Konflik berlanjut saat Pak Waluyo harus menunggu untuk bertemu Paijo (Pak Jendral) dan sekali lagi ia merasa bahwa ia tidak dianggap sebagai keluarga.
Teks pada cerpen: Dia duduk saja di situ, tercenung-cenung. Dicatatnya kejadian itu dalam hati: tamunya Paijo, Mentri; langsung bertemu tanpa menunggu. Lantas dihitung-hitung sudah berapa tahun mereka tidak saling ketemu.
- Krisis
Pak Jendral menyapa Pak Waluyo dengan formal.
Konflik bertambah ketika Pak Jendral (Paijo) menyapa Pak Waluyo dengan formal dan merubah sebutan "Kakang, Simbok, dan gendukku Tinah" dengan "Kakak, Ibu, dan Dik Tinah". Tidak seperti biasa, Pak Waluyo merasa aneh saat mendengar kata-kata itu dan sekarang ia benar-benar merasa tidak lebih dari seorang tamu.
Teks pada cerpen: "Hallo, Pak Pong, apa kabar? Saya senang bertemu kakak di sini, bagaimana Ibu, Bapak dan Dik Tinah?", ujarnya, datar tanpa emosi.
Laki-laki yang bernama Pak Pong itu hanya melompong. "Kakak, Ibu, Dik Tinah?" dia sempat mencatat kata-kata baru. "Bukankah kata-kata itu dulu berbunyi, "Kakang, simbok, dan gendukku Tinah?"
"Baik, baik, Dik, semua kirim salam rindu padamu", katanya dengan latah, "dik"nya terasa kaku di lidah. Dulu, orang yang ada di depannya itu dipanggilnya dengan "le" saja, ketika masik sama-sama memandikan kerbau di sungai, tiap sore.
- Klimaks
Pak Waluyo memberika titipan dari Simbok kepada Pak Jendral.
Puncak konflik dari cerpen ini adalah saat pak waluyo memberikan titipan Simbok kepada jendral, tetapi jendral justru menjawab "nanti saja" seperti menolak bingkisan dari Simbok yang seolah memutus tali kekeluargaan.
Teks pada cerpen: "Kakak nginap di mana?" tanya laki-laki yang sejak kecil dia timang-timang itu, mengiris hatinya.
"Gambir. Engkau sibuk, Dik? Ada titipan dari Ibu", kata-katanya menggeletar, ada rasa penasaran yang ditekannya sendiri di dalamnya. Didengarnya sendiri, betapa lucunya kata "Ibu" terluncur dari mulutnya. Lebih dari setengah abad dunia ini dihuninya, baru satu kali itu dalam hidupnya ia menyebut "Ibu" buat emboknya.