Mohon tunggu...
Lakon Hidup
Lakon Hidup Mohon Tunggu... -

Menulis itu bagiku serupa sarapan pagi, dan identik dengan helaan nafas kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengakuan Seorang Perempuan Penyandang ODHA

12 November 2017   21:02 Diperbarui: 12 November 2017   21:29 968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selesai menamatkan pendidikan di SD, karena tubuhku terbilang bongsor, dan merasa sudah mampu melakukan pekerjaan rumah tangga, aku berniat untuk bekerja sekedar meringankan beban ibu. Sebab sebagaimana kebiasaan di kampungku jika sudah selesai menamatkan sekolah dasar, kalau tidak melanjutkan sekolah karena tak mampu, maka bekerja membantu orang tua saja sebagai alternatifnya. Tidak hanya anak laki-laki yang biasa pergi ke kota untuk menjadi buruh di pabrik, anak perempuan pun kalau tidak membantu keluarga di rumah, pilihan lainnya adalah mencari pekerjaan sebagai pembantu, atau pelayan toko di kota.

Bisa jadi karena penampilanku yang kata orang termasuk memiliki wajah cantik, dan postur tubuh yang bongsor, aku diterima sebagai pelayan toko kelontong di pasar kecamatan. Pekerjaan itu kujalani sekitar empat tahun. Selama itu aku bisa membantu ibu untuk memperbaiki rumah kami, juga membantu biaya sekolah adikku hingga tamat SMP.

Saat usiaku akan memasuki 18, seringkali ibuku memintaku untuk segera mendapat calon suami. Karena beberapa anak gadis tetangga sekitar yang usianya di bawahku sudah banyak yang dinikahkan oleh orang tuanya, sebagaimana tradisi di kampung kami. Mungkin ibu merasa risih juga dengan anak gadisnya ini. Tapi entah mengapa, untuk mendapatkan calon suami aku memang memiliki kriteria sendiri. Bisa jadi karena kehidupan kami selama ini yang serba kekurangan, membuatku untuk bisa merubahnya. Dan paling tidak aku harus mendapatkan suami yang sudah mapan. Memiliki usaha yang tetap, dan bisa diandalkan untuk menopang kehidupan kami sekeluarga. Meskipun  misalnya tidak ada pria yang masih perjaka, tak apalah kalau status calon suamiku itu seorang duda sekalipun. Itu yang ada di pikiranku saat itu.

Harapanku ternyata didengar Tuhan. Saat usiaku menginjak 20, seorang pria dengan status duda cerai, dari kampung sebelah, datang melamarku. Usianya sudah 32. Bekerja sebagai mandor bangunan. Selain rumah dan isinya sudah termasuk wah untuk ukuran kampung kami, sepeda motornya pun ada dua yang dimilikinya. Tanpa pikir panjang lagi, kuterima lamarannya. Dan beberapa waktu berselang, kami pun melangsungkan akad pernikahan.

Mungkin karena usia kami yang jauh beda, suamiku terasa begitu mencintaiku. Pakaian mahal, dan perhiasan pun yang dulu hanya ada dalam angan-angan, sekarang dapat kumiliki. Sungguh. Aku merasa bahagia. Ibu dan adikku pun ikut serta merasakannya. Meskipun terkadang aku seringkali merasa kesepian, karena satu-dua bulan aku ditinggal suamiku ke kota untuk bekerja, ditambah lagi sampai memasuki tahun keempat kami berumah tangga belum juga ada isinya perut ini, tapi dengan mengurus rumah dengan segala kemewahannya, yang ditemani ibu dan adikku,  sedikitnya rasa sepiku terhibur juga.

Bahkan kalau sedang suntuk sekalipun, aku masih bisa melepaskannya dengan bernyanyi karaokean, ditemani beberapa teguk minuman keras yang selalu tersedia dalam kulkas.

O iya, semula aku kaget juga. suamiku ternyata pecandu alkohol. Dia suka minum minuman keras. Dan seringkali mabuk setelahnya. Bahkan aku suka merasa jijik juga bila suatu ketika harus membersihkan sisa-sisa muntahnya yang tercecer di lantai.

Pernah aku mengingatkannya. Dan aku merasa tidak suka kalau ternyata ia seorang pemabuk. Tapi aku di-skakmat. Suamiku menyodorkan dua pilihan, tetap menjadi istrinya dengan membiarkannya dengan kebiasaannya itu, bahkan aku diminta untuk ikut menyukainya pula, atau angkat kaki untukkembali ke rumah ibuku.

Sungguh. Pilihan yang berat. Tapi sungguh, aku sungguh-sungguh ingin tetap menikmati dan merasakan kehidupan yang berkecukupan ini. Aku sudah muak dengan kemiskinan. Dan selanjutnya kebiasaan suamiku itupun menjadi kebiasaanku juga. aku jadi seorang peminum pula.

Memasuki tahun kelima, aku merasa ada perubahan pada diriku. Suatu saat aku tidak menstruasi sebagaimana biasanya. Ketika aku periksa ke bidan, ternyata di perutku sudah mulai tumbuh janin. Horeee... Betapa bahagianya aku. Rumah tangga kami sebentar lagi akan semakin lengkap saja. Namun ketika kabar itu kusampaikan pada suamiku yang baru saja datang dari kota, hanya senyum hambar, dan anggukan lesu saja yang kutangkap. Suamiku ternyata sakit. Sebagai seorang istri yang setia, maka tanpa menunggu waktu lama lagi, aku segera mengajaknya ke dokter. Tapi suamiku menolaknya. "Sebentar lagi juga sembuh," begitu kilahnya.

Tapi setelah sekian lama, kesehatannya bukannya membaik. Suamiku semakin parah saja sakitnya. Bahkan belakangan ini ia sudah tak mampu untuk bangkit dari tempat tidurnya. Sehingga hal itu membuatku was-was dan prihatin. Oleh karena itu, suatu hari aku bersama sanak saudaranya, juga ibuku, memaksanya untuk ke rumah sakit. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun