Sungguh. Aku tak tahu, dan tak mengerti sama sekali. Dokter yang memeriksa kandunganku bertanya tentang mendiang suamiku yang meninggal dunia saat kehamilanku menginjak usia empat bulan lalu. Bagaimana pun di saat menunggu kelahiran anak pertamaku ini, pertanyaan dokter itu malah justru semakin menambah penderitaan yang kurasakan saat itu.
Betapa tidak. Sejak seminggu lalu, Â otot-otot di sekitar perut, pinggang, dan punggung seringkali terasa mengencang, dan menimbulkan nyeri. Terlebih lagi saat memasuki hari kelima terasa kian menjadi-jadi. Betapa rasa sakit tak terperi yang selama hidupku baru kurasa saat ini. Dukun beranak di kampungku, malah menganjurkan pada ibuku agar aku diperiksa ke bidan desa saja. Akan tetapi bidan pun geleng-geleng kepala, dan mengajak kami, aku dan ibuku, untuk pergi ke rumah sakit di kota. Entah mengapa. Bidan hanya mengatakan, dirinya merasa tidak sanggup menanganinya. Persalinanku harus mendapat pertolongan dokter dengan segera. Itu saja.
"Suaminya ikut ke sini?" Begitu pertanyaan dokter sambil memeriksa kandunganku. Sebenarnya pertanyaan itu tidak ditujukan padaku, melainkan pada bidan yang ikut mendampingiku.
Namun pertanyaan itu malah membuat lidahku terasa kelu. Sambil menahan rasa sakit yang kian menjadi-jadi, pikiranku melayang-layang tak menentu. Aku membayangkan bayi yang akan keluar dari rahimku akan hidup tanpa kasih sayang ayahnya. Dan aku harus menghidupinya seorang diri. Aku terisak, airmata membasahi di pipi. O, malangnya nasibku ini.
Aku tak tahu berapa lama tak sadarkan diri. Namun saat siuman, rasa nyeri yang kualami sudah tak terasa lagi. Demikian juga perutku sudah terasa tanpa ada yang membebani seperti selama ini. Artinya aku sudah melahirkan. Tapi dimana bayiku?
"De, sudah sadar?" suara ibuku yang duduk di samping tempat tidurku menyadarkanku. "Anakmu sudah lahir, perempuan, dan sekarang dirawat di tempat khusus," sambungnya.
Aku manghela nafas. Mataku kembali terpejam, bersyukur pada Allah SWT dalam hati. Aku dan bayiku selamat. Hanya saja diam-diam melintas kembali pertanyaan, bagaimana nasib kami -- aku dan anakku, Â nanti selanjutnya tanpa ada suami dan ayah yang menyertai...
Setelah satu minggu dirawat di RSUD, aku dan bayiku diperbolehkan pulang. Hanya saja saat beres-beres di sal tempat kami dirawat, aku bersama ibu dan bayiku diminta datang ke ruangan dokter yang selama ini merawat kami.
Di ruangan dokter, selain dokternya itu sendiri, tampak beberapa perawat dan dua orang dokter lainnya. Ternyata pada saat itu dokter mengatakan, bahwa aku dan bayiku telah positif tertular HIV. Ada pun yang menularinya tak lain adalah mendiang suamiku. Menurut dokter, pihaknya telah mendengar cerita ibuku secara panjang-lebar tentang kematian suamiku, ditambah pula ada catatan medis karena beberapa hari sebelum meninggal, suamiku sempat dirawat di rumah sakit itu juga.
Sungguh. Aku tak menyangka nasib aku dan bayiku akan seburuk ini. Diam-diam muncul penyesalan dalam dadaku, mengapa lima tahun lalu aku mau menerima pinangan lelaki itu untuk dijadikan istrinya kalau pada akhirnya aku akan menderita seperti ini.
Memang pada mulanya karena keadaan diriku sendiri yang sejak kecil ditinggal mati oleh ayahku. Aku yang baru duduk di bangku sekolah dasar kelas empat, harus hidup bertiga dengan ibu dan adikku. Tanpa seorang ayah, kehidupan kami sekeluarga sehari-hari bisa disebut pas-pasan saja. Karena hanya mengandalkan beberapa petak tanah sawah peninggalan ayah yang dikelola ibuku. Sewaktu-waktu ada juga bantuan dari kakakku yang sudah berumah tangga. Tapi itu pun tak mencukupi. Karena kakak sudah memiliki tanggungan keluarganya sendiri.
Selesai menamatkan pendidikan di SD, karena tubuhku terbilang bongsor, dan merasa sudah mampu melakukan pekerjaan rumah tangga, aku berniat untuk bekerja sekedar meringankan beban ibu. Sebab sebagaimana kebiasaan di kampungku jika sudah selesai menamatkan sekolah dasar, kalau tidak melanjutkan sekolah karena tak mampu, maka bekerja membantu orang tua saja sebagai alternatifnya. Tidak hanya anak laki-laki yang biasa pergi ke kota untuk menjadi buruh di pabrik, anak perempuan pun kalau tidak membantu keluarga di rumah, pilihan lainnya adalah mencari pekerjaan sebagai pembantu, atau pelayan toko di kota.
Bisa jadi karena penampilanku yang kata orang termasuk memiliki wajah cantik, dan postur tubuh yang bongsor, aku diterima sebagai pelayan toko kelontong di pasar kecamatan. Pekerjaan itu kujalani sekitar empat tahun. Selama itu aku bisa membantu ibu untuk memperbaiki rumah kami, juga membantu biaya sekolah adikku hingga tamat SMP.
Saat usiaku akan memasuki 18, seringkali ibuku memintaku untuk segera mendapat calon suami. Karena beberapa anak gadis tetangga sekitar yang usianya di bawahku sudah banyak yang dinikahkan oleh orang tuanya, sebagaimana tradisi di kampung kami. Mungkin ibu merasa risih juga dengan anak gadisnya ini. Tapi entah mengapa, untuk mendapatkan calon suami aku memang memiliki kriteria sendiri. Bisa jadi karena kehidupan kami selama ini yang serba kekurangan, membuatku untuk bisa merubahnya. Dan paling tidak aku harus mendapatkan suami yang sudah mapan. Memiliki usaha yang tetap, dan bisa diandalkan untuk menopang kehidupan kami sekeluarga. Meskipun  misalnya tidak ada pria yang masih perjaka, tak apalah kalau status calon suamiku itu seorang duda sekalipun. Itu yang ada di pikiranku saat itu.
Harapanku ternyata didengar Tuhan. Saat usiaku menginjak 20, seorang pria dengan status duda cerai, dari kampung sebelah, datang melamarku. Usianya sudah 32. Bekerja sebagai mandor bangunan. Selain rumah dan isinya sudah termasuk wah untuk ukuran kampung kami, sepeda motornya pun ada dua yang dimilikinya. Tanpa pikir panjang lagi, kuterima lamarannya. Dan beberapa waktu berselang, kami pun melangsungkan akad pernikahan.
Mungkin karena usia kami yang jauh beda, suamiku terasa begitu mencintaiku. Pakaian mahal, dan perhiasan pun yang dulu hanya ada dalam angan-angan, sekarang dapat kumiliki. Sungguh. Aku merasa bahagia. Ibu dan adikku pun ikut serta merasakannya. Meskipun terkadang aku seringkali merasa kesepian, karena satu-dua bulan aku ditinggal suamiku ke kota untuk bekerja, ditambah lagi sampai memasuki tahun keempat kami berumah tangga belum juga ada isinya perut ini, tapi dengan mengurus rumah dengan segala kemewahannya, yang ditemani ibu dan adikku, Â sedikitnya rasa sepiku terhibur juga.
Bahkan kalau sedang suntuk sekalipun, aku masih bisa melepaskannya dengan bernyanyi karaokean, ditemani beberapa teguk minuman keras yang selalu tersedia dalam kulkas.
O iya, semula aku kaget juga. suamiku ternyata pecandu alkohol. Dia suka minum minuman keras. Dan seringkali mabuk setelahnya. Bahkan aku suka merasa jijik juga bila suatu ketika harus membersihkan sisa-sisa muntahnya yang tercecer di lantai.
Pernah aku mengingatkannya. Dan aku merasa tidak suka kalau ternyata ia seorang pemabuk. Tapi aku di-skakmat. Suamiku menyodorkan dua pilihan, tetap menjadi istrinya dengan membiarkannya dengan kebiasaannya itu, bahkan aku diminta untuk ikut menyukainya pula, atau angkat kaki untukkembali ke rumah ibuku.
Sungguh. Pilihan yang berat. Tapi sungguh, aku sungguh-sungguh ingin tetap menikmati dan merasakan kehidupan yang berkecukupan ini. Aku sudah muak dengan kemiskinan. Dan selanjutnya kebiasaan suamiku itupun menjadi kebiasaanku juga. aku jadi seorang peminum pula.
Memasuki tahun kelima, aku merasa ada perubahan pada diriku. Suatu saat aku tidak menstruasi sebagaimana biasanya. Ketika aku periksa ke bidan, ternyata di perutku sudah mulai tumbuh janin. Horeee... Betapa bahagianya aku. Rumah tangga kami sebentar lagi akan semakin lengkap saja. Namun ketika kabar itu kusampaikan pada suamiku yang baru saja datang dari kota, hanya senyum hambar, dan anggukan lesu saja yang kutangkap. Suamiku ternyata sakit. Sebagai seorang istri yang setia, maka tanpa menunggu waktu lama lagi, aku segera mengajaknya ke dokter. Tapi suamiku menolaknya. "Sebentar lagi juga sembuh," begitu kilahnya.
Tapi setelah sekian lama, kesehatannya bukannya membaik. Suamiku semakin parah saja sakitnya. Bahkan belakangan ini ia sudah tak mampu untuk bangkit dari tempat tidurnya. Sehingga hal itu membuatku was-was dan prihatin. Oleh karena itu, suatu hari aku bersama sanak saudaranya, juga ibuku, memaksanya untuk ke rumah sakit.Â
Hanya beberapa jam saja berada di ruang perawatan, oleh dokter suamiku dinyatakan sudah meninggal dunia. Sesaat dunia ini terasa gelap. Aku tak tahu harus bagaimana menjalani kehidupan ini selanjutnya. Apalagi aku sedang mengandung janin bayi. Bagaimana nasibnya bila sudah lahir nanti?
Semakin gelap duniaku ketika dokter memvonis aku dan bayiku sebagai penderita HIV. Hari-hariku ke depan tak terbayangkan akan menemukan seberkas cahaya lagi. Aku hanya tinggal menunggu tibanya ajal saja.Â
Sementara para tetangga sekitar sepertinya berusaha untuk tidak bergaul lagi denganku. Mereka melihat aku dan anakku sebagai sesuatu yang wajib hukumnya untuk dijauhi. Bisa jadi ada ketakutan tertular oleh wabah -- kalau boleh kusebut begitu - laknat ini.
Tapi untunglah dokter, dan para relawan selalu menghiburku. Bahkan meskipun awalnya aku merasa tak sanggup, dan sungkan, sekarang ini aku sudah mau berinteraksi dengan sesam ODHA di kota. Paling tidak kami bisa berbagi untuk sekedar menghibur hati.
Mendengar kisahnya yang diceritakan Nur, penyandang ODHA itu sendiri, di sebuah sore yang mendung, membuat saya, penulis, hanya termenung. Tanpa sanggup berkata-kata lagi.
Sungguh. Di kampung itu, bisa jadi Nur (26) dan anaknya saja yang sekarang sudah menginjak usia hampir 2 tahun merupakan penyandang orang dengan HIV dan AIDS.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H