Sejarah Ranggawarsita dan Tiga Era
Ranggawarsita, atau yang dikenal sebagai Ranggawarsita Mataram, merupakan salah satu pujangga terkemuka dari Jawa yang lahir sekitar tahun 1800 dan hidup hingga tahun 1873. Nama aslinya adalah Raden Mas Rangsang, dan ia berasal dari keluarga bangsawan.Â
Karya-karyanya, yang meliputi puisi, prosa, dan ramalan, tidak hanya menunjukkan bakat sastranya, tetapi juga mengandung nilai-nilai filosofis dan moral yang mendalam.Â
Melalui tulisan-tulisannya, Ranggawarsita menggambarkan kondisi sosial dan politik masyarakat pada masa itu, serta menggugah kesadaran akan pentingnya etika dan moral dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam karyanya yang paling terkenal, Ranggawarsita membagi sejarah masyarakat menjadi tiga era, yang dikenal dengan istilah Kalasuba, Katatidha, dan Kalabendhu. Masing-masing era ini mencerminkan kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang berbeda.
Kalasuba adalah era yang diartikan sebagai "masa keemasan." Pada fase ini, masyarakat hidup dalam kemakmuran dan harmoni. Nilai-nilai moral dan etika dijunjung tinggi, menciptakan hubungan yang baik antarindividu dan antar komunitas.Â
Kesejahteraan masyarakat menjadi prioritas utama, dan konflik sosial sangat minimal. Suasana damai dan sejahtera ini menjadi fondasi bagi perkembangan budaya dan intelektual yang subur.
Namun, seiring berjalannya waktu, masyarakat mulai memasuki fase Katatidha. Era ini menggambarkan transisi dari kemakmuran menuju ketidakadilan. Tanda-tanda pergeseran mulai muncul; konflik dan kesenjangan sosial meningkat, dan ketidakpuasan masyarakat terhadap penguasa mulai terlihat.Â
Pada fase ini, penyalahgunaan kekuasaan dan ketidakadilan mulai merusak tatanan sosial yang telah terbangun.
Puncak dari proses ini adalah Kalabendhu, fase kegelapan yang menggambarkan kondisi masyarakat yang sangat memprihatinkan.Â
Pada era ini, korupsi, penindasan, dan kehancuran moral melanda masyarakat. Penyalahgunaan kekuasaan menjadi hal yang biasa, dan masyarakat mengalami penderitaan akibat tindakan yang merusak. Nilai-nilai moral yang selama ini dijunjung tinggi mulai memudar, menggantikan harapan akan masa depan yang lebih baik.
Dalam konteks Indonesia saat ini, fenomena korupsi dapat dilihat sebagai cerminan dari fase Kalabendhu yang digambarkan oleh Ranggawarsita. Korupsi di Indonesia telah menjadi masalah serius yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat, baik di pemerintahan maupun sektor swasta.Â
Sejak reformasi pada tahun 1998, Indonesia berupaya memberantas korupsi melalui kebijakan dan pembentukan lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, tantangan yang dihadapi tetap besar. Korupsi yang sistemik dan budaya impunitas membuat upaya pemberantasan menjadi semakin sulit.
Melalui pemikirannya tentang Tiga Era, Ranggawarsita memberikan wawasan yang mendalam mengenai dinamika sosial dan politik yang ada dalam masyarakat. Hubungan antara pemikiran ini dan fenomena korupsi di Indonesia menunjukkan bahwa untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat dan mengembalikan keadilan sosial, dibutuhkan usaha kolektif serta komitmen yang kuat dari semua pihak.Â
Masyarakat harus berperan aktif dalam mendorong transparansi dan akuntabilitas, agar Indonesia dapat kembali menuju era Kalasuba, di mana keadilan dan kesejahteraan dapat terwujud.
Beberapa Alasan yang Menyebabkan Terjadi nya Tiga Era:
Era Kalasuba
menurut pemikiran Ranggawarsita, merupakan fase yang menggambarkan keadaan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Beberapa alasan yang menyebabkan terjadinya era Kalasuba antara lain:
1. Pembangunan Ekonomi yang Stabil
Era Kalasuba ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil, di mana sektor pertanian, perdagangan, dan industri berkembang dengan baik. Peningkatan produksi dan distribusi barang meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kemudian Pembangunan infrastruktur, seperti jalan, irigasi, dan fasilitas umum, memudahkan aksesibilitas dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
2. Kepemimpinan yang Baik
Kepemimpinan yang memiliki visi jelas dan kemampuan untuk merancang dan melaksanakan kebijakan yang pro-rakyat sangat berpengaruh. Para pemimpin yang adil dan bijaksana dapat menciptakan stabilitas sosial dan politik. Ditambah dengan pemerintahan yang transparan dan akuntabel berperan penting dalam menciptakan kepercayaan masyarakat, sehingga memperkuat kohesi sosial.
3. Keterlibatan Masyarakat
Masyarakat yang terlibat dalam pengambilan keputusan dan pengawasan terhadap kebijakan publik membantu menciptakan lingkungan yang positif. Keterlibatan ini memperkuat rasa memiliki dan tanggung jawab sosial. Serta tingginya kesadaran masyarakat terhadap hak dan kewajiban mereka berkontribusi pada terciptanya lingkungan yang mendukung kemakmuran.
4. Nilai-nilai Moral yang Kuat
Nilai-nilai moral dan etika yang kuat dalam masyarakat mendorong perilaku yang baik dan mengurangi tindakan yang merugikan. Masyarakat yang menjunjung tinggi kejujuran dan integritas cenderung lebih stabil dan sejahtera. Pendidikan yang menekankan pentingnya nilai-nilai moral dan etika membantu membangun karakter individu, yang pada gilirannya mendukung kemakmuran kolektif.
5. Stabilitas Sosial dan Politik
Stabilitas sosial yang ditunjukkan melalui keamanan dan ketertiban umum menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan ekonomi dan pengembangan masyarakat.
Masyarakat yang menghormati hukum dan norma-norma sosial menciptakan suasana yang mendukung kesejahteraan bersama.
6. Inovasi dan Teknologi
Inovasi dan penggunaan teknologi dalam berbagai sektor, termasuk pertanian dan industri, berkontribusi pada peningkatan efisiensi dan produktivitas, sehingga meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Era Katatidha
menurut Ranggawarsita, merupakan fase kritis dalam perjalanan sejarah yang menggambarkan transisi dari kemakmuran (Kalasuba) menuju keadaan yang penuh dengan ketidakadilan dan penyimpangan moral. Fase ini memiliki beberapa penyebab utama yang saling terkait, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Ketidakpuasan Sosial
Ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi sosial dan politik yang ada adalah salah satu faktor utama yang menyebabkan terjadinya Katatidha. Rakyat mulai merasakan ketidakadilan akibat perbedaan perlakuan antara kelompok penguasa dan masyarakat biasa. Penyebab ketidakpuasan ini dapat beragam, mulai dari kebijakan publik yang tidak pro-rakyat, sampai pada ketidakmampuan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
- Perbedaan Kelas: Munculnya kesenjangan ekonomi yang mencolok antara elit dan rakyat biasa menambah rasa frustrasi. Ketidakpuasan ini mendorong masyarakat untuk mempertanyakan legitimasi dan integritas para pemimpin mereka.
2. Penyalahgunaan Kekuasaan
Penyalahgunaan kekuasaan oleh para pejabat dan penguasa menjadi semakin nyata pada era Katatidha. Para penguasa, yang seharusnya bertugas untuk melayani masyarakat, mulai menggunakan posisi mereka untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Tindakan ini menciptakan suasana di mana hukum tidak ditegakkan secara adil, dan impunitas bagi pelanggar menjadi hal yang umum.
- Korupsi dan Kolusi: Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme meningkat, menciptakan budaya di mana kejujuran dan integritas dipandang sebelah mata. Hal ini membuat masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap sistem pemerintahan.
3. Hilangnya Nilai Moral dan Etika
Seiring berjalannya waktu, nilai-nilai moral dan etika yang pernah dijunjung tinggi mulai pudar. Dalam konteks ini, banyak individu dalam masyarakat yang mulai mengabaikan prinsip-prinsip kejujuran dan tanggung jawab sosial demi keuntungan pribadi.
- Degradasi Moral: Hilangnya rasa saling percaya di antara individu dan kelompok menyebabkan munculnya perilaku yang merugikan, baik dalam konteks sosial maupun politik. Ini menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus.
4. Krisis Identitas Budaya
Era Katatidha juga ditandai oleh krisis identitas budaya, di mana masyarakat merasa terombang-ambing akibat perubahan sosial dan politik yang cepat. Perubahan ini dapat menyebabkan hilangnya jati diri budaya yang selama ini menjadi pegangan masyarakat.
- Pengaruh Globalisasi: Dengan meningkatnya pengaruh budaya asing, masyarakat mungkin merasa kehilangan akar budaya mereka, yang dapat memperburuk rasa ketidakpuasan dan kebingungan identitas.
5. Kondisi Ekonomi yang Tidak Stabil
Ketidakstabilan ekonomi, baik akibat faktor internal maupun eksternal, sering kali menjadi pemicu ketegangan sosial. Ketika perekonomian mengalami kemunduran, seperti resesi atau inflasi yang tinggi, masyarakat menjadi lebih rentan terhadap masalah sosial.
- Pengangguran dan Kemiskinan: Tingginya angka pengangguran dan meningkatnya kemiskinan membuat banyak orang merasa terjepit. Ketidakstabilan ekonomi seringkali berujung pada kerusuhan sosial dan ketidakpuasan yang lebih besar.
6. Pengaruh Luar dan Geopolitik
Faktor eksternal, seperti intervensi asing, konflik regional, atau perubahan politik global, juga bisa memengaruhi situasi dalam negeri. Ketika negara menghadapi ancaman dari luar, seringkali perhatian publik akan tertuju pada isu-isu luar negeri, sementara masalah internal seperti korupsi dan ketidakadilan tidak mendapatkan perhatian yang memadai.
- Krisis Kepercayaan: Ketidakmampuan pemerintah untuk menangani isu-isu eksternal dan internal secara bersamaan dapat mengakibatkan krisis kepercayaan yang lebih dalam.
Era Kalabendhu
dalam pemikiran Ranggawarsita, menggambarkan fase di mana masyarakat mengalami keruntuhan nilai-nilai moral dan etika, yang ditandai oleh penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan ketidakadilan. Beberapa alasan yang menyebabkan terjadinya era Kalabendhu antara lain:
1. Degradasi Moral dan Etika
Seiring berjalannya waktu, masyarakat mengalami penurunan nilai-nilai moral. Ketidakpedulian terhadap etika dan prinsip-prinsip kejujuran membuat praktik-praktik korupsi dan kolusi menjadi hal yang umum. Masyarakat menjadi lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan bersama.
2. Penyalahgunaan Kekuasaan
Penyalahgunaan kekuasaan oleh para penguasa menjadi semakin nyata. Para elit politik menggunakan posisi mereka untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu, sehingga menciptakan ketidakadilan dan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
3. Krisis Ekonomi dan Ketidakstabilan Sosial
Kondisi ekonomi yang buruk, termasuk tingginya angka pengangguran dan kemiskinan, berkontribusi pada ketidakpuasan sosial. Ketidakpastian ekonomi membuat masyarakat rentan terhadap korupsi, karena banyak yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
4. Hilangnya Keterlibatan Masyarakat
Masyarakat kehilangan keterlibatan dan partisipasi dalam proses politik dan sosial. Ketidakpuasan terhadap pemerintah membuat rakyat merasa apatis dan tidak berdaya, sehingga mengurangi kontrol sosial terhadap tindakan penguasa.
5. Krisis Identitas Budaya
Perubahan sosial dan pengaruh budaya asing dapat menyebabkan krisis identitas. Masyarakat mungkin merasa kehilangan jati diri dan nilai-nilai budaya yang telah ada, yang pada gilirannya dapat mengakibatkan fragmentasi sosial dan penurunan solidaritas.
6. Kelemahan Sistem Hukum
Sistem hukum yang lemah dan kurangnya penegakan hukum menciptakan lingkungan di mana tindakan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dapat dilakukan tanpa konsekuensi. Ketidakadilan dalam penerapan hukum memperburuk situasi.
7. Pengaruh Luar
Faktor eksternal, seperti konflik internasional atau pengaruh politik asing, dapat memengaruhi stabilitas dalam negeri. Ketidakmampuan pemerintah untuk menangani tantangan dari luar dan dalam sekaligus dapat menyebabkan keruntuhan lebih lanjut dalam struktur sosial.
Fenomena korupsi di Indonesia adalah masalah yang telah mengakar dan berkembang di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Korupsi sudah lama bukan hanya dianggap sebagai pelanggaran hukum, tetapi juga menjadi bagian dari budaya yang sulit dihapus. Dalam banyak situasi, tindakan korupsi telah dinormalisasi dan dianggap wajar dalam interaksi dengan birokrasi.Â
Hal ini menciptakan kondisi di mana korupsi terus berlangsung, seolah menjadi kebiasaan yang sulit dijauhi.
Sistem pemerintahan yang ada juga berkontribusi pada permasalahan ini. Meskipun Indonesia memiliki berbagai undang-undang untuk melawan korupsi, penegakan hukