Mohon tunggu...
Laksmi Haryanto
Laksmi Haryanto Mohon Tunggu... Freelancer - A creator of joy, a blissful traveler who stands by the universal love, consciousness, and humanity.

As a former journalist at Harian Kompas, a former banker at Standard Chartered Bank and HSBC, and a seasoned world traveler - I have enjoyed a broad range of interesting experience and magnificent journey. However, I have just realized that the journey within my true SELF is the greatest journey of all. I currently enjoy facilitating Access Bars and Access Energetic Facelift sessions of Access Consciousness - some extraordinary energetic tools of cultivating the power within us as an infinite being.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Anak-anak Sampan Pun Pewaris Sah Negeri Ini

3 April 2020   19:31 Diperbarui: 6 April 2020   06:00 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begitu perahu kami merapat di dusun Linau, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, pada 12 Maret 2020 lalu, Lensi Fluzianti - atau yang biasa dipanggil Bunda Densy - langsung berseru ke seantero dusun yang terdiri dari puluhan gubuk-gubuk kayu Orang Suku Laut.

"Ayo, ayo kita semua kumpul! Ini ada rombongan dokter yang akan memeriksa kesehatan kalian dengan gratis. Ayo, siapa yang sakit, berobat." Meski tanpa toa, suara Bunda Densy menggelegar melayang diiring hembusan angin, membuat beberapa orang mulai melongokkan kepala dari balik pintu.

Begitu mengenal sosok Bunda Densy yang wajahnya akrab di perkampungan Suku Laut, para warga mulai berani melangkah keluar rumah meski ragu-ragu melihat rombongan berjaket biru di belakangnya. Itu adalah rombongan dokter dari DoctorSHARE, sebuah yayasan sosial yang didirikan oleh dr. Lie A. Dharmawan untuk melayani masyarakat kecil di berbagai wilayah terpencil yang tak memiliki akses kesehatan.

Karena dokter Lie punya keprihatinan besar pada Orang Suku Laut - yakni masyarakat asli Kepulauan Riau yang beratus-ratus tahun hidup menyatu dengan laut, bahkan sebagiannya masih hidup di atas sampan-sampan kajang - siang itu kami berada di sana untuk melakukan pelayanan medis. Kami di sana bersama Bunda Densy, ketua Yayasan Kajang, sebuah lembaga nirlaba yang dibentuk pada tahun 2018 dengan tujuan membela hak-hak Orang Suku Laut yang mulai terdesak.

Dusun Orang Suku Laut di Linau.
Dusun Orang Suku Laut di Linau.
Berkat teriakan Bunda Densy yang tak henti-henti berkumandang ke seantero dusun sambil melongokkan kepalanya ke setiap rumah - sedikit demi sedikit warga mulai melangkah ke sebuah balai pertemuan kayu yang berada di tengah dusun. Ada yang wajahnya takut-takut, ada yang langkahnya berat, dan ada yang tiba-tiba memutuskan putar balik pulang ke rumah. Tetapi ketika mereka mendengar bahwa cabut gigi dengan dokter Ivanna Belopandung ternyata sama sekali tidak sakit, tiba-tiba banyak warga berkerumum antri untuk cabut gigi. Dokter gigi kami, dokter Ivanna, memang tak kenal lelah. Selama pelayanan ini ia telah mencabut beratus-ratus gigi dengan wajah yang selalu gembira.

Aku memperhatikan semuanya. Kebanyakan anak-anak Orang Suku Laut terlihat cakap dalam penampilan eksotisnya yang khas. Dengan warna kulit hitam legam terpanggang sinar matahari, dengan rambut yang berujung kemerah-merahan tanpa high-light kimiawi, dengan sorot mata yang bening dan tajam, gurat wajah mereka terlihat serius. Mereka jarang tersenyum, namun begitu senyum mereka merekah, oh, seperti melihat matahari terbit di cakrawala.

