Dapat dipastikan adanya landasan berpikir yang kuat mengapa UJIAN NASIONAL harus dihapuskan. Namun bahwa dampak dari ditiadakannya UN sepertinya belum benar-benar diperhitungkan. Misalnya:
- Tiadanya TOLOK UKUR keberhasilan KBM dan juga untuk penerimaan siswa baru dijenjang berikutnya {dari SD ke SMP ke SMA/SMK ke Universitas). Tolok Ukur ini dibutuhkan juga oleh perusahaan dalam menyeleksi pegawai baru terutama untuk pekerjaan yang membutuhkan BRAIN dan bukan hanya BRONZE.
- "Kendor" nya minat belajar siswa sehingga berakibat pada sepinya UMKM BIMBEL dan lenyapnya "Bisnis" jualan ilmu ini. Ini berarti PENGHILANGAN PEKERJAAN/ INCOME TAMBAHAN terutama bagi guru yang menyabung hidupnya di sekolah kecil di sektor swasta, dimana ketahanan upahnya bergantung pada jumlah murid. Perlu ditambahkan disini bahwa di masa Pandemi ini guru yang berkiprah di swasta mengalami "double minus": gaji yang terpotong dan harus membeli kuota internet untuk bisa melakukan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh).
Tulisan ini tidak dalam posisi membahas Sekolah Negeri, yang Nota Bene memang "diatas angin" dalam segala hal: keuangan (dana dari APBN/APBD), kualitas guru, fasilitas sekolah, dll.Â
Dengan jaminan sekolah gratis, fasilitas sekolah yang memang sangat memadai serta kualitas guru yang tentunya tak diragukan sehingga Ujian Nasional diadakan atau ditiadakan tidak ada pengaruhnya secara Pendanaan.
Sampai disini, tulisan ini mencoba membahas kebijakan Mendikbud yang terasa kurang bermanfaat karena lebih banyak dampak negatif ketimbang dampak positif nya:Â
Kebijakan meniadakan UN. Salah satu pertimbangannya adalah aspek koruptif, karena terjadi banyak kecurangan misalnya kebocoran soal, suap untuk mendapatkan nilai kelulusan yang baik atau lebih baik, dll yang serupa. Â Argumentasi ini mengkritik mekanisme penyelenggaraan UN dan tidak bisa dijadikan alasan untuk meniadakan UN. Bagaimana mungkin kita hancurkan satu desa hanya karena banyak tikus di desa tersebut?Â
Pertimbangan lainnya yang lebih relevan yaitu tentang cara penilaian hasil UN. Dikhawatirkan bahwa nilai-nilai terbaik hanya digondol oleh siswa yang mampu secara ekonomi dan mereka yang tinggal di kota besar dimana tentunya segala fasilitas pembelajaran pasti lebih baik dari pada yang tinggal di tempat-tempat terpencil. Namun hal ini telah di atasi dengan sistem modifikasi nilai sesuai dengan arahan dari kemendikbud melalui dinas pendidikan disetiap wilayah.Â
Kebijakan menggalakkan/mendanai ORMAS PENGGERAK PENDIDIKAN. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Ormas Penyelenggara, program ini mengesankan seolah perjuangan guru selama ini hanya jalan di tempat. Ini tentunya kebalikan dari fakta di lapangan dimana banyak anak didik kita yang menggondol kejuaraan Olimpiade Science di level Internasional. Belum lagi pengakuan (recognition) terhadap prestasi pelajar Indonesia di bidang matematika. Mereka yang putra/i nya pernah mengenyam pendidikan di negeri2 maju dapat mengkonfirmasi kebenaran berita ini.
Khusus untuk program Ormas Penggerak Pendidikan dimana disebutkan para kepala sekolah dan guru akan diikutsertakan dalam pelatihan yang memakan waktu bahkan satu tahunan. Sulit membayangkan bagaimana sekolah swasta kecil dengan jumlah guru minim dapat berpartisipasi dalam program ini.Â
Lebih dari itu, program penggerak yang punya 4 (empat) komponen tersebut bukanlah hal yang baru di dunia pendidikan Indonesia. Hanya saja  realisasinya sering terkendala oleh factor "keuangan" (ekonomi) guru.Â
Seringkali guru harus berbagi waktu antara mempersiapkan pelajaran yang lebih menarik dan cari tambahan penghasilan. Di pihak peserta didik, ada pepatah yang mengatakan  "We can bring a horse into water but we cannot make him drink"
Kembali ke  UJIAN NASIONAL yang ditiadakan.  Dampak Sosial-politiknya harus juga diperhitungkan. Di Negara yang sangat majemuk seperti Indonesia, diperlukan satu sistem Pendidikan Nasional yang mempersatukan insan Indonesia dari Miangas sampai Pulau Rote. Ujian Nasional bisa berfungsi sebagai pemersatu, sebagai "BONDING",  secara emosi mempersatukan. bukan menyekat-nyekat satu daerah dari daerah lain antara sekolah satu dengan yang lainnya, antara kecamatan yang satu dan yang lainnya, dst..