Langkah Efdinal itu direspon Ahok dengan menyerang balik BPK. Ahok kemudian mengungkit kebiasaan lama BPK yang memberikan penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WDP) kepada berbagai daerah namun kepala daerahnya terbukti korupsi. Aksi melawan Ahok itu membuat BPK kebakaran jenggot. Ahok diingatkan oleh berbagai pihak agar tidak melawan BPK karena  melawan BPK itu sulit sekali. Karena hanya lewat laporannya maka hampir dipastikan orang tersebut menjadi tersangka. Selama ini KPK dan pihak penegak hukum lain selalu menjadikan hasil audit BPK itu sebagai dasar penyidikan berbagai kasus-kasus korupsi.
Akan tetapi Ahok tetap teguh. No kompromi. Karena Ahok yakin bahwa apa yang dia lakukan di Sumber Waras sudah benar dan merasa bahwa tidak ada uang satu rupiah pun yang dia korupsi, Â maka Ahok pun terus menantang para petinggi BPK agar membuka laporan kekayaan mereka kepada publik. Perseteruan Ahok vs BPK DKI pun melebar menjadi perseteruan Ahok vs BPK pusat. BPK pusat pun kemudian menganggap Ahok melawan dan mengancam reputasi mereka.
Ketika Ahok vs BPK diambang perang, DPRD DKI Â merasa mendapat amunisi untuk menyerang lagi Ahok. Maka pada tanggal 30 Oktober 2015, dipimpin oleh Haji Lulung, Ahok kemudian dilaporkan kepada KPK. Berdasarkan laporan itu, guna kepentingan penyelidikan, KPK meminta BPK untuk melakukan audit investigasi terhadap kontrak pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras itu. Â
Perang pun dimulai antara BPK pusat dengan Pemprov DKI. Pada tanggal 23 November 2015, BPK mengirim banyak auditor terbaiknya ke balai kota untuk melakukan pemeriksaan. Â Biro keuangan di balai kota pun penuh sesak saat itu. Sumber-sumber informasi menyebutkan bahwa 1 orang PNS DKI diperiksa 3 orang auditor BPK. Ahok sendiri diperiksa seharian penuh dari pagi sampai malam, seorang diri. Semua stafnya dilarang membantu atau mendampingi Ahok. Padahal orang yang diperiksa polisi saja diberi kesempatan didampingi pengacaranya.
Para auditor BPK itu berusaha mencari semua kesalahan ahok. Prinsipnya harus dapat kesalahan, bagaimana pun caranya. Dengan kekuatan penuh yang dikerahkan sepanjang sejarah BPK, para auditor BPK melakukan segala cara untuk mencari-cari kesalahan lain yang dilakukan oleh Ahok. Namun sampai detik terakhir penyelidikan mereka, kesalahan Ahok nihil.  Akan tetapi karena niatnya sudah mau ‘membunuh’ karena ahok dianggap melakukan pembangkangan kepada BPK, maka sumber waras harus tetap dinyatakan salah.
BPK pun kalap, azas etika pemeriksaan dilupakan. Yang penting Ahok harus disingkirkan dulu agar kepala daerah lain tidak ikut-ikutan melawan. BPK kemudian dengan terpaksa mengubah dirinya menjadi BPN (Badan Pertanahan Negara) yang bisa menentukan lokasi di mana tanah Rumah Sakit Sumber Waras itu berada. Keluarlah laporan audit investigasi BPK dengan kerugian negara 191 miliar. Dasarnya Ahok  telah ‘salah’ menentukan lokasi lahan Sumber Waras.
Para lawan Ahok pun bersorak kegirangan. Haji Lulung, Muhammad Sanusi, Muhammad Taufik, Ahmad Dhani, plus Ratna Sarumpaet bersendandung kesenangan ketika laporan audit BPK diserahkan kepada KPK pada tanggal 7 Desember 2015. Satu langkah lagi Ahok tersangka. Bagi lawan Ahok yang dipastikan maju kembali dalam Pilgub DKI 2017 mendatang, tersangkanya Ahok akan membuat Ahok tak bisa lagi mencalonkan diri menjadi gubernur untuk periode kedua. Yang penting adalah Ahok harus tersangka saja dulu. Soal dia benar atau salah biar pengadilan yang memutuskan. Politik DKI pun gaduh, Sumber Waras menjadi sorotan. Tekanan kepada KPK agar menjadikan Ahok sebagai tersangka bertubi-tubi. Bahkan anggota komisi III DPR Senayan ikut turun tangan menekan KPK.
Audit Investigasi BPK yang bersifat final
Hasil audit investigasi yang dikeluarkan oleh BPK termasuk di Sumber Waras, bersifat final. Dengan kata final maka hasil audit BPK itu menjadi sarat kontroversi dan menjadi sumber masalah karena BPK sudah menjelma menjadi lembaga superbodydi negeri ini. Hasil auditnya selalu bersifat final dan berlaku kiamat. Dengan sifat final maka hasil audit BPK itu sudah tidak bisa digugat lagi karena dalam UU pemeriksaan Keuangan Negara no. 15/2004, hasil audit BPK bersifat final.
Dengan sifat yang bersifat final itu, maka laporan BPK dapat dijadikan senjata mematikan bagi orang-orang yang berkepentingan di negeri ini untuk menjatuhkan lawan politiknya lewat laporan hasil audit. Pada kasus Sumber Waras misalnya, BPK ngotot menyatakan bahwa ada kerugian negara sebesar Rp. 191 miliar. Hasil auditnya pun langsung diserahkan kepada KPK dan bukan kepada Kejaksaan. Padahal pada akhir tahun 2015 lalu, BPK mengeluarkan dua laporan audit Investigasi yang sama-sama bermasalah, yakni kasus Sumber Waras dan kasus Hotel Indonesia.
Untuk kasus kasus Hotel Indonesia dengan kerugian negara Rp. 1,2 triliun dan lebih besar dari kerugian negara di Sumber Waras justru diserahkan kepada Kejaksaan dan bukan kepada KPK. Sampai sekarang pun, kasus hotel Indonesia sudah naik ke penyidikan namun belum ada yang menjadi tersangka. Mengapa kasus Sumber Waras diserahkan kepada KPK sementara kasus Hotel Indonesia diserahkan kepada Kejaksaan Agung? Itulah realita politik jegal. Di dalamnya sarat dengan kepentingan politik.