"Wes kita jalan aja Din, pasrah wes kalo ditilang ya ngikuti prosedur aja," ajak Rafida.
"Oke Fi."
Kami kembali mengendarai kemudi, menuju barisan jalur yang telah diatur sedemikian rupa. Tanganku gemetar hebat, aku benar-benar gelisah. Pengemudi di samping kanan kiriku tampak tenang.Â
Pantas saja, mereka kan lengkap, ndak seperti aku. Aku terus mengikuti alur hingga tiba giliran motor di depanku. Ia lolos karena surat-suratnya lengkap, sedang di sampingnya tampak pengemudi diminta menghadap kerumunan polisi di sebelah utara untuk mengambil surat tilang. Aduh.. pasti nasibku sama dengannya. Aku tak tahu apa yang sedang Rofida fikirkan tak sempat melihatnya dari kaca spion.
"KTP, Sim sama STNK Mbak?"
"Pak mohon maaf STNKnya ketinggalan." Polisi itu menerima sodoran KTP dan SIM dariku. Sekalipun aku membawa STNK tetaplah aku salah dan pasti ditilang karena plat motor yang kukendarai dengan jelas menunjukkan bahwa motorku mati sejak 2 bulan yang lalu. Kulihat Rofida tetap tenang meski ia berhenti menyenandungkan shalawatnya.Â
Kami sama-sama terdiam memnanti putusan tilang dari Pak polisi yang tengah berdiri di hadapanku itu. Tubuhku menggigil panas dingin. Padahal aku melakukan perjalanan kemari bersama Rafida hanya untuk observasi lapangan untuk menyelesaikan proyek kelompok bersama Faisal dan dua orang lainnya. Kalau bukan karena itu malas sekali aku jalan malam.
Polisi itu tampak mengamati plat nomor motorku, duh mati aku. Ketahuan kalau motorku mati. Sejenak ia mengamati plat nomorku sebelum kemudian menyodorkan kembali SIM juga KTP milikku.
"Lain kali dibawa ya Mbak STNKnya." Haa.. kulihat wajah polisi itu tenang saja seperti taka da perintah untuk menghadap kerumunan polisi yang siap mencatatkan surat tilang. Aku masih terdiam, Rofida tampak mengamati polisi itu.
"Boleh jalan Pak?" tanyaku.
"Iya silakan, hati-hati." Seketika aku menarik gas di tangan kananku dan berhasil lolos dari lorong macan itu.