"Dari Ibu? Baiklah, nanti saja; sebentar lagi saya harus rapat di Bina Graha. Kakak nginap di Gambir? Kalau begitu, biarlah penjaga mengantar kakak ke sana. Nanti malam kakak saya tunggu, makan malam di rumah bersama keluarga."
- Falling action
Pak Waluyo pulang bersama penjaga.
Penurunan konflik pada cerita ini pada saat pak waluyo berjalan pulang bersama penjaga, ia masih berusaha berpikir positif tentang Paijo (Pak Jendral), bahwa ia memang sibuk.
Teks pada cerpen: "Gambir sebelah mana, Pak?" ujar sopir di perjalanan.
"Stasiun!" jawabnya tenang.
"Stasiun? Kiri apa kanannya, Pak?" tanya si penjaga, ingin lebih jelas."
"Tidak, di stasiunnya itulah. Jam berapa kereta meninggalkan Jakarta? Saya tidak punya famili di sini, kecuali dia. Kasihan adikku, repot sekali kelihatannya. Tentu di rumahnya banyak tamu, sehingga saya tidak kebagian ruang dan waktu. Kasihan adikku, seharusnya saya tidak mengganggunya", ujarnya tulus, tanpa prasangka, pelan seperti bicara kepada dirinya sendiri.
- Solusion
Pak Waluyo menyerahkan kain pemberiam Simbok kepada penjaga.
Solusi dan plot terakhir pada cerpen "Jakarta" adalah saat Pak Waluyo (Pak Pong) menyerahkan kain pemberiam Simbok kepada penjaga, yang menandakan putusnya tali persaudaraan.
Teks pada cerpen: Pak Pong yang malang menatap kota dengan dendam di dalam hati. Jakarta, kesibukannya, Bina Graha, gedung-gedung itu, Istana Merdeka, night club, mobil merah telah memisahkan dia dari adiknya.
Ditatapnya bungkusan kecil titipan emboknya, lalu diberikannya kepada si penjaga, "Untukmu. Kain yang dibatik oleh tangan orang tuaku. Di dalamnya teruukir cinta ibu kepada anaknya. Coretan tanah kelahiran yang dikirim untuk mengikat tali persaudaraan!"