Dan senyum anak-anak kecil itu ternyata merekah lebar begitu mendengar panggilan Bunda Densy. Dengan ramainya anak-anak kecil itu berebutan duduk di dekatnya.

"Coba lihat kukunya?" Bunda Densy meminta mereka mengangsurkan tangan yang mungil-mungil untuk diperiksa kukunya. "Hiiii... kenapa pada panjang-panjang kukunya? Tak pernah gunting kuku ya? Hiii... banyak kumannya itu. Ayo kita potong kuku."

Anak-anak Suku Laut.
Anak-anak Suku Laut.
Lalu di tengah pelatar kayu, ramai berkerumunlah anak-anak kecil di dekat 'sang bunda', berlomba mengulurkan tangannya. Suara tawa anak-anak yang bening melengking melayang-layang di udara, membuat hatiku terasa hangat.

Tapi tiba-tiba aku tersadar. Realitas hidup mereka sebenarnya tak seindah tawa itu. Masyarakat Orang Suku Laut, yang di masa Kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang adalah pelaut-pelaut yang disegani, kini terdesak dan terpinggirkan. Tak mampu mengikuti perubahan zaman dan iklim, hampir seluruh orang dewasanya buta aksara hingga kini. Tak hanya itu, anak-anaknya pun kebanyakan putus sekolah di Sekolah Dasar, atau bahkan tak pernah sekolah sama sekali.

Baca juga "Kelana Laut yang Gamang, Akahkah Kalian Bertahan?"

Mata yang jernih dan tajam.
Mata yang jernih dan tajam.
Perkenalan Bunda Densy dengan masyarakat Orang Suku Laut pun sebenarnya belum lama. Baru dimulai sejak enam tahun lalu, yakni di tahun 2014. Pada saat itu ia kebetulan ditempatkan di Pulau Pena'ah sebagai seorang guru PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini).

Saat ia sedang mengajar anak-anak kecil warga desa, setiap pagi Bunda Densy selalu mendengar keriuhan di luar. Suara ramai itu ternyata berasal dari tepi pantai. Di sana ia mengamati, setiap pagi selalu ada sampan berderet-deret dengan anak-anak kecil bermain-main di atasnya. Sebagian anak-anak itu tampak membantu orangtuanya menjual ikan.

Karena usia anak-anak itu adalah usia sekolah, Bunda Densy tak bisa menahan keheranannya. Ia bertanya pada Pak Kades (Kepala Desa) Pena'ah, "Mengapa anak-anak kecil itu tak sekolah?"

"Oh... karena mereka anak-anak Orang Suku Laut," jawab Pak Kades singkat.

Jawaban itu membuatnya semakin bingung.

"Memangnya kenapa kalau mereka anak-anak Orang Suku Laut? Apakah itu membuat mereka tak berhak sekolah?"

Wajah anak Suku Laut.
Wajah anak Suku Laut.
Tak ada jawaban yang dapat memuaskan hatinya saat itu, tetapi itulah pertama kalinya Sang Semesta memperkenalkannya pada Orang Suku Laut. Tak pernah terbayang di benaknya bahwa di kemudian hari hidupnya akan terlibat begitu erat dengan masyarakat Orang Suku Laut.

Setelah Bunda Densy tahu bahwa anak-anak Suku Laut itu berada di bawah wilayah sang kepala desa, maka ia pun mencoba mendesak Pak Kades, "Pak, saya ingin anak-anak kecil itu juga bisa bersekolah di sini. Mereka kan termasuk warga Bapak."

Pak Kades tampak terkejut. Ia tak bisa memutuskan begitu saja.

"Coba Ibu rundingkan dulu dengan para wali murid lainnya, apakah mereka bersedia anak Orang Suku Laut ikut bersekolah di sini."

