ningsih bersikeras ingin memberanikan diri menyapa sang pemuda pujaan hatinya, tetapi ketakutan akan penolakan mengikatnya, membuat mulutnya terbungkam. Rasa harap dan cemas bergumul dalam pikirannya, menciptakan badai emosional yang menggemuruh di hatinya.
Ningsih kembali melanjutkan mencuci baju, Ia mencelupkan baju ke dalam air yang jernih, tangannya bergerak lincah, menggosok dan membilas dengan penuh perhatian. Setiap gerakan tubuhnya terlihat anggun, seolah menari mengikuti alunan air. Wajahnya menunjukkan konsentrasi, dengan alis yang sedikit berkerut dan senyum lembut saat melihat baju yang semakin bersih. Rambutnya yang panjang terikat rapi, beberapa helai terurai tertiup angin, menambah pesonanya yang alami. Tak disangka, pemuda yang ia kagumi menghampiri dirinya. Ningsih gugup. Saat situasi semakin mendekat, ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian.
"Selamat pagi, Dik" ucap sang pemuda dengan air yang masih membasahi sekujur tubuhnya dan diselimuti dengan senyum tipis yang hangat. "Pagi" ucap Ningsih sembari berdiri dengan tubuh sedikit membungkuk, tangannya meremas ujung kain yang dikenakannya.
Sang pemuda menjawab, "Jika Adik berkenan, izinkan saya mengetahui nama Adik. Saya Marta". Suara terdengar jelas dan tegas, dengan nada yang menandakan keyakinan dan ketulusan. Saat dia berbicara, matanya yang cerah berkilau penuh semangat, menciptakan kontak mata yang kuat dengan Ningsih.
"Aku Ningsih" , jawab Ningsih dengan suara lembut dan anggunnya.
Percakapan antara kedua individu yang tersangkut dalam aliran asmara terus berlanjut hingga rasa hangat dari sinar matahari menjadikan suasana terasa hidup dan penuh energi menunjukkan waktu siang, dan mereka harus kembali ke rumah masing-masing. Ningsih melangkah perlahan di sepanjang pepohonan, tubuhnya dibalut kain sederhana dengan motif batik yang bersinar di teriknya sinar sang surya. Rambutnya yang panjang terikat indah, beberapa helai menutupi wajahnya yang tersipu malu akibat apa yang dialaminya hari itu. Ia tidak bisa menghentikan pikirannya yang selalu terfokus kepada wajah sang pemuda itu.
Semenjak pertemuan hari itu, percakapan mereka semakin intensif hingga akhirnya menjalin hubungan asmara. Mereka mulai menghabiskan banyak waktu bersama. Kebahagiaan begitu indah dirasakan mereka. Hubungan asmara yang begitu kuat telah terjalin di tengah kebisingan dunia.  Mereka menemukan kedamaian satu sama lain, bahagia dalam cinta yang semakin tumbuh kuat. Ningsih merasakan gelombang kebahagiaan yang mengalir di seluruh tubuhnya, seolah setiap detak jantungnya mengalunkan melodi cinta. Saat ia bermadu kasih dengan pemuda pujannya, senyum tak pernah pudar dari wajahnya. Matanya berbinar cerah, mengungkapkan rasa syukur dan kegembiraan yang mendalam. Saat berbincang, ia terkadang tersipu malu, merasakan aliran kebahagiaan ketika mendengar suara tawa pemuda itu. Mereka merasa terhubung dengan cara yang tak terduga. Seolah mereka telah saling mengenal sepanjang hidup. Dalam momen-momen kecil, seperti saat berbagi cerita atau saling pandang, Ningsih  merasakan cinta yang tulus, hangat, dan penuh harapan. Namun, di balik kebahagiaannya, ada sedikit rasa kecemasan; dia berharap semua ini akan bertahan selamanya. Dia ingin mengabadikan setiap momen berharga, menyimpan kenangan indah ini di dalam hatinya. Dengan setiap detik, jam, dan hari  yang berlalu, dia semakin yakin bahwa perasaan ini adalah cinta sejati yang ia impikan.