Hanya beberapa jam saja berada di ruang perawatan, oleh dokter suamiku dinyatakan sudah meninggal dunia. Sesaat dunia ini terasa gelap. Aku tak tahu harus bagaimana menjalani kehidupan ini selanjutnya. Apalagi aku sedang mengandung janin bayi. Bagaimana nasibnya bila sudah lahir nanti?
Semakin gelap duniaku ketika dokter memvonis aku dan bayiku sebagai penderita HIV. Hari-hariku ke depan tak terbayangkan akan menemukan seberkas cahaya lagi. Aku hanya tinggal menunggu tibanya ajal saja.Â
Sementara para tetangga sekitar sepertinya berusaha untuk tidak bergaul lagi denganku. Mereka melihat aku dan anakku sebagai sesuatu yang wajib hukumnya untuk dijauhi. Bisa jadi ada ketakutan tertular oleh wabah -- kalau boleh kusebut begitu - laknat ini.
Tapi untunglah dokter, dan para relawan selalu menghiburku. Bahkan meskipun awalnya aku merasa tak sanggup, dan sungkan, sekarang ini aku sudah mau berinteraksi dengan sesam ODHA di kota. Paling tidak kami bisa berbagi untuk sekedar menghibur hati.
Mendengar kisahnya yang diceritakan Nur, penyandang ODHA itu sendiri, di sebuah sore yang mendung, membuat saya, penulis, hanya termenung. Tanpa sanggup berkata-kata lagi.
Sungguh. Di kampung itu, bisa jadi Nur (26) dan anaknya saja yang sekarang sudah menginjak usia hampir 2 tahun merupakan penyandang orang dengan HIV dan AIDS.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H