Oleh: Rijalul  Fikri
pada hujan selepas kemarau panjang
rumput-rumput kering bersuka cita
deru angin tertawa ria
kepulan suara dalam dada kembali terbuka
burung-burung gereja berhamburan terbang
sekujur kota bergetar, basah menggelinang
di sana ada aku menyulam benang berunjungkan kenang
ditemani bising dengan perasaan asing
detik jam terus memutar rangkaian aksara tak bermuara
waktu telah berlalu
sejak kau melangkah lebih dulu menuju sang Maha
kau abadi dalam ingatan
sedang aku tenggelam dalam pengharapan
memang tidak semua kehilangan memiliki kesempatan mengucap perpisahan
tetap saja
sulit memaafkanmu
mengingkarkan janji-janji yang pernah kita ucap
begitu saja lenyap
hingga kemudian
dari tempat hujan membuang sauh
benih-benih kembali merekah
nampak sesosok wajah
menatapku
tersenyum, kamu
aku memelukmu
melepas resah yang kian rusuh
"kamu masih di sini?" tanyaku
"aku selalu di sini, memperhatikanmu"
senyum teduhmu
meredakan senduku
hingga
sepasang burung gereja diam-diam mengendap
menyadarkan lamunku
sialan
kutatap bangku sebelah
kosong
detak angin lagi-lagi melengking
mencipta udara semakin dingin
kata orang
akan ada masanya luka-luka itu akan sembuh
tapi
mungkin tidak saat ini
saat kepala masih ricuh berusaha acuh
tiap malam
sungai-sungai dalam darah terus-menerus mengalir
berserak
bergemuruh
maaf
sampai saat ini kepulan ingatan masih membuatku takluk
mencipta gaduh
menarik bimbang
enggan menghilang
rumah kecil untukmu
terawat utuh di kepalaku
dalam isak dan jejak yang terus menerus menginjak
di bawah tatapmu
aku masih terjebak
Jakarta, 13 April 2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI