Oleh : Nashwa Ibtisam
   Di pertengahan abad ke 12, di pinggir dermaga Andalusia. Berkerumun orang-orang mengitari seorang wanita berkulit putih. Di atas jembatan kayu yang disusun, menjadi saksi bisu ramainya orang-orang hari itu. Lyona yang namanya tenar, telah datang kembali.
   Di tengah-tengah orang yang mengitarinya, Lyona meliukkan tangannya ke depan bak penari. Lututnya sedikit ditekuk. Menunjuk salah seorang di sekelilingnya. Matanya tertutup. Kepalanya teleng. "Di sakumu itu, ada sekotak berlian," ujarnya tanpa membuka mata.
   Pemuda berbaju putih dengan rompi kulit yang dikenakan, kaget mendengar apa yang dikatakan wanita berambut merah itu. "Hei, aku membelinya tanpa seorangpun tau! Bagaimana bisa kau mengatakan hal itu?"
   Wanita itu menggerakkan badannya ke samping. Tangannya kembali meliuk, dan mengarah pada seorang kakek tua. "Engkau baru saja membeli emas, yang mana emas itu berasal dari negeri timur."
  "Eh? Aku bahkan tak mengetahui asal muasal emas ini. Ajaib sekali!" Kakek itu berteriak dengan suara paraunya.
   Wanita berambut keriting itu membuka matanya. Dia menarik tangannya ke samping badan. Kaki kirinya yang bersepatu itu dihentakkan tiga kali. Suara prok, prok, prok, bergesekan dengan kayu di bawahnya.
   Tangan kanannya kemudian menjuntai dari kiri atas ke kanan. Menandakan pertunjukan telah usai. Ia kemudian mengambil tasnya yang tergantung di paku tiang kayu rumah seseorang di belakangnya. Lalu melangkahkan kaki meninggalkan kerumunan.
   Semua orang kembali ke pekerjaannya masing-masing. Bergembira dengan hiburan Penyihir Lyona di siang bolong. Kerumunan orang yang kembali, melewati gerbang bazar di timur dermaga. Gapura dari tanah liat pertanda memasuki kawasan bazar.
   Anak-anak kecil riang gembira. Menarik perhatian Athar, "Apa yang terjadi?"
   "Penyihir Lyona kembali!" ucapnya dengan muka bergembira.
   Athar mengingat kembali pertemuannya dua tahun lalu dengan Lyona. Ketika itu, umurnya masih enam tahun. Dia tertarik dengan atraksi itu. Membuatnya kini berlari menuju dermaga.
   "Yeaah!" Athar menemukan Lyona yang sedang menunggu di sebelah kapal. Dia berlari mengejarnya. Menemui tepat di hadapannya. "Hey, Lyona. Kau masih ingat aku?"
   Lyona mengernyitkan dahi. Mengamati betul-betul wajah seorang anak di depannya. "Ah ya, aku mengingatmu!"
   "Izinkan aku ikut denganmu. Mempelajari segala kunci dari permainanmu. Bolehkan?" Athar menggenggam tangan di belakang. Menelengkan kepala setiap Lyona mengalihkan pandangan pada sekitar.
   "Ehm, aku sudah izin pada ayah ibuku. Tenang saja, Lyona."
   Lyona menepuk bahu Athar. Tanpa pikir panjang lagi, ia langsung mengajak Athar naik ke atas kapal. Sembari berjalan di atas dek, ia mengajak bicara "Mengapa kau tertarik dengan permainanku?"
   "Sangat menyenangkan, bukan?" Alis Athar naik turun. "Ah, ya. Aku mengenali satu peribahasa. Orang bilang, 'Pengalaman adalah pelajaran terbaik'. Sebab itu, aku mengikutimu."
   Lyona mengangguk lambat. "Aa ya, benar begitu?"
   "Ayo, Lyona ... Kau tak memulai pelajarannya?"
   "Dan ... orang bilang, 'Belajar dari pengalaman orang, adalah sebuah kunci.'" Lyona mengangkat kedua tangannya ke udara. Ia menghirup udara segar. "Tidakkah bisa kau mengamati segala pengalamanku setelah ini?"
   "Ee? Aku akan melakukannya." Athar menerima tantangan itu.
   Hari-hari berlalu. Kapal yang membawa Athar dan Lyona mengarungi lautan. Kini, kapal akan melewati dua dinding batuan besar. Capt meneriakkan sesuatu. Awak kapal menyalurkan pesan tersirat. Mereka menutup mulut dengan jari telunjuk.
   'Oh ... aku tau. Gema suara itu dibutuhkan kapten. Mengukur seberapa lengang jalur antar bebatuan itu.' Athar bergumam dengan mengekor di belakang Lyona.
   Tangan Lyona merangkul bahunya. Membisikkan sepatah dua tiga kata, "Menuju dermaga Andalusia."
   Athar kaget mendengarnya. Selama ini, dia hanya mengamati Lyona berbicara dengan orang-orang di perjalanan. Dari dermaga satu ke dermaga lainnya. Tidak ada yang berbeda dari biasanya. Lalu, apa yang dimaksud dengan 'belajar dari pengalaman orang?'
   Athar tidak mendapati maksudnya ini. Di tengah malam terakhir ini, ia berteman terang rembulan dan lampion. Di atas geladak kapal, mereka memilih duduk di ujung terdepan.
   Perjalanan kali ini, tidak sesuai bayangan dalam kepala Athar. Jauh sekali. Lyona memilih memulai pembicaraan lebih dulu. "Athar, teman yang banyak itu membuat hidup kita berwarna, dan tahu banyak hal. Tapi itu belum seberapa, bila tidak memahami pelajaran-pelajaran dari Darwis."
   "Memangnya begitu? Emm, apa hubungannya Lyon?" Athar tidak percaya dengan apa yang dikatakan Lyona. Wanita ini menepis luka kecil dalam hati. Sesuatu yang tidak mungkin Lyona mengetahuinya.
   "Kau mengerti ketika saatnya nanti. Percayalah, suatu saat kau akan benar-benar membutuhkannya. Dalam pengembaraanmu sekalipun." Lyona memainkan tali di tangannya. Dia mencoba mengingat tujuan utama Athar. "Sihir? ... Kamu ingin mengetahuinya, 'kan?"
   "Yaya, benar memang. Dengan sihir, aku tidak perlu sibuk mempelajari buku-buku. Cukup menjentikkan jari, apa saja aku tahu. Rencana indah, 'kan Lyon?" Athar menatap Lyona dengan alis naik turun.
   "Ah, Kau, Athar ... Siapa yang tidak mau semua itu praktis? Asal kau tau saja." Lyona tertawa mendengarnya.
   "Kamu tidak ingin memberi tahuku bagaimana caranya, Lyon?"
   Dia senang dipanggil dengan namanya, Lyona. Anak kecil seusia Athar sekalipun, menanggilnya Lyona. Dia berusaha dekat dengan siapa saja. Termasuk anak-anak. Bulu matanya lentik, pupil matanya hitam bulat. Sangat cantik.
   "Bukan begitu, Athar. Dengarkan dulu," Lyona akan memulai membocorkan rahasianya selama ini. Namun ia menjeda sebentar, merasakan sesuatu yang tidak beres sembari memperhatikan sekitar.
   Jalur yang akan dilewati, terhimpit dua batuan besar. Ini sangat rawan. Biasanya dipakai sebagai markas bajak laut. Lyona menarik tangan Athar menjauh dari sudut depan kapal. Awak kapal kembali beraksi, meminta seluruh orang masuk ke dalam kabin.
   Sebab Lyona salah satu awak kapal, dia tidak kembali masuk ke dalam. Athar dimintanya duduk di sebelah tabung gandum, di balik pintu menuju kabin. Lyona, tangannya siap menggenggam ujung pedang yang disarungkan di panggul kirinya. Dia sedikit menariknya, hingga berbunyi 'king'. Gesekan antara besi pedang dan sarungnya yang terbuat dari besi dan juga kulit.
   Capt bersiap dengan busur dan panahnya. Tajam pandangan menelusuri sisi batuan dari atas sampai ujung bawah di permukaan air. Sepuluh orang di kanan dan kiri Capt juga bersiap dengan panah.
   "Sekarang!" Capt berteriak sembari melepas anak panah. Dia bersama awak kapal lainnya telah mengetahui sepuluh orang di sisi kanan dan kiri jalur ini. Bajak laut itu sedang bersiap melompat ke kapal.
   Luncuran anak panah masih menghujam pada mereka. Hingga akhirnya, dua yang tersisa itu tumbang dan jatuh ke laut. Seluruh awak kapal masih bersiaga. Kini, angin telah mendorong layar kapal. Jalur yang menakutkan ini ditempuh. Untungnya tidak ada lagi gagak-gagak pengganggu itu. Mereka berkali-kali berucap syukur.
   Lyona mendorong kembali pedang ke dalam sarungnya. Ia membantu Athar berdiri dari persembunyiannya, dan beranjak pergi menaiki anak tangga. Wanita dengan rompi kulit serta celana hitamnya ini mengajak Athar menuju main deck --geladak paling atas.
   Berdiri di tepian. Lyona menghela napas. "Yah, mari kita lanjutkan. Sihir yang ingin kau ketahui, ya?"
   "Sihir apapun itu." Athar menginginkan segalanya.
   "Di pinggir dermaga, aku memainkan sulap. Ah, ya ... aku mengetahui segalanya itu sebab, orang-orang pengangkut barang, pembersih kapal, pengemis jalanan, semua orang-orangku. Aku tau segalanya dari mereka."
    Athar mengernyitkan dahi tak mengerti, "Orang-orangmu?"
   "Atau kau bisa bilang, mereka adalah teman-temanku." Lyona menyelaraskan tinggi dengan lelaki berambut ikal ini.
   "Sihir?" Athar bertanya lagi soal sihir.
   "Sihir? Jangan percaya hal itu. Tak ada sihir yang berarti. Semua permainanku, bukan dengan sihir. Hanya saja orang-orang memanggilku 'Penyihir Lyona'. Ah ya, kau tidak bisa mengatakan rahasia ini pada siapapun. Kau mengerti?"
    Athar mengangguk-angguk, "Aku mengerti."
    "Belajar itu kuncinya. Dengan begitu kau memahami banyak hal. Tentu akan berbeda dengan Adikmu yang masih belum mengerti apa-apa. Dan ... Kau belajar sesuai dengan kecintaanmu sendiri, 'kan?"
   "Ya, ya ... Kau benar. Tetapi akhir-akhir ini, pelajaran itu semakin susah. Susah untuk dimengerti."
    Lyona kembali menjawab. Mereka berdua senang sekali bermain-main mengingat ucapan orang-orang dulu. "Orang bilang ... 'Bila adinda tidak mengerti, jalan keluarnya adalah bagaimana untuk mengerti.' Meninggalkan pelajaran, tidak akan menyelesaikan masalahmu."
   Athar mengangguk lagi dengan mantap. Setelah ini, mereka terus berbincang di antara gelapnya malam yang memuncak. Dengan bantuan lentera yang dikaitkan di ujung-ujung geladak, membantu penerangan.
   Laut Mediterania telah ditempuh. Selat Gibraltar kini dituju. Sebelum itu, kapal menepi lebih dulu di dekat Granada. Kawasan tidak berkabut. Membantu lebih jelas pandangan melihat pesona indahnya bangunan mewah Granada. Permata di tengah gulitanya Eropa.
   Lyona dan Athar menuruni anak tangga. Mereka berpisah di dermaga ini. Athar kembali ke rumahnya. Ia akan meminta maaf pada orang tuanya atas kepergiannya tanpa pamit. Lyona yang menyuruhnya. Bahkan Lyona tidak akan menemuinya kembali bila Athar tidak melakukan apa yang ia minta.
   Penyihir Lyona ini tahu, Athar belum meminta izin. Inipun ia tahu bukan karena sihir. Athar bercerita soal keresahannya, dan Lyona mengenali permasalahan ini. Itu sebuah kepastian yang nyata.
Tamat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H