"Sihir apapun itu." Athar menginginkan segalanya.
   "Di pinggir dermaga, aku memainkan sulap. Ah, ya ... aku mengetahui segalanya itu sebab, orang-orang pengangkut barang, pembersih kapal, pengemis jalanan, semua orang-orangku. Aku tau segalanya dari mereka."
    Athar mengernyitkan dahi tak mengerti, "Orang-orangmu?"
   "Atau kau bisa bilang, mereka adalah teman-temanku." Lyona menyelaraskan tinggi dengan lelaki berambut ikal ini.
   "Sihir?" Athar bertanya lagi soal sihir.
   "Sihir? Jangan percaya hal itu. Tak ada sihir yang berarti. Semua permainanku, bukan dengan sihir. Hanya saja orang-orang memanggilku 'Penyihir Lyona'. Ah ya, kau tidak bisa mengatakan rahasia ini pada siapapun. Kau mengerti?"
    Athar mengangguk-angguk, "Aku mengerti."
    "Belajar itu kuncinya. Dengan begitu kau memahami banyak hal. Tentu akan berbeda dengan Adikmu yang masih belum mengerti apa-apa. Dan ... Kau belajar sesuai dengan kecintaanmu sendiri, 'kan?"
   "Ya, ya ... Kau benar. Tetapi akhir-akhir ini, pelajaran itu semakin susah. Susah untuk dimengerti."
    Lyona kembali menjawab. Mereka berdua senang sekali bermain-main mengingat ucapan orang-orang dulu. "Orang bilang ... 'Bila adinda tidak mengerti, jalan keluarnya adalah bagaimana untuk mengerti.' Meninggalkan pelajaran, tidak akan menyelesaikan masalahmu."
   Athar mengangguk lagi dengan mantap. Setelah ini, mereka terus berbincang di antara gelapnya malam yang memuncak. Dengan bantuan lentera yang dikaitkan di ujung-ujung geladak, membantu penerangan.