Bibir Harly yang sejak tadi terkatup, perlahan terbuka. Sudut bibirnya terangkat sedikit, lalu ia menerawang pada jendela besar di sampingnya. Hujan yang deras mulai menyisakan rintik, para pejalan kaki pun menutup payung mereka sembari berjalan melewati trotoar.
“Kenapa gue memilih dia? Gue nggak pernah tahu, Na. Bersama dia, gue merasa menemukan diri gue yang sebenarnya. Mungkin banyak orang yang nggak setuju dengan hubungan kami, tapi gue menikmatinya, Na. Gue merasa semua berjalan seperti seharusnya.”
Air mata Syiana terus menetes, ia menguatkan diri untuk menatap mata Harly dengan pandangan yang memburam.
Perlahan, Harly menjatuhkan telapak tangannya di atas punggung tangan Syiana. Laki-laki itu menggenggam tangan Syiana dengan erat seolah memberikan kekuatan. Ia mengusap tangan itu dengan ibu jarinya, lalu perlahan melepaskannya lagi.
“Hidup memang nggak selalu berjalan seperti yang kita inginkan, Na. Ada beberapa hal dalam hidup ini yang memang harus berjalan keluar dari jalurnya. Kita hanya perlu menerima itu sebagai kenyataan,” kata Harly sembari menghela napas, “Janji sama gue, Na, mulai hari ini, lo harus kembali percaya sama cinta. Lo harus membangun keluarga yang bahagia bersama pasangan lo nanti. Mungkin takdir lo memang bukan bersama gue, Na.”
Syiana tersenyum getir lalu menghapus air matanya, “Thanks, Har, gue senang lo sudah menemukan dunia lo. Semoga kalian bahagia.”
Harly mengangguk, “Tian pasti senang dengar ucapan lo, Na. Nanti gue salamin deh ke dia. Dulu kan lo yang paling berisik teriakin dia di lapangan.”
Lagi-lagi, Syiana tersenyum. Kali ini lebih lebar dari sebelumnya. Setelah percakapan itu berakhir, ia merasa tidak punya pilihan selain merelakan sahabatnya bersama orang lain. Sahabat yang disayanginya, bersama seorang kapten basket putra yang selalu dielu-elukan oleh para siswi di sekolah mereka. Seseorang yang mengisi relung hati Harly sejak lama. Septian Ginanjar.
Minggu ketiga, di tengah biru pada Januari, segalanya telah terungkap.