Perkebunan di Sumatera Utara mengalami perkembangan yang pesat dan mencapai puncak kejayaan pada abad ke-19. Nienhujis, seorang pekerja Belanda yang mendapat konsesi dari Sutan Deli, berhasil mengembangkan tembakau dengan kualitas terbaik (Tembakau Deli Sumatera) dan mengekspornya ke pasar dunia.
Sukses dengan komoditas tembakau dan menyadari bahaya ekonomi yang bergantung pada satu jenis tanaman, komoditas perkebunan merambah ke jenis lain seperti karet, teh, kelapa sawit, kopi, dan kelapa.Â
Keberhasilan perkebunan di Sumatera Utara berdampak pada pembangunan infrastruktur. Beberapa diantaranya Perusahaan Telepon dan Telegrap, Perusahaan Kereta Api, Pelabuhan Belawan, Perusahaan air, dan Bandar Udara Polonia. Kemajuan pembangunan ini menjadikan Medan sebagai salah satu kota metropolitan dan kota tercantik di Asia pada masa itu.
Para investor berdatangan dari berbagai negara untuk menanam modal dan meraup keuntungan. Sementara ribuan buruh perkebunan didatangkan dari Pulau Jawa, Cina, dan India.
Para pekerja ini diangkut menggunakan Kapal Willem Ruys yang mampu menampung hingga 10.000 orang. Miniatur Kapal Willem Ruys hanya ada 2 di dunia, satu berada di Museum Rotterdamsche Llyod Belanda dan satu lagi tersimpan di Museum Perkebunan II, Medan.Â
Museum Perkebunan II Sumatera Utara digagas dan didirikan oleh Tokoh Perkebunan Indonesia, Bapak Soedjai Kartasasmita. Museum ini resmi dibuka pada tahun 2018 lalu. Lokasinya berada di Gedung BKS-PPS (Badan Kerjasama Perusahaan Perkebunan Sumatera) di Jl. Pemuda No. 2 Medan. Dulunya gedung ini merupakan gedung AVROS (Algemeene Vereeniging van Rubberplanters ter Oostkust) yang didirikan pada tahun 1910 sebagai tempat asosiasi perkebunan dari berbagai negara.Â
Gedung BKS-PPS berdiri kokoh nan megah dalam konstruksi beton. Mengusung gaya arsitektur rasionalisme yang terdiri dari 4 lantai dengan tangga kayu semi melingkar yang menghubungkan setiap lantai, dan kubah hijau yang cantik menjadi ciri khasnya. Di lantai 1, terdapat sebuah cafe yang sangat cozy dan asri.Â
Museum Perkebunan II hanya menggunakan dua lantai saja, lantai 1 dan lantai 4. Sementara lantai 2 dan lantai 3 masih aktif digunakan untuk perkantoran BKS-PPS. Di lantai 1, dalam ruangan tanpa pendingin tersimpan banyak artefak peninggalan masa kejayaan perkebunan. Bermacam hasil bumi seperti tembakau, kelapa sawit, berbagai jenis kopi dan teh, serta varian olahan hasil bumi tersebut. Seperti cerutu, kosmetik, cokelat, arang, dan gula.Â
Dulu, perusahaan perkebunan membayar upah para pekerja menggunakan token perkebunan. Dijumpai bermacam token perkebunan atau alat tukar serupa uang logam yang didapat dari hibah wartawan senior Kompas. Token perkebunan ini memiliki bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan area berlakunya. Ada yang berbentuk bulat, segitiga, dan persegi yang dipotong pada setiap sudutnya.
Di sisi lain, terdapat beberapa mesin ketik manual dengan bermacam merek yang digunakan untuk pengetikan surat perkantoran. Ada satu mesin ketik yang masih bisa digunakan dan pengunjung museum bisa mencobanya. Mengetik dengan mesin ketik manual akan menjadi momen nostalgia dan atau menjadi pengalaman menarik bagi pengunjung generasi masa kini yang belum pernah menjumpai mesin ketik.
Koleksi benda-benda bersejarah di Museum Perkebunan II sebagian berasal dari hibah Museum Rotterdamsche Llyod. Beberapa diantaranya adalah brosur iklan pelayaran Kapal Rotterdamsche Llyod, pelampung, kotak cerutu, dan asbak berbentuk unik terbuat dari perunggu yang digunakan oleh kapten dan para awak Kapal Willem Ruys.Â
Dari sekian banyaknya koleksi yang ada, bagi saya yang paling menarik adalah Dactyloscopisch. Dactyloscopisch merupakan pendataan pekerja perkebunan menggunakan sistem sidik jari yang akurat dan dilakukan secara manual. Selain nama, asal, usia, tinggi badan, juga tercantum data pendukung yang menunjukkan ciri khas pekerja seperti adanya tahi lalat atau bekas luka di bagian tubuh. Maklum, dulu belum menggunakan foto. Data ini terintegrasi dengan Pusat Pendataan. Setiap pekerja yang pindah tempat kerja, data dirinya dapat dilacak oleh sistem ini.
Selain itu, yang lebih mengagumkan adalah lift surat. Alat pengiriman dokumen atau surat-surat dari lantai 1 ke lantai 2. Lift surat ini dibuat dari kayu dan cara penggunaannya dengan menarik katrol secara manual.Â
Di ruangan berikutnya, terdapat ruang sekretaris Gedung AVROS. Terdapat meja, kursi, dan lemari kayu yang masih asli sejak dulu. Beberapa alat penting seperti mesin proyektor buatan Jepang, pembolong kertas kuno, brangkas, timbangan kertas, dan timbangan berkel. Kedua timbangan ini dan salah satu brangkas masih bisa digunakan hingga kini. Pengunjung tidak diperkenankan untuk menyentuk kedua timbangan dan mengambil foto atau video brangkas yang masih berfungsi dengan baik.Â
Naik melalui tangga semi melingkar menuju ke lantai atas. Di setiap lantai, tersedia balkon yang luas dan galeri terbuka. Konsep designi ini bertujuan untuk menjaga ruangan agar tetap sejuk karena tidak adanya pendingin ruangan. Dari sini pengunjung bisa menikmati pesona Kota Tua Kesawan dan ramainya pengguna jalan yang melintas di sepanjang jalan di kanan dan kiri gedung.Â
Lantai 4, mulanya digunakan sebagai gudang untuk menyimpan kumpulan data sidik jari para pekerja yang jumlahnya sangat banyak di dalam buku arsip. Sekarang, lantai 4 juga digunakan sebagai galeri dengan mempertahankan desain interior yang penuh kisi-kisi kokoh dan kuat. Foto-foto yang menampilkan gambar bangunan zaman dulu dan sekarang terpasang di dinding-dinding kayu. Pada beberapa foto menampilan kontrasnya tempat tinggal antara para buruh perkebunan dengan rumah tinggal untuk staf Eropa.Â
Pengunjung juga dapat mengenali dan mencium aroma rempah-rempah yang tersimpan di dalam botol-botol kecil. Ada kapulaga, andaliman, daun kari, asam cekala, daun kunyit, jahe merah, dan lainnya. Ini adalah pengalaman pertama saya melihat secara langsung rempah-rempah tersebut.
Di bagian depan lantai 4, tepat di bawah kubah hijau, terdapat ruang menara jam lonceng yang akan berbunyi setiap jamnya. Hingga kini, jam lonceng yang dipasang sejak tahun 1920 masih berfungsi dengan baik. Beruntung sekali saya bisa mendengar dan merekam momen saat lonceng berdentang sebanyak 4 kali. Pertanda waktu menunjukkan pukul 4 sore, satu jam lagi museum akan ditutup.Â
Menyenangkan sekali bisa menilik sejarah dan mengetahui jejak perkembangan perkebunan serta dampaknya pada pembangunan di Sumatera Utara. Hanya dengan membayar Rp 25.000 rupiah, pengunjung bisa berkeliling museum ditemani pemandu, mendapat air mineral dan souvenir berupa teh kantong celup.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H