Mohon tunggu...
Lalacitra Fitri Suwari
Lalacitra Fitri Suwari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Mahasiswi Ekonomi Syariah IPB

Selanjutnya

Tutup

Money

Potensi Industri Makanan Halal di Indonesia

14 Maret 2022   20:10 Diperbarui: 14 Maret 2022   20:18 1720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Sering kita dengar adagium “Food for the body is not enough. There must be food for the soul", yang artinya makanan untuk tubuh tidak cukup, harus ada makanan untuk jiwa. Ungkapan ini bisa dimakna secara beragam. 

Ada orang menakwilkan ekspresi tersebut bahwa makanan yang baik tidak hanya membuat tubuh bugar tetapi berpengaruh juga pada kesehatan jiwa, dalam artian makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi dapat menjaga tekanan darah dan mampu memicu timbulnya perasaan tenang dan bahagia. Namun, bagi banyak orang muslim adagium itu memiliki makna mendalam.

Secara rohaniah, muslim harus memelihara kesehatan jiwa agar dapat hidup tenang dan tentram dengan melakukan istiqomah melalui peningkatan kualitas ibadah, memperbanyak kebaikan dan mengendalikan hawa nafsu. 

Dari segi jasmaniah, makanan dan minuman yang dikonsumsi adalah makanan yang halal dan thayyib sehingga dapat menjadi sarana untuk memelihara diri dan jiwa serta mendekatkan diri kepada Allah SWT. Orang muslim percaya bahwa “…

Barang siapa yang hidup dari makanan yang serba halal, maka bersinarlah agamanya, lemah lembut hatinya dan tiada dinding penghalang bagi doa-doanya…., sebaliknya barang siapa makan makanan yang subhat, samarlah agamanya dan gelaplah hatinya”. Tidak mengherankan jika secara global gaya hidup halal atau global halal lifestyle tumbuh di berbagai Negara muslim termasuk Indonesia. 

Tren ini tampaknya menjadi semakin populer bahkan bukan hanya di Negaranegara islam yang peduli pada produk halal namun juga pada Negara minoritas muslim, karena produk halal diidentikkan dengan jaminan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kualitas pangan yang baik. 

Alhasil, potensi produk makanan halal menjadi tantangan dan peluang sekaligus tren bisnis yang perlu ditangkap dan dikembangkan di Indonesia. Ironisnya, Indonesia sebagai Negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia tidak masuk sebagai 10 besar Negara produksi makanan halal. 

Fenomena ini tentunya harus menjadi perhatian bersama agar Indonesia tidak hanya sebagai pasar industri halal yang konsumtif, namun Indonesia harus dapat mengoptimalkan berbagai potensi dan peluang yang ada untuk menjadi negara produktif di bidang industri halal.

 Pertanyaan yang kemudian muncul, mengapa perkembangan makanan halal di Indenesia masih relatif lambat dibandingkan dengan perkembangannya di Negara muslim minoritas seperti Jepang atau Thailand? Apa permasalahannya? Bagaimana dukungan regulasi pemerintah untuk sertifikasi halal, kesiapan para pemangku kepentingan (stakeholders) industri halal khususnya di bidang rantai pasok halal, dan literasi produk halal? 

Keberhasilan dalam mengurai permasalahan ini disertai langkah-langkah intervensi yang tepat, industri makanan halal akan mampu mendorong tumbuhnya UMKM dan berkontribusi penting dalam perekonomian nasional.

Potensi Industri Halal di Indonesia 

Produk halal adalah produk-produk yang dinyatakan halal sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Industri produk halal merupakan bagian dari ekonomi syariah yang dikembangkan pemerintah sejak sekitar tiga dasawarsa terakhir. Kehalalan merupakan salah satu aspek penting dalam agama Islam. Salah satu dalil perintah untuk mengkonsumsi halal terdapat dalam Alquran surat Al-Baqarah: 168, yang berbunyi 

“Wahai manusia, makanlah dari (makanan) yang halal dan thayyib (baik) yang terdapat di bumi...“. Salah satu aspek halal yang sangat penting untuk diperhatikan adalah pada makanan dan minuman. Islam sangat memperhatikan sumber dan kebersihan makanan, cara memasak, cara menghidangkan, cara makan sampai cara membuang sisa makanan. Dengan demikian, makanan halal merupakan kebutuhan dasar seorang muslim. Kebutuhan dasar ini harus terpenuhi agar seorang muslim dapat melanjutkan hidupnya.

Sektor industri halal memiliki potensi yang sangat besar dan menjanjikan. Potensi ini terutama berasal dari subsektor industri halal berupa industri makanan dan minuman, pariwisata, busana muslim, obat-obatan dan kosmetik. Sektor makanan dan minuman halal potensinya paling besar.

 Data Global Islamic Economy Report 2020/2021 menunjukkan angka pengeluaran konsumen muslim Indonesia untuk makanan dan minuman halal dan produk halal utama lainnya mencapai USD 2,02 triliun. Hal ini merupakan keniscayaan, karena Indenesia memiliki populasi penduduk muslim terbesar di dunia. 

Pada tahun 2020, setidaknya terdapat 229,6 juta jiwa penduduk muslim indonesia atau 12,7 persen penduduk muslim dunia yang mempengaruhi pasar halal domestik. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai pasar terbesar makanan dan minuman halal di dunia. Tidak hanya itu, ekspor makanan halal Indonesia pada triwulan II/2021 juga mencapai US$10,36 miliar atau tumbuh 46 persen. 

Dukungan pemerintah juga menjadi potensi besar industri makanan halal di Indonesia. Dukungan pemerintah ini terlihat dari pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagai amanat dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.

 Pembentukan BPJPH telah mentransformasi penyelenggaraan jaminan produk halal di Indonesia dari yang awalnya bersifat sukarela (voluntary) menjadi kewajiban (mandatory). Hal ini dilakukan dalam rangka memberi keamanan dan kenyamanan kepada konsumen muslim serta untuk melejitkan industri halal di Indonesia, khususnya industri makanan halal. 

Perkembangan teknologi juga menjadi potensi industri halal di Indonesia secara umum. Adanya teknologi mendorong peningkatan sosialisasi dan promosi industri halal di Indonesia. Selain itu, perkembangan teknologi juga membuat pembuatan produk industri halal menjadi lebih efektif dan efisien. 

Peluang dan Tantangan Pengembangan Industri Makanan Halal di Indonesia 

Revolusi Industri 4.0 merupakan peluang untuk membuat hidup lebih sejahtera dan telah memperkenalkan teknologi dengan begitu mudahnya. Industri halal berkembang dan menjadi industri yang signifikan baik pada tataran domestik maupun global. Masalah makanan telah lama menjadi topik khusus di setiap agama di dunia. Makanan tidak hanya menjadi penanda sebuah tradisi yang sedang berlangsung tetapi juga menjadi alat dalam berbagai ritual peribadatan keagamaan. Oleh karena itu, agama menjadi faktor penting yang menentukan boleh tidaknya suatu makanan dimakan atau boleh tidaknya suatu barang digunakan. 

Indonesia tidak hanya berpotensi sebagai pangsa pasar makanan halal tertinggi di dunia, tetapi juga produsen makanan halal terbesar dengan kekayaan sumber daya alamnya. Namun, peluang tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal. Adanya akulturasi pangan menunjukkan adanya adopsi kebiasaan terhadap pola makan dan budaya pangan baru oleh sekelompok masyarakat dari budaya dominan negara lain. Indonesia dalam hal ini masih menjadi pasar tujuan produk halal dari luar negeri. Perkembangan industri halal Indonesia dinilai stagnan. Hal ini dikarenakan pelaku bisnis di Indonesia tidak menganggap industri halal sebagai peluang bisnis yang besar dan penting. 

Berkaitan dengan berlakunya Undang-Undang Jaminan Produk Halal JPH (UU No. 33/2014) yang mengharuskan produk yang masuk, beredar dan di perdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal, maka pengetahuan tentang daftar bahan yang halal harus diketahui oleh pelaku industri dalam membuat suatu produk. Hal ini mau tidak mau akan memaksa industri untuk mencantumkan secara jelas logo halal pada produknya, kecuali untuk produk yang dimaksudkan sebagai bahan haram. Tentunya untuk dapat memperoleh sertifikat halal bagi industri atau pelaku usaha, mereka harus memiliki pengetahuan terkait bahan (bahan baku atau bahan pendukung) yang digunakan selama proses produksi. 

Pengembangan potensi industri makanan halal di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan baik internal maupun eksternal. Tantangan internal bersumber dari kurangnya pengetahuan masyarakat dan pelaku usaha tentang standarisasi halal/sertifikasi halal, rendahnya kesadaran untuk berkompetisi, edukasi konsumen, pembiayaan bisnis, dan problematika pemahaman UU No. 33/2014 yang masih kurang. Sementara tantangan eksternal yang dihadapi Indonesia adalah banyaknya Negara pesaing dan belum adanya sertifikasi halal yang berlaku secara global. 

Sejak ditetapkan tahun 2014, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), penerapannya dirasa belum efektif dan masih membutuhkan waktu karena kewajiban sertifikasi halal dilakukan secara bertahap. Problematika lain yang ditemukan adalah UU JPH sangat berpotensi untuk menyusahkan pelaku usaha dan menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Dalam Pasal 21 ayat (1) dijelaskan bahwa harus ada pemisahan pada lokasi, tempat dan alat proses produk halal (PPH). Pemisahan ini akan memberatkan para pelaku usaha, terutama pelaku UMKM karena menimbulkan biaya yang tidak perlu. 

Masuknya berbagai produk halal dari luar negeri membuat produk lokal Indonesia harus bersaing agar tetap eksis. Namun sayangnya, kesadaran masyarakat Indonesia untuk berkompetisi masyarakat Indonesia masih rendah. Maka tidak mengherankan jika saat ini Indonesia lebih cenderung menjadi konsumen industri halal. Malaysia, Brunei Darussalam, Turki, Pakistan, Qatar, dan Uni Emirat Arab merupakan Negara muslim yang menjadi pesaing Indonesia, sementara negara pesaing yang termasuk ke dalam negara non-muslim antara lain Jepang, Australia, Thailand, Selandia Baru, Singapura, United Kingdom, dan Italia. Bahkan Jepang sangat berambisi menjadi role model produk halal dunia dengan membangun berbagai fasilitas untuk mengembangkan bisnis produk halal. 

  Dalam banyak kasus, standar dan akreditasi halal merupakan persoalan yang terjadi di tingkat global. Tantangan ini terutama semakin nyata di bidang pangan. Tidak adanya standar halal menjadikan kondisi pasar menjadi bias, baik yang terjadi di tingkat produsen maupun konsumen. Sampai saat ini dipandang masih belum terdapat skema internasional untuk mengakreditasi Badan Sertifikasi Halal di masing-masing Negara. Terlalu banyak badan pengembangan standar. Hal ini disebabkan belum adanya konsensus yang dilakukan oleh negara-negara di dunia mengenai standarisasi sertifikat halal intenasional. Setiap negara memiliki kriteria tersendiri dalam penetapan sertifikasi halal. Kriteria ini belum tentu diterima oleh negara lain. Maka, tercipta ketidakteraturan dalam sertifikasi halal. 

Pemahaman masyarakat Indonesia terhadap konsep halal masih dirasa kurang. Ada banyak masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa semua produk di pasar adalah produk halal. Halal awareness memiliki keterkaitan dengan religiusitas dan pengetahuan mengenai konsep halal. Halal awareness dipengaruhi oleh tingkat keyakinan agama, alasan kesehatan, label/logo halal, identitas diri dan tingkat eksposur yang baik. 

Dengan demikian, untuk meningkatkan halal awareness di Indonesia, kuncinya adalah dengan melakukan sosialisasi. Dalam kondisi di era Revolusi Industri 4.0 seperti sekarang ini, membedakan makanan halal atau haram bukanlah hal yang mudah. Hal ini terkait dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan, dimana pangan tidak lagi terdiri dari bahan baku saja, tetapi terdapat bahan tambahan yang kemungkinan besar berasal dari pangan yang dilarang dan turunannya. 

Konsep literasi halal merupakan bentuk pemahaman masyarakat, regulator, investor, dan pelaku industri halal dalam mengetahui dan memahami kemampuan untuk mengetahui, mengonsumsi, mengelola, dan menganalisis produk halal. Minimnya literasi halal memerlukan langkah strategis untuk penguatan ekosistem halal guna meningkatkan kuantitas dan kualitas produsen maupun konsumen halal. 

Rantai pasok halal merupakan keharusan untuk mengimplementasikan penciptaan nilai halal ke dalam logistik dan rantai pasok. Rantai pasokan makanan halal dimulai dengan menemukan berbagai bahan baku yang diizinkan dan menyiapkannya sesuai kebutuhan serta sesuai dengan prinsip-prinsip hukum syariah. 

Jika dikaitkan dengan rantai pasok halal, para pelaku usaha di Indonesia yang memperdagangkan produk pangan harus memberikan informasi yang jelas dan jujur tentang komposisi, sifat kehalalan produk pangan yang diperdagangkan untuk melindungi hak konsumen muslim terhadap produk pangan non halal. 

Namun masih banyak produk makanan yang beredar di masyarakat yang belum mencantumkan logo halal atau masih diragukan logo halalnya. Pemberlakuan syariat Islam dalam manajemen rantai pasok berperan sebagai syarat dasar bagi proses manajemen halal berbasis syariah dalam arti semua harus halal (diizinkan) dan juga thoyyib sepanjang seluruh rantai. Keberhasilan industri halal juga bergantung pada kemampuan manajemen layanan logistik untuk memastikan integritas produk halal. Semua produk halal harus sesuai dengan hukum syariah yang menyatakan bahwa produk harus aman, tidak berbahaya dan sehat dari awal sampai akhir. 

Pada akhirnya, disadari bahwa potensi dan peluang ekonomi dari industri makanan halal di Indonesia sangat besar. Potensi ini jika tidak dikembangkan akan menjadi ancaman bagi perekonomian Indonesia, sebaliknya jika dilakukan penetrasi dapat memberi kontribusi penting dalam pengembangan UMKM maupun menopang tumbuhnya perekonomian nasional. 

Berbagai peluang dan tantangan industri makanan halal di Indonesia, seperti stimulan investasi, inkubator bisnis makanan halal, ekosistem terintegrasi, perizinan, pengembangan produk, sertifikasi halal, terkhusus lagi rantai pasok halal, membutuhkan dukungan pemerintah secara serius untuk menyerap peluang usaha tersebut secara optimal. 

Bentuk keseriusan pemerintah ini tampak dengan dikeluarkannya kebijakan sertifikasi halal melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57 Tahun 2021 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal, pembebasan biaya sertifikasi halal bagi UMKM, pembangunan infrastruktur industri halal di Serang, Sidoarjo, dan Bintan. Pelaku bisnis makanan halal juga harus lebih menyiapkan diri dalam menghadapi tantangan yang ada. Penguasaan teknologi informasi yang kuat akan membuat produk makanan halan memiliki keunggulan komparatif.

Dalam hal ini, Pemerintah diharapkan dapat memberikan berbagai pelatihan soft skill bagi para pelaku industri makanan halal. Pelatihan soft skill dapat meliputi: branding produk, digitalisasi pemasaran produk, etika bisnis islami dan sebagainya, sehingga produsen makanan halal di Indonesia dapat semakin dipercaya oleh masyarakat dan mampu meningkatkan daya saing produknya. 

Praktik-praktik bisnis makanan halal yang diketahui baik dapat dirujuk dan diadopsi dengan prinsip Amati, Tiru, dan Modifikasi (ATM), setidaknya untuk memperkuat motivasi inisiasi. Sebagai misal, praktik kesuksesan Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo dalam bisnis makanan halal yang menerapkan syariat islam dengan motto Halalan Thayyiban, menjadi contoh yang dapat dirujuk. Tercatat pelaku bisnis makanan halal ini telah memiliki 297 restoran di Indonesia, Arab Saudi, Malaysia, dan Singapura. Bahkan saat ini, pelaku usaha tersebut telah melakukan perluasan dan inovasi produk dengan memproduksi 100 varian rasa makanan siap saji atau Meal Ready to Eat (MRE) tersertifikasi halal bermerek MAKANKU yang diekspor ke mancanegara.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun