Betul bahwa Tiongkok telah menyatakan bahwa mereka bermaksud membangun perekonomian Pakistan dari awal, mulai dari tingkat pertanian. Hal ini termasuk dalam hal pengembangan sistem logistik baru, impor teknologi baru untuk merevolusi produksi, serta menata ulang perekonomian Pakistan secara luas ke jalur modern yang berorientasi Tiongkok.
Skalanya sangat mencengangkan. Dalam 'The Dawn of Eurasia', sebuah buku karya Bruno Maes yang diterbitkan pada awal tahun 2018, disebutkan bahwa penduduk lokal Pakistan, terlepas dari takluknya mereka terhadap rencana Tiongkok, seringkali berniatan untuk membangkitkan kembali industri primer di negara mereka. Namun, hal ini dilakukan dengan cara mengimpor benih dan pestisida untuk varietas tanaman yang hanya disetujui oleh pihak Tiongkok.
Pada Desember 2021, seorang pengusaha Pakistan yang terkait dengan Gwadar mengeluh kepada Financial Times bahwa selama bertahun-tahun setelah pengumuman awal proyek tersebut, mereka masih belum melihat manfaat yang dijanjikan dari harmonisasi ekonomi gagasan Tiongkok itu. Karena proyek tersebut dibiayai oleh pinjaman Tiongkok dan bahkan dikelola oleh pekerja impor Tiongkok, hampir seluruh pihak domestik merasa dirugikan; baik perusahaan-perusahaan maupun SDm lokal.
"Tiongkok hanya membeli pasir dan kerikil secara lokal untuk proyek konstruksi. Semua bahan mentah lainnya diimpor dari Tiongkok," kata Nasir Sohrabi, presiden Dewan Pengembangan Komunitas Pedesaan Gwadar, kepada Financial Times.
Pekerja lokal Pakistan bahkan telah memprotes kehadiran Tiongkok. Di tahun 2019, diskursus mengenai BRI menjadi subjek perdebatan yang memantik atensi masyarakat luas.
Untungnya, investasi Tiongkok ke Pakistan telah sedikit menurun dalam beberapa tahun terakhir. Di era pandemi, posisi Tiongkok di dunia internasional secara sinkron turun, bersamaan dengan proyek Belt and Road juga mengalami penurunan serupa.
Namun mulai dari proyek industri primer hingga pembangunan bergengsi, BRI telah menyediakan kapital untuk proyek-proyek konstruksi di banyak negara berkembang. Hutang Tiongkok ini telah mendanai 'bandara paling kosong di dunia'; Mattala Rajapaksa International Airport di Sri Lanka, yang kini macam dalam keadaan mati suri -- tidak ada penerbangan yang berangkat atau tiba setiap hari -- selama beberapa tahun.
Pinjaman Belt and Road juga telah mengalir ke negara-negara Arab seperti Oman, yang pelabuhan Duqmnya telah menerima peningkatan aliran investasi asing berkat Tiongkok. Ada terminal lain yang serupa; terminal untuk sistem perdagangan berskala tinggi yang tengh dibangun secara konstan.
Pinjaman lainnya juga telah dicairkan untuk membangun Pelabuhan Hambantota, yang sepenuhnya dikerjakan oleh para pekerja migran Tiongkok dan justru kini telah dikelola oleh Pemerintah Tiongkok. Para pendukung proyek ini bersikeras bahwa jumlah pekerja Tiongkok, meskipun terus meningkat, masih merupakan bagian kecil dari total angkatan kerja di Sri Lanka, walau faktanya dapat diperdebatkan.
Di seluruh benua Eurasia, proyek serupa juga sedang berlangsung, atau setidaknya sedang dalam fase prospek.
Dari Kashgar di provinsi Xinjiang hingga Balkan, modelnya tak berbeda jauh. Proyek-proyek infrastruktur seringkali dibuat untuk menunjang prestise pemerintah dan bukan untuk utilitas lokal. Pinjaman diberikan oleh bank-bank Tiongkok yang didukung negara, untuk membayar sebagian atau seluruh biaya---seringkali berakhir membengkak dan mengacaukan ekonomi negara yang terlibat.