"Apa sih maksudnya, sudahlah biarkan saja", gumamku dalam hati.
Kuliah ta'aruf pun selesai. Tiba saatnya pembagian kelas. Aku pasrah saja, bagiku mau dimana saja rasanya akan sama. Karena aku belum menemukan teman dekat waktu itu. Rupanya aku masuk di kelas A.Â
Setelah masuk dalam kelas, melihat postur tubuhnya dari belakang seperti orang yang tidak asing. Ternyata dia lagi. Padahal dia adalah orang yang paling ingin kuhindari karena kesan pertama yang aku anggap dia sedikit angkuh dan tidak ramah lingkungan. Aku sangat tak menyukainya. Tapi mau bagaimana lagi, dia bahkan jadi kosma di kelasku.
Presepsiku terhadapnya tidak hanya dirasakan olehku saja. Teman-teman sekelas lainnya pun merasakan hal yang sama. Bahkan awal-awal perkuliahan satu kelas antara laki-laki dan perempuan serasa ada sekat, jauh sangat jauh.Â
Aku rasa seperti dalam kehidupan pesantren. Kami tak saling bertegur sapa untuk urusan yang tak penting, kecuali tugas kuliah atau forum diskusi.
Laki-laki di kelasku mayoritas alumni pondok pesantren. Tentu sangat banyak pembekalan dari segi ilmu agama dibandingkan dengan yang sekolah umum. Sebab itu, forum diskusi seakan dominan laki-laki yang mempunyai peran.
Dan pada suatu forum diskusi, aku duduk dibaris kedua. Di sebelah kiri paling depan ada suara laki-laki yang sedang menjelaskan sebuah jawaban atas pertanyaan para peserta.
Jawabannya sangat jelas, gamblang dengan kalimat yang mudah dipahami. Jujur aku sangat terpesona dengan jawaban memukau itu.
"Astagfirullahaladzim", seketika aku tersadar bahwa dia adalah laki-laki angkuh itu dalam sadarku.
Keadaan seperti itu berlangsung cukup lama hingga satu semester. Rasa-rasa aku ingin menyerah saja. Lingkungan tidak asyik, perkuliahan terasa datar. Hanya kuliah, presentasi dan diskusi seperti itu terus.Â
Kami belum ada praktik karena di awal masih pembekalan materi, selain itu fakultas masih belum lengkap dalam penyediaan alat praktikum pendukung. Jenuh, membosankan, tidak betah rasanya aku ingin berhenti saja dan pindah ke cita-citaku awal.