Tema adalah gagasan atau ide pokok. Dengan kata lain tema merupakan hal yang membuat suatu cerita dapat terjadi. Sedangkan untuk merealisasikan sebuah cerita agar dapat terjadi, atau penggerak dari sebuah cerita adalah tokoh yang lalu disusun dengan plot. Plot harus memiliki rangkaian cerita yang saling berkaitan dan rangkaian tersebut disusun berdasarkan sebab akibat.
- Analisis Plot
Plot memiliki urutan yang bernama derajat perkembangan plot. Antara lain:
- Eksposisi
- Rising action (penanjakan laku)
- Komplikasi
- Krisis
- Klimaks
- Falling action (penurunan laku)
- Solusi
Terdapat urutan alur peristiwa yang terjadi pada cerpen "Jakarta". Yaitu:
- Simbok membuat batik untuk Paijo.
- Pak Waluyo pergi ke Jakarta untuk memberikan titipan Simbok kepada Pak jendral.
- Di sana, Pak Waluyo disodorkan buku tamu, dan diharuskan mengisinya.
- Pak Waluyo harus menunggu untuk bertemu Pak jendral, adiknya.
- Pak Jendral menyapa Pak Waluyo dengan formal.
- Pak Waluyo memberika titipan dari Simbok kepada Pak Jendral.
- Pak Waluyo pulang bersama penjaga.
- Pak Waluyo menyerahkan kain pemberiam Simbok kepada penjaga.
Rangkaian Plot pada cerpen "Jakarta".
- Eksposisi
Simbok membuat batik untuk Paijo dan Pak Waluyo pergi ke Jakarta untuk memberikan kain itu.
Dari sini kita tahu bahwa Simbok adalah tokoh yang menjadi alasan cerita ini terjadi. Ia membuat kain batik itu sebagai ungkapan rasa rindu dari ibu kepada anaknya dan simbol ikatan tali persaudaraan.
Teks pada cerpen: Ditatapnya bungkusan kecil titipan emboknya, lalu diberikannya kepada si penjaga, "Untukmu. Kain yang dibatik oleh tangan orang tuaku. Di dalamnya terukir cinta ibu kepada anaknya. Coretan tanah kelahiran yang dikirim untuk mengikat tali persaudaraan!"
- Rising action
Pak Waluyo disodorkan buku tamu, dan diharuskan mengisinya.
Konflik dimulai saat Pak Waluyo diberi buku tamu dan disuruh mengisinya. Ia sedikit terkejut karena merasa bahwa ia disamakan dengan orang lain / tamu.
Teks pada cerpen: Ketika penjaga menyodorkan buku tamu, hatinya tersentil. Alangkah anehnya, mengunjungi adik sendiri harus mendaftar, padahal seingatnya, dia bukan dokter. Sambil memegang buku itu dipandangnya penjaga itu dengan hati-hati, kemudian pelan dia bertanya, "Semua harus mengisi buku ini? Sekalipun saudara atau ayahnya, umpamanya?"
- Komplikasi
Pak Waluyo harus menunggu untuk bertemu adiknya sendiri.
Konflik berlanjut saat Pak Waluyo harus menunggu untuk bertemu Paijo (Pak Jendral) dan sekali lagi ia merasa bahwa ia tidak dianggap sebagai keluarga.
Teks pada cerpen: Dia duduk saja di situ, tercenung-cenung. Dicatatnya kejadian itu dalam hati: tamunya Paijo, Mentri; langsung bertemu tanpa menunggu. Lantas dihitung-hitung sudah berapa tahun mereka tidak saling ketemu.
- Krisis
Pak Jendral menyapa Pak Waluyo dengan formal.
Konflik bertambah ketika Pak Jendral (Paijo) menyapa Pak Waluyo dengan formal dan merubah sebutan "Kakang, Simbok, dan gendukku Tinah" dengan "Kakak, Ibu, dan Dik Tinah". Tidak seperti biasa, Pak Waluyo merasa aneh saat mendengar kata-kata itu dan sekarang ia benar-benar merasa tidak lebih dari seorang tamu.
Teks pada cerpen: "Hallo, Pak Pong, apa kabar? Saya senang bertemu kakak di sini, bagaimana Ibu, Bapak dan Dik Tinah?", ujarnya, datar tanpa emosi.
Laki-laki yang bernama Pak Pong itu hanya melompong. "Kakak, Ibu, Dik Tinah?" dia sempat mencatat kata-kata baru. "Bukankah kata-kata itu dulu berbunyi, "Kakang, simbok, dan gendukku Tinah?"
"Baik, baik, Dik, semua kirim salam rindu padamu", katanya dengan latah, "dik"nya terasa kaku di lidah. Dulu, orang yang ada di depannya itu dipanggilnya dengan "le" saja, ketika masik sama-sama memandikan kerbau di sungai, tiap sore.
- Klimaks
Pak Waluyo memberika titipan dari Simbok kepada Pak Jendral.
Puncak konflik dari cerpen ini adalah saat pak waluyo memberikan titipan Simbok kepada jendral, tetapi jendral justru menjawab "nanti saja" seperti menolak bingkisan dari Simbok yang seolah memutus tali kekeluargaan.
Teks pada cerpen: "Kakak nginap di mana?" tanya laki-laki yang sejak kecil dia timang-timang itu, mengiris hatinya.
"Gambir. Engkau sibuk, Dik? Ada titipan dari Ibu", kata-katanya menggeletar, ada rasa penasaran yang ditekannya sendiri di dalamnya. Didengarnya sendiri, betapa lucunya kata "Ibu" terluncur dari mulutnya. Lebih dari setengah abad dunia ini dihuninya, baru satu kali itu dalam hidupnya ia menyebut "Ibu" buat emboknya.
"Dari Ibu? Baiklah, nanti saja; sebentar lagi saya harus rapat di Bina Graha. Kakak nginap di Gambir? Kalau begitu, biarlah penjaga mengantar kakak ke sana. Nanti malam kakak saya tunggu, makan malam di rumah bersama keluarga."
- Falling action
Pak Waluyo pulang bersama penjaga.
Penurunan konflik pada cerita ini pada saat pak waluyo berjalan pulang bersama penjaga, ia masih berusaha berpikir positif tentang Paijo (Pak Jendral), bahwa ia memang sibuk.
Teks pada cerpen: "Gambir sebelah mana, Pak?" ujar sopir di perjalanan.
"Stasiun!" jawabnya tenang.
"Stasiun? Kiri apa kanannya, Pak?" tanya si penjaga, ingin lebih jelas."
"Tidak, di stasiunnya itulah. Jam berapa kereta meninggalkan Jakarta? Saya tidak punya famili di sini, kecuali dia. Kasihan adikku, repot sekali kelihatannya. Tentu di rumahnya banyak tamu, sehingga saya tidak kebagian ruang dan waktu. Kasihan adikku, seharusnya saya tidak mengganggunya", ujarnya tulus, tanpa prasangka, pelan seperti bicara kepada dirinya sendiri.
- Solusion
Pak Waluyo menyerahkan kain pemberiam Simbok kepada penjaga.
Solusi dan plot terakhir pada cerpen "Jakarta" adalah saat Pak Waluyo (Pak Pong) menyerahkan kain pemberiam Simbok kepada penjaga, yang menandakan putusnya tali persaudaraan.
Teks pada cerpen: Pak Pong yang malang menatap kota dengan dendam di dalam hati. Jakarta, kesibukannya, Bina Graha, gedung-gedung itu, Istana Merdeka, night club, mobil merah telah memisahkan dia dari adiknya.
Ditatapnya bungkusan kecil titipan emboknya, lalu diberikannya kepada si penjaga, "Untukmu. Kain yang dibatik oleh tangan orang tuaku. Di dalamnya teruukir cinta ibu kepada anaknya. Coretan tanah kelahiran yang dikirim untuk mengikat tali persaudaraan!"
Dua tetes air mata membasahi pipi yang tua, menandai kejadian waktu itu.
Analisis Tokoh pada cerpen "Jakarta"
Keseluruhan tokoh:
- Pak Waluyo (Pak Pong)
- Pak Jendral (Paijo)
- Ibu (Simbok)
- Penjaga
- Pak mentri
Tokoh utama/ Protagonis:
Singkatnya, tokoh protagonis adalah tokoh yang mendukung alur pada tema. Pada urutan alur peristiwa yang dijabarkan di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh protaginisnya antara lain:
- Ibu (Simbok)
- Pak Waluyo/ Pak Pong
Tokoh Antagonis:
Kebalikan dari tokoh proagonis. Tokoh antagonis merupakan tokoh yang menentang alur pada tema. Dapat disimpulkan bahwa tokoh antagonis pada cerpen tersebut adalah
- Pak Jendral (Paijo)
- Analisis tema
Jika dilihat pada penjabaran di atas, yang membuat semua ini terjadi adalah rasa rindu Ibu kepada anaknya. Lalu Simbok membuatkan batik tersebut sebagai ungkapan rasa rindu dan simbol ikatan tali bersaudaraan dari Pak Waluyo.
Puncak masalah dari sebuah cerpen adalah klimaks, dan klimaks menentukan sebuah tema. Pada cerpen ini, saat pak waluyo memberikan titipan Simbok kepada jendral, jendral justru menjawab "nanti saja" seolah menolak bingkisan dari Simbok.Â
Di sini tokoh antagonis menolak bingkisan (alasan terjadinya peristiwa) dari tokoh protagonis. Yang menandakan putusnya tapi kekeluargaan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tema dari cerpen "Jakarta" adalah "Putusnya tali kekeluargaan".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H