“Untuk apa kamu memberikan semua ini kepada Ibu, Nak? Kamu lah yang lebih membutuhkan ini, Ayya,” kata Ibu terhadap Ayya yang terlihat mulai menangis.
“Jika Ibu tidak mau menerimanya, Ayya tidak mau bersekolah dan makan,” seru Ayya sambil tersedu-sedu.
Ayya berlari ke kamar tidurnya. Ibu berusaha membujuk Ayya untuk berbicara. Terdengar isakan tangis dari dalam kamar Ayya.
“Ayya… Keluar, Nak. Ibu akan menerimanya jika Ayya mau keluar dari kamar dan berbicara pada Ibu,” ajak Ibu.
Ayya pun membuka pintu kamarnya. Ia terlihat begitu sayu setelah menangis. Dia pun menghampiri Ibu sambil menundukkan kepalanya.
“Begini saja. Ibu akan menerima semuanya jika Ayya bersedia untuk menabungnya di bank. Bagaimana?” tanya Ibu.
“Tetap saja, Bu, uang itu masih menjadi milik Ayya. Ayya tidak mau! Ayya tidak mau jika uang itu tidak digunakan Ibu. Ayya ingin membantu Ibu. Tapi, mengapa Ibu menolak bantuan Ayya?” elak Ayya.
“Ibu dan Ayya membuat tabungan untuk kita berdua. Jadi, Ibu bisa menyimpan uang Ibu dan Ayya juga demikian. Adil, kan? Jadi, uang tabungan itu menjadi milik Ibu dan Ayya,” kata Ibu.
“Tapi, Ibu harus tetap menggunakan uang dari Ayya, ya, Bu?” pinta Ayya.
“Iya. Ibu akan menggunakannya jika memang dibutuhkan, Nak. Jika tidak dibutuhkan, mengapa harus diambil? Ibu selalu mengingatkan Ayya bahwa...” kata Ibu yang terpotong.
“...kita tidak boleh menghambur-hamburkan uang. Banyak orang yang lebih susah dibandingkan dengan kehidupan Ayya saat ini,” sambung Ayya yang memotong perkataan Ibu.