Lho, jadi kambing hitamnya adalah program pembangunan pemerintah yang nota-bene ingin mengentaskan mereka?
Sebentar. Mari kita telusuri perkaranya. Land Reform -- Reformasi Agraria - adalah bagian tak terpisahkan dari program pembangunan Indonesia setelah merdeka di tahun 1945.Â
Eksekusi dari program pembangunan - khususnya menyangkut hak wilayah atau teritori masyarakat adat atau suku asli - di sana-sini banyak menyulut perdebatan dan pertentangan sengit.
Namun seiring dengan berlalunya waktu, pemerintah pun mengakui dan menghormati adanya wilayah-wilayah tertentu yang secara turun temurun ternyata merupakan wilayah adat serta memiliki hukum dan hak adat yang dikelola oleh masyarakat adat yang diakui pemerintah.Â
Masyarakat adat yang diakui pemerintah saat ini tersebar di seantero Nusantara. Contohnya adalah masyarakat adat Kanekes, masyarakat adat Dayak, Papua, Toraja, dan lain sebagainya.
Untuk mengentaskan masyarakat-masyarakat adat, terutama yang diakui sebagai Kelompok Adat Terpencil (KAT), pemerintah pun tak hanya menganggarkan dan menyalurkan dana tertentu, tetapi juga membuat program-program pengembangan lainnya.
Pada tahun 1885, atas jasa-jasa mereka menjaga pesisir dan lautan, Kesultanan Riau Lingga -Johor-Pahang memberikan hak kuasa atas wilayah pada Orang Suku Laut yang tertuang dalam sebuah manuskrip kuno dan peta wilayah yang disebut 'Peta Wilayah Takluk Sultan Abdurrahman Muazzamsyah'.Â
Dokumen tersebut konon sekarang masih ada dan dipegang oleh Tengku Fahmi dari Lembaga Adat Kesultanan Riau Lingga di Pulau Penyengat, Tanjung Pinang.
Hak Adat itulah yang digunakan oleh Orang Suku Laut untuk berjaya di wilayah lautan selama berpuluh tahun hingga runtuhnya Kesultanan yang diakibatkan oleh politik adu-domba Belanda.Â
Pada tahun 1913 terjadilah eksodus keluarga Sultan ke Singapura dan kesultanan pun ditutup untuk selamanya. Setelah itu, secara perlahan-lahan Orang Suku Laut pun bercerai-berai seperti anak ayam kehilangan induknya.