Sreett ... "Din awas...."
Seketika tangan kiriku mengendalikan rem sekecang-kencangnya. Di depanku expander putih mendadak menyalakan reting kanan menuju arah putar balik. Beruntung tangan Rofida gercap memberi kode padaku sehingga aku tak sampai hilang kendali.
"Huh Ya Allah ... untung gak nabrak tadi." Aku melenguh nafas panjang.
"Jangan melamun to Din, mikir apa to kamu?"
Apa ya yang sedang kufikir, perasaan melamun juga nggak. Aku mikir Rafida, gadis yang duduk di belakangku itu masih saja melanjutkan shalawatnya yang sempat terputus gara-gara insiden barusan.
"Fi, kamu ndak capek teriak-teriak dari tadi?"
Dia memang terkesan anggun dan tak banyak bicara, tapi di balik itu sosoknya konyol, dia humoris, nggak segan-segan aku menggodanya.
"Ndak Din, aku suka kayak gini apalagi di jalan. Kalo di kosan masih malu mau teriak-teriak Din takut ganggu yang lain, tapi kalo di jalan paling ya Kamu tok yang tak ganggu hahaha," ia tergelak, aku cuma meringis.
Perjalanan kami mulai memasuki kawasan tertib lalu lintas. Deretan warung-warung di sepanjang jalan tampak begitu padat, sedang di depan kami kulihat kendaraan memadati jalanan ada apa ini.
"Fi, Rafida kok rame ya Fi," tanyaku santai.
"Din, operasi Din, gak bohong aku."