Republik Rakyat Tiongkok kerap mengilustrasikan sistem politik-ekonominya sebagai 'sosialisme dengan karakteristik Tiongkok'. Dengan demikian, Tiongkok saat ini dikenal oleh seluruh dunia lebih sebagai sebuah lembaga bisnis pinjam-meminjam beserta sejumlah bisnis konstruksi yang kian hari kian menggambarkan ciri khas Tiongkok abad 21.
Menjadikan program Belt and Road Initiative (BRI) sebagai prioritas telah menjadi bagian inti dari konstitusi Partai Komunis Tiongkok sejak tahun 2017. Skema ini merupakan gagasan ekonomi khas Presiden Xi Jinping sendiri, dimana BRI bertujuan untuk membentuk kembali perekonomian global dan menciptakan tatanan dunia baru yang dipimpin oleh Tiongkok.
BRI sejak awal mengejutkan, bahkan membuat geram negara-negara Barat. Naiknya Tiongkok ke tampuk kekuasaan global tidak dapat disangkal, namun visi dari program ini nampaknya terlalu kompleks untuk secara gamblang dipahami. Sebaliknya, media menyebut BRI sebagai 'Jalur Sutra Baru' (nama yang beredar secara resmi di Tiongkok), memadankannya dengan kebangkitan jalur perdagangan lintas benua yang secara efektif menghubungkan kekaisaran Tiongkok dengan pasar internasional berabad-abad yang lalu.
Berbeda dari jalur sutera kuno yang kental akan  kereta untanya, jalur sutera di era pasca-modern ini lekat akan jalur kereta api besar-besaran di Asia Tengah, harmonisasi peraturan, pelabuhan peti kemas internasional, dan proyek-proyek insidentil dari Eropa ke Tiongkok dan melintasi Afrika dan Timur Tengah. Program-program ini dianggap serius oleh banyak pemerintah dan dieksekusi dengan cergas di banyak negara.
Sebagian besar dari dana yang dipakai untuk proyek ini adalah uang tunai Tiongkok, dan lebih tepatnya lagi hutang Tiongkok. South China Morning Post melaporkan bahwa sekitar $300 miliar uang tunai BRI telah dicairkan untuk pekerjaan di lebih dari lima puluh negara, ratusan miliar di antaranya merupakan hutang yang dijaminkan lewat publik maupun swasta kepada perusahaan-perusahaan Tiongkok dan bank-bank pemerintah. Antara tahun 2013 dan 2018, angka ini meningkat secara signifikan dan terus meningkat hingga detik ini.
Per bulan September 2022, dilaporkan bahwa 'hutang tersembunyi' kolektif negara-negara yang menjadi objek BRI berjumlah lebih dari $385 miliar. Bahkan, lebih dari empat puluh negara miskin terkena hutang Tiongkok sebesar 10% dari total PDB mereka.
Bahaya Laten Skema Investasi dan Hutang Tiongkok
Amerika Serikat telah lama menuduh Tiongkok membangun "perangkap hutang" yang dianggap AS akan digunakan untuk menjerat negara-negara kurang berkembang melalui proyek-proyek Belt and Road yang berbiaya tinggi dan seluruhnya dibiayai dengan pinjaman tersebut. Sepatutnya, Tiongkok membantah klaim tersebut. Sejak pandemi ini dimulai, Tiongkok berpartisipasi dalam acara International Debt Relief Summit untuk pertama kalinya, meskipun dengan cara "case-by-case basis". Keringanan hutang sebesar $12,1 miliar yang kerap dibanggakan oleh forum Tiongkok-Afrika juga pada realitanya hanya porsi kecil dari ratusan miliar dollar pinjaman yang diberikan Tiongkok dalam bentuk pinjaman.
Persyaratan yang melekat pada pinjaman Tiongkok telah banyak dipersepsikan sebagai persyaratan yang 'manipulatif' bahkan 'kejam'. Para politisi populis di sejumlah negara termasuk mantan PM Malaysia Mahathir Mohamad, gencar menyuarakan perlawanannya terhadap skema BRI dan memperingatkan terhadap pinjaman Tiongkok yang dianggap dapat menghambat kemajuan negara dalam jangka panjang.
Sebuah contoh dari "klausul gila" dalam perjanjian pinjaman ini sempat ditemukan di Uganda, di mana pada akhir bulan November 2022 lalu dilaporkan bahwa Tiongkok akan mengambil alih Bandara Entebbe karena ketidakmampuan Uganda untuk membayar kembali pinjaman yang bernilai sebesar dua ratus juta dolar yang didapatkannya di tahun 2015.
Di Pakistan, saluran investasi modal Tiongkok kerap mengalami sejumlah kesulitan. Dengan nilai investasi sebesar $50 miliar, salah satu proyek bergengsinya adalah pengembangan pelabuhan utama di Gwadar.