Perundingan dengan para wali murid ternyata berjalan alot. Sebagian besar berkeberatan anak-anak mereka bersekolah dan bergaul dengan anak-anak Orang Suku Laut. Alasan-alasan yang diajukan pun tak masuk akal, seperti: penampilan fisik Orang Suku Laut yang berkulit hitam itu tak sepadan dengan mereka, kebiasaan Orang Suku Laut yang jarang mandi membuat bau amis ikan melekat di tubuhnya, atau Orang Suku Laut itu secara alami masih kental dengan mistis dan mejik yang menakutkan.

Karena jalan tampak buntu, akhirnya Bunda Densy mengajukan opsi terakhir, "Baiklah, kalau kalian tidak ingin menerima anak-anak Suku Laut itu bersekolah di sini, saya pun tak akan mengajar di PAUD ini lagi."

Rupanya itulah jalan yang ditunjukkan Sang Semesta. Karena warga desa masih membutuhkan Bunda Densy untuk mengajar di PAUD mereka, maka demi mempertahankan sang guru, untuk pertama kalinya anak-anak Orang Suku Laut pun diperkenankan bersekolah bersama anak-anak mereka. Dan, ternyata anak-anak kecil itu pun bisa bersekolah dan bergaul dengan akrab.

Dalam seragam sekolah.
Dalam seragam sekolah.
Baca juga "Kacamata, Ponsel Gagap Aksara, dan Cahaya".

Pekerjaan rumah pertama bisa diselesaikan dengan baik. Lalu, apa pekerjaan rumah kedua?

"Anak-anaknya saja tidak sekolah, maka sudah pasti para orangtuanya juga buta huruf. Saya amati pada saat menjual ikan pada tauke, Orang Suku Laut itu ikut memelototi timbangan. Tapi apakah mereka mengerti bagaimana membaca jarum dan angkanya? Ketika saya tanyakan, mereka menggelengkan kepala. Mereka tak bisa baca timbangan. Ikan-ikan mereka dihargai murah sekali dan diklaim rusak karena tombak. Tetapi saat dijual ke pihak ketiga oleh tauke, harganya bisa berlipat tinggi," kisah Bunda Densy lebih lanjut. "Waktu itu saya hanya mengajar di pagi hari, sehingga punya waktu luang di siang hari. Saya katakan pada Pak Kades bahwa saya ingin mengajar orang-orang tua Suku Laut dalam program pemberantasan buta aksara."

Lagi-lagi, Pak Kades terkejut. "Siapa yang akan mengajar?" tanyanya.

"Saya," jawab Bunda Densy. "Saya sendiri yang akan mengajar. Tentu saja dengan syarat saya dijemput dan diantar dengan perahu menuju perkampungan mereka."

Sejak saat itulah keterlibatan Bunda Densy makin mendalam dengan Orang Suku Laut. Program pemberantasan buta aksara tak semudah bayangannya. "Bayangkan betapa kakunya tangan mereka! Seumur hidup hanya memegang serampang (tombak penangkap ikan), kini mereka harus belajar menulis. Tangan mereka itu sudah sekeras kaki meja," cerita Bunda Densy. "Saya harus memeluk dari belakang untuk bisa memegang tangannya dan melemaskan jari-jarinya, serta mencontohkan bagaimana caranya menulis di kertas HVS. Untuk bisa lancar mencoret-coret di atas kertas saja mereka memerlukan waktu sebulan!"

Kegiatan Yayasan Kajang.
Kegiatan Yayasan Kajang.
Saat sering mengunjungi masyarakat Orang Suku Laut dalam program pemberantasan buta aksara itulah Bunda Densy kemudian mendapati kenyataan lain yang memprihatinkan. "Mereka tak menikah secara resmi!" ungkapnya. "Saat itu banyak pasangan Orang Suku Laut hidup bersama, telah beranak-pinak tanpa tercatat resmi oleh negara. Jadi anak-anak mereka pun tak pernah ada di negara ini. Tak diakui sebagai warganegara!"

Jiwa gerilyanya pun langsung bergolak. Ia berusaha menikahkan secara resmi pasangan-pasangan itu sesuai dengan agama yang mereka anut, agar mereka beserta anak-anaknya diakui negara. Tetapi, apa yang terjadi?

"Ya ampun, saya dipingpong ke sana-sini selama satu tahun! Saya disuruh ke sana ke sini tanpa hasil. Semua proses dipersulit sampai-sampai akhirnya dengan terpaksa saya menghadang seorang pejabat di tengah jalan," ungkapnya. "Saya tanyakan pada pejabat itu: kalau Bapak tidak mau meresmikan pasangan-pasangan itu sesuai agama, maukah Bapak menanggung dosanya?"

Bingo. Pertanyaan itu ternyata membuka jalan lebar. Akhirnya pada tahun 2015, setahun setelah ia memulai perjuangannya, dilakukanlah pernikahan masal bagi pasangan-pasangan Suku Laut. Ada 14 pasang 'pengantin' yang saat itu diresmikan sebagai suami-isteri di KUA Senayang. Namun yang tak kalah penting adalah anak-anak mereka akhirnya mendapatkan akte kelahiran dari negara, tercatat sebagai warganegara dan pewaris sah negeri ini.

Tetap belajar. Sumber: Yayasan Kajang.
Tetap belajar. Sumber: Yayasan Kajang.
Berhasil menyelesaikan pekerjaan rumah ini, ada pertanyaan lain yang melintas di benaknya: Ini baru kasus di satu titik saja. Padahal pemukiman Orang Suku Laut meliputi 30 titik di Kabupaten Lingga yang wilayahnya terdiri dari 603 pulau. Jangan-jangan kasus seperti ini pun terjadi di dusun-dusun lain? Jangan-jangan mereka juga perlu bantuan untuk menyuarakan hak-hak mereka di hadapan negara? Jangan-jangan...

Berjuta 'jangan-jangan' inilah yang menyebabkan Bunda Densy tak pernah bisa melepaskan wajah-wajah polos Orang Suku Laut ke luar dari benaknya. Sejak saat itu, bersama dengan teman-temannya, para mahasiswa, dan siapa pun yang bersedia -- ia mendirikan Komunitas Peduli Orang Suku Laut, yang kemudian menjadi cikal bakal Yayasan Kajang saat ini. Nama Kajang sendiri diambil dari atap berbentuk segitiga yang menaungi sampan Orang Suku Laut. Dulu, hidup mereka sepenuhnya ada di dalam sampan kajang itu.

Dengan sumber daya terbatas, Yayasan Kajang kemudian berusaha mendampingi, mendukung, dan mengatasi berbagai persoalan masyarakat Orang Suku Laut di Kabupaten Lingga. Masalah yang diyakini paling esensial adalah dikeluarkannya data Orang Suku Laut dari Kelompok Adat Terpencil (KAT), sehingga saat ini Orang Suku Laut sering tak diikutkan dalam program-program Pemerintah, baik di tingkat provinsi atau di tingkat desa. Padahal, kenyataan kehidupan mereka saat ini masih sangat memprihatinkan.

Bunda Densy selalu optimis.
Bunda Densy selalu optimis.
Saat ditanya dari mana dana yang digunakannya untuk melakukan semua aktivitas sosial ini, Bunda Densy hanya tertawa. "Tergantung dari donasi orang-orang baik saja. Kalau ada dana ya jalan, kalau gak ada, ya gadaikan ponsel. Hahaha!"

Kupandangi anak-anak kecil yang berkerumun gembira di sampingnya. "Jangan putus sekolah ya, Nak," bisikku perlahan. "Kalian harus bangga sebagai anak-anak sampan. Nenek moyang kalian adalah pelaut-pelaut ulung penjaga negeri ini. Anak-anak sampan pun adalah pewaris sah negeri ini."

***

Sumber dari Yayasan Kajang dan dari berbagai sumber lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun