Perusahaan-perusahaan yang ditugaskan untuk membangun itu pun umumnya adalah perusahaan Tiongkok. Mereka mengimpor manajer dan pekerja dari Tiongkok lalu pasca selesainya proyek, pemerintah daerah harus menanggung biayanya -- kecuali mereka gagal bayar, sehingga Beijing dapat mengambil alih proyek tersebut.
Kendali Tiongkok atas infrastruktur penting di negara-negara seperti Inggris dan Yunani, dan bahkan proyek-proyek terbengkalai di Uni Emirat Arab, menunjukkan bahwa Tiongkok juga dapat dengan mudah membeli serta menjual kepemilikan industri-industri utama.
Pada periode yang sama, seiring dengan berkembangnya BRI, diplomasi Tiongkok juga menjadi lebih ugal-ugalan. Tiongkok berusaha memakai seuatu tameng dimana negaranya itu kuat secara militer dan tegas secara diplomatis. Strategi ini dipakai untuk menyelubungi kekuatan finansial Tiongkok yang sangat amat besar tersebut.
Persepsi Negatif Berskala Besar: Adakah Masa Depan bagi BRI?
Tiongkok cukup licik untuk memilih peran di balik layar dibandingkan kontrol langsung, terutama di zaman ketika masyarakat global kian memusuhi Tiongkok dan menganggap Tiongkok sebagai suatu bangsa yang tengah berusaha mencapai upaya hegemoni dunia. Di negara-negara asing dimana orang Tionghoa baru saja pindah (baik sebagai pekerja di megaproyek ini, atau kelas menengah yang ingin bermigrasi), sering kali mendapatkan penolakan oleh masyarakat lokal.
Pekerja Tiongkok sering kali harus mendapatkan perlindungan khusus oleh kepolisian, seperti di Republik Demokratik Kongo, Nigeria, Kamboja, Pakistan, dan Bangladesh. Sementara itu, turis Tiongkok dan ekspatriat dianggap remeh karena dilihat oleh warga lokal sebagai orang-orang yang berperilaku buruk dan tidak bisa menghargai kultur penduduk lokal.
Beberapa di antaranya mungkin tidak lebih dari xenofobia anti-Tiongkok. Namun apa pun asal usulnya, hal ini mungkin akan mempersulit para pembuat kebijakan di Beijing untuk terus memakai pendekatan soft power. Hal ini artinya pendekatan yang Tiongkok ambil bisa jadi akan bertransisi menjadi pendekatan yang koersif atau bersifat memaksa.
Realita buruk perekonomian Tiongkok semakin dipandang dengan skeptisisme oleh lembaga-lembaga keuangan internasional. Industri real estate di Tiongkok misalnya, mengalami fenomena bubbly properti di kota-kota yang padat penduduk; disebabkan oleh surplus pasokan rumah, yang tidak akan pernah dihuni oleh siapa pun, sehingga harus dibongkar. Bank-bank di negara tersebut secara luas dianggap sudah 'aus', sebagaimana terilustrasikan oleh jatuhnya sejumlah konglomerat disana seperti kasus raksasa properti Evergrande yang terus-menerus menjadi berita utama karena gagal membayar pinjaman untuk pertama kalinya pada awal tahun 2022.
Bahkan ketika Tiongkok berupaya untuk membuktikan diri sebagai tempat yang aman bagi hutang luar negeri, beberapa investor internasional sudah mulai menjadi lebih vokal mengenai kenyataan sebaliknya. Bahwasannya, Tiongkok bukanlah tempat yang aman untu aktivitas-aktivitas ekonomi sejenis, mengingat lemahnya hukum disana dikarenakan struktur dan sistem pemerintahannya yang otokratis.
Suap besar-besaran dan kontrak-kontrak yang bersifat kolusif di RRT, contohnya yang dilakukan antara Apple dan Tiongkok, juga telah menarik perhatian berbagai pemangku kepentingan di tingkat regional dan global, serta melemahkan kepercayaan para investor dalam aspek bisnis.
Terdapat suatu skenario bahwa kelancaran Tiongkok menuju dominasi ekonomi, sesuatu yang diantisipasi oleh Partai Komunis Tiongkok (yang seharusnya dapat tercapai paling lambat pada tahun 2049), mungkin akan menghadapi hambatan yang tidak terduga.