Doa orang benar di dengar Tuhan. Itu rumusan sederhana yang diimani Ahok kepada Sang Khalik. Jika anda benar, lurus, berniat baik dan berdoa total, anda akan dilindungi oleh Dia Sang Pencipta. Karena Dia Sang Maha Adil, maka Sang Pencipta itu juga tidak membeda-bedakan agama, rasa atau kelompok orang yang berseru kepada-Nya. Doa orang benar akan didengar Sang Pencipta dan menyelamatkan.
Kekuatan doa orang benar bisa menyelamatkan itulah yang selalu ditanam Ahok dalam kalbunya. Sebelum pergi ke kantornya, Ahok dikenal media bahwa ia selalu meminta doa dari ibundanya. Sepanjang hari dalam tugasnya mengabdi negara, Ahok bekerja dengan spirit doa. Dan kalau dia sudah sampai larut malam ke rumah, Ahok kembali meminta doa syukur dari Ibundanya dari Belitung sana. Â Hari-hari penuh pertarungan telah dilalui, esok Ahok akan kembali lagi bertarung dengan spirit doa yang sama.
Para lawan Ahok pun heran dan takjub mengapa Ahok yang diserang dari berbagai penjuru tidak juga kunjung jatuh? Bahkan faktanya, Ahok semakin fenomenal dengan raihan satu juta KTP, dan didukung oleh tiga partai pendukung? Mengapa media sosial selalu bergemuruh mendukung Ahok. Bahkan gara-gara Ahok, sosok sekaliber Aburizal Bakri terpaksa plin-plan menyatakan dukungan kepada Ahok?
Para lawan Ahok lupa satu hal yang paling hakiki bahwa kekuatan rohaniah seseorang sangat berperan. Doa orang benar didengar Sang Pencipta sedangkan doa orang tidak benar dibiarkan. Penulis tidak akan mengadili apakah doa Ahmad Dhani, Ratna Sarumpaet, Abraham Lunggana, Muhammad Taufik benar atau tidak benar. Pun doa oknum BPK yang ingin menjatuhkan Ahok benar. Soal kebenaran doa, hanya Dia yang di atas sana yang tahu.
Namun lewat doa Ahok dan Ibundanya, penulis yakin bahwa itulah alasan satu-satunya yang membuat Ahok tetap tegar dari serangan paling mematikan BPK sepanjang sejarah repulik ini. Mengapa? Karena siapapun yang melawan BPK dengan kekuatan superbody-nya, maka dia akan jatuh tak terkecuali Ahok. Untuk lebih jelasnya, penulis mencoba menguraikan bagaimana skenario BPK dalam menjatuhkan Ahok.
Akhir tahun 2014 Ahok atas amanat undang-undang, dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta menggantikan Jokowi yang naik menjadi Presiden RI terpilih. Karena sebagian besar anggota DPRD DKI Jakarta saat itu tidak menginginkan Ahok menjadi Gubernur, maka Jokowi melantik Ahok di istana pada tanggal 19 November 2014. Tanpa waspada dan hanya mengandalkan instingnya bahwa dia berjalan dalam kebenaran, Ahok menyetujui pembelian lahan Sumber Waras dan transaksi dilakukan pada tanggal 31 Desember 2014.
Awal tahun 2015 situasi politik di DKI mulai gaduh. Pengesahan APBD dipersulit oleh DPRD karena berbagai anggaran tak jelas dipotong tanpa kompromi oleh Ahok. Ngotonya DPRD memasukkan anggaran siluman membuat Ahok marah dan mencap DPRD menjadi sarang maling dan begal. Terjadilah perseteruan hebat antara Ahok dengan DPRD DKI. Ahok membuka anggaran siluman DPRD kepada publik dengan nilai fantatis 12 Triliun Rupiah. Sementara itu DPRD menuduh Ahok telah memalsukan RAPBD DKI Jakarta tanpa persetujuan DPRD dengan mengirimnya kepada Mendagri.
Perseteruan antara Ahok dengan DPRD terus berlanjut dan berujung pada pengguliran hak angket dan hak menyatakan pendapat. Saling lapor kepada KPK dan Bareskrim Polri pun terjadi. Simpati publik mulai mengalir kepada Ahok dan mengecam gerakan impeachment mengada-ada dari DPRD. Di tengah situasi gaduh, sekelompok anak muda mulai terbentuk untuk membela Ahok dan menamakan dirinya Teman Ahok. Sementara itu aneka gerakan lawan Ahok dengan otak oknum DPRD DKI, timbul di berbagai tempat dan membuat situasi politik di ibu kota semakin panas.
Situasi kisruh Ahok vs DPRD dimanfaatkan oleh Kepala BPK DKI saat itu Efdinal untuk memancing di air keruh. Efdinal menyoroti pembelian lahan Sumber Waras yang dilakukan Ahok akhir Desember 2014, dengan mengatakan bahwa Ahok telah melakukan beberapa pelanggaran dalam pembelian 3,1 hektar lahan Rumah Sakit Sumber Waras itu.
Menurut Efdinal, pembelian lahan itu telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 191 miliar. Ketika Ahok marah dan mengamuk, Efdinal kemudian mengajak  Ahok ‘berdamai’ dengan menawarkan kepada Ahok agar mau membeli lahan miliknya di areal TPU Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Efdinal pun mengiming-iming Ahok, jika Ahok mau membeli lahan itu, maka laporan itu bisa ‘direvisi’.
Tetapi, Ahok langsung menolak ajakan damai Efdinal itu mentah-mentah, karena ia yakin bahwa tidak ada yang salah dari pembelian lahan tersebut. Ahok mengeluarkan pernyataan bahwa satu sen pun dia tidak akan membayar untuk menghapus laporan audit BPK DKI itu. Karena Ahok tak bisa diajak berdamai, maka Efdinal pun mengumumkan hasil auditnya kepada publik bahwa ada unsur korupsi yang dilakukan oleh Ahok di balik pembelian lahan Sumber Waras.
Langkah Efdinal itu direspon Ahok dengan menyerang balik BPK. Ahok kemudian mengungkit kebiasaan lama BPK yang memberikan penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WDP) kepada berbagai daerah namun kepala daerahnya terbukti korupsi. Aksi melawan Ahok itu membuat BPK kebakaran jenggot. Ahok diingatkan oleh berbagai pihak agar tidak melawan BPK karena  melawan BPK itu sulit sekali. Karena hanya lewat laporannya maka hampir dipastikan orang tersebut menjadi tersangka. Selama ini KPK dan pihak penegak hukum lain selalu menjadikan hasil audit BPK itu sebagai dasar penyidikan berbagai kasus-kasus korupsi.
Akan tetapi Ahok tetap teguh. No kompromi. Karena Ahok yakin bahwa apa yang dia lakukan di Sumber Waras sudah benar dan merasa bahwa tidak ada uang satu rupiah pun yang dia korupsi, Â maka Ahok pun terus menantang para petinggi BPK agar membuka laporan kekayaan mereka kepada publik. Perseteruan Ahok vs BPK DKI pun melebar menjadi perseteruan Ahok vs BPK pusat. BPK pusat pun kemudian menganggap Ahok melawan dan mengancam reputasi mereka.
Ketika Ahok vs BPK diambang perang, DPRD DKI Â merasa mendapat amunisi untuk menyerang lagi Ahok. Maka pada tanggal 30 Oktober 2015, dipimpin oleh Haji Lulung, Ahok kemudian dilaporkan kepada KPK. Berdasarkan laporan itu, guna kepentingan penyelidikan, KPK meminta BPK untuk melakukan audit investigasi terhadap kontrak pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras itu. Â
Perang pun dimulai antara BPK pusat dengan Pemprov DKI. Pada tanggal 23 November 2015, BPK mengirim banyak auditor terbaiknya ke balai kota untuk melakukan pemeriksaan. Â Biro keuangan di balai kota pun penuh sesak saat itu. Sumber-sumber informasi menyebutkan bahwa 1 orang PNS DKI diperiksa 3 orang auditor BPK. Ahok sendiri diperiksa seharian penuh dari pagi sampai malam, seorang diri. Semua stafnya dilarang membantu atau mendampingi Ahok. Padahal orang yang diperiksa polisi saja diberi kesempatan didampingi pengacaranya.
Para auditor BPK itu berusaha mencari semua kesalahan ahok. Prinsipnya harus dapat kesalahan, bagaimana pun caranya. Dengan kekuatan penuh yang dikerahkan sepanjang sejarah BPK, para auditor BPK melakukan segala cara untuk mencari-cari kesalahan lain yang dilakukan oleh Ahok. Namun sampai detik terakhir penyelidikan mereka, kesalahan Ahok nihil.  Akan tetapi karena niatnya sudah mau ‘membunuh’ karena ahok dianggap melakukan pembangkangan kepada BPK, maka sumber waras harus tetap dinyatakan salah.
BPK pun kalap, azas etika pemeriksaan dilupakan. Yang penting Ahok harus disingkirkan dulu agar kepala daerah lain tidak ikut-ikutan melawan. BPK kemudian dengan terpaksa mengubah dirinya menjadi BPN (Badan Pertanahan Negara) yang bisa menentukan lokasi di mana tanah Rumah Sakit Sumber Waras itu berada. Keluarlah laporan audit investigasi BPK dengan kerugian negara 191 miliar. Dasarnya Ahok  telah ‘salah’ menentukan lokasi lahan Sumber Waras.
Para lawan Ahok pun bersorak kegirangan. Haji Lulung, Muhammad Sanusi, Muhammad Taufik, Ahmad Dhani, plus Ratna Sarumpaet bersendandung kesenangan ketika laporan audit BPK diserahkan kepada KPK pada tanggal 7 Desember 2015. Satu langkah lagi Ahok tersangka. Bagi lawan Ahok yang dipastikan maju kembali dalam Pilgub DKI 2017 mendatang, tersangkanya Ahok akan membuat Ahok tak bisa lagi mencalonkan diri menjadi gubernur untuk periode kedua. Yang penting adalah Ahok harus tersangka saja dulu. Soal dia benar atau salah biar pengadilan yang memutuskan. Politik DKI pun gaduh, Sumber Waras menjadi sorotan. Tekanan kepada KPK agar menjadikan Ahok sebagai tersangka bertubi-tubi. Bahkan anggota komisi III DPR Senayan ikut turun tangan menekan KPK.
Audit Investigasi BPK yang bersifat final
Hasil audit investigasi yang dikeluarkan oleh BPK termasuk di Sumber Waras, bersifat final. Dengan kata final maka hasil audit BPK itu menjadi sarat kontroversi dan menjadi sumber masalah karena BPK sudah menjelma menjadi lembaga superbodydi negeri ini. Hasil auditnya selalu bersifat final dan berlaku kiamat. Dengan sifat final maka hasil audit BPK itu sudah tidak bisa digugat lagi karena dalam UU pemeriksaan Keuangan Negara no. 15/2004, hasil audit BPK bersifat final.
Dengan sifat yang bersifat final itu, maka laporan BPK dapat dijadikan senjata mematikan bagi orang-orang yang berkepentingan di negeri ini untuk menjatuhkan lawan politiknya lewat laporan hasil audit. Pada kasus Sumber Waras misalnya, BPK ngotot menyatakan bahwa ada kerugian negara sebesar Rp. 191 miliar. Hasil auditnya pun langsung diserahkan kepada KPK dan bukan kepada Kejaksaan. Padahal pada akhir tahun 2015 lalu, BPK mengeluarkan dua laporan audit Investigasi yang sama-sama bermasalah, yakni kasus Sumber Waras dan kasus Hotel Indonesia.
Untuk kasus kasus Hotel Indonesia dengan kerugian negara Rp. 1,2 triliun dan lebih besar dari kerugian negara di Sumber Waras justru diserahkan kepada Kejaksaan dan bukan kepada KPK. Sampai sekarang pun, kasus hotel Indonesia sudah naik ke penyidikan namun belum ada yang menjadi tersangka. Mengapa kasus Sumber Waras diserahkan kepada KPK sementara kasus Hotel Indonesia diserahkan kepada Kejaksaan Agung? Itulah realita politik jegal. Di dalamnya sarat dengan kepentingan politik.
Karena laporan audit investigasi BPK dapat dijadikan sebagai satu alat bukti di pengadilan, maka biasanya aparat hukum lebih mudah menersangkakan orang. Dalam undang-undang pemberantasan korupsi, ada dua pasal karet yang bisa dengan mudah menjadikan orang tersangka, yakini pasal memperkaya orang lain dan pasal membantu perbuatan jahat. Dua pasal ini membuat para penegak hukum gampang sekali menersangkakan orang termasuk Ahok pada kasus Sumber Waras.
Rumusnya adalah, tinggal kasih laporan audit BPK dan pasal memperkaya orang lain, maka Ahok dijamin menjadi tersangka. Inilah yang membuat banyak lawan Ahok sangat optimis kalau Ahok akan menjadi tersangka. Keyakinan itu melebihi keyakinan iman mereka kepada Sang Khalik.  Menurut para lawan Ahok, menjadikan Ahok itu tersangka sangat gampang. Yang penting Ahok dijadikan tersangka saja  dulu dengan mengenakan pasal karet yakni ikut memperkaya orang lain dan membantu perbuatan jahat. Urusan kalah menang nantinya, biarlah pengadilan yang memutuskan. Maka tak heran di berbagai media sosial, yang selalu di blow-up adalah hanya soal Ahok di Sumber Waras. Sementara kasus Hotel Indonesia yang jelas merugikan negara lebih besar, sama sekali tidak mendapat perhatian.
Warasnya KPK
Respon KPK dalam melakukan penyelidikan kasus Sumber Waras tidaklah seperti yang dibayangkan. Di sana proses penyelidikan juga berjalan tersendat alias tidak berjalan mulus. Di internal KPK, ada juga oknum-oknum yang merupakan haters Ahok. Saat pertama Ahok diperiksa oleh penyidik-penyidik KPK terbersit info bahwa Ahok sempat bersitegang dengan beberapa penyidik. Akibatnya ada satu setu grup penyidik yang diganti saat itu. Pergantian itu ditenggarai karena pertanyaan para penyidik itu sangat tendensius dan memperlakukan Ahok layaknya tersangka.
Jika anda perhatikan wajah Ahok saat keluar dari pemeriksaan KPK jam 10 malam itu pada tanggal 12 April, maka ia terlihat sangat tegang. Salah satunya karena bersitegang dengan penyidik yang melontarkan pertanyaan tendensius dan lucu. Jika informasi yang diperoleh oleh Ratna Sarumpaet dan Ahmad Dhani bahwa ada penyidik yang setuju menjadikan Ahok tersangka, mungkin ada benarnya. Informasi itu mungkin berasal dari penyidik yang diganti tersebut atau para penyidik yang setuju Ahok dijadikan tersangka.
Di antara para penyidik KPK memang terjadi perbedaan pendapat. Ada penyidik  yang setuju Ahok menjadi tersangka dengan menambahkan pasal karet ‘memperkaya’ orang lain. Sementara itu ada penyidik yang tidak setuju menjadikan Ahok tersangka dengan alasan tidak semudah itu menersangkakan orang karena harus ada bukti aliran dana. Penentuan harga tanah yang sudah sesuai dengan NJOP adalah satu kebenaran hukum.
Dalam ranah pemeriksaan yang benar, penentuan harga tanah berapapun besarnya harus ada dasarnya yakni NJOP. Dan Ahok sudah benar. Dia menggunakan NJOP terkini sebagai basis penentuan harga. Sementara penentuan lokasi, Ahok tunduk pada lokasi yang diterbitkan oleh BPN. Lalu soal proses pengadaan tanah, Ahok mendasarkannya pada Perpres No. 40 tahun 2014. Inilah yang kemudian menyelamatkan Ahok dan membukam penyidik yang setuju menjadikannya tersangka. Semua yang dilakukan Ahok ada dasarnya.
Atas dasar itu, KPK kemudian melihat bahwa masih belum ditemukan unsur korupsi dalam pembelian lahan di Sumber Waras. Artinya kesimpulan sementara KPK itu lebih bersifat ‘belum ada bukti’ dan bukan ‘tidak ada bukti’ karena laporan BPK itu sudah merupakan alat bukti. Untuk menersangkakan Ahok, karena belum ada cukup bukti, maka KPK tidak gegabah dan melakukan blunder. Jika kemudian KPK kalut tanpa waras memaksa Ahok menjadi tersangka dengan bukti-bukti yang belum ditemukan, maka KPK bisa jebol. Sekarang di KPK ada banyak kasus yang sedang kesulitan dinaikkan ke pengadilan karena belum cukup bukti.
Jelas kesimpulan KPK yang mengatakan bahwa Ahok belum terbukti korupsi di Sumber Waras, telah memukul telak wibawa BPK yang selama ini ditakuti. Reputasi BPK sebagai lembaga superbody pun dirontokkan oleh Ahok. Skenario BPK pun gagal. Padahal jika dilihat dari reputasi BPK pada masa lalu, ditambah adanya dua pasal karet dalam undang-undang Tipikor, plus adanya haters Ahok di internal KPK, maka sebetulnya Ahok dengan gampang bisa disematkan kata ‘tersangka’ oleh KPK.
Namun realita berkata lain. Ahok masih belum menjadi tersangka. Ia semakin fenomenal dengan raihan satu juta KTP plus tiga partai yang menjadi pendukungnya. Lalu mengapa Ahok masih tetap berdiri hingga sekarang ini? Â Jawabannya adalah karena KPK masih waras. Alasan hakiki lain adalah karena doa orang benar didengar Tuhan dan yang benar akan selalu menang pada akhirnya. Apakah doa Ahok benar di mata Tuhan? Entahlah hanya Tuhan sendiri juga yang tahu.
Salam Kompasiana,
Asaaro Lahagu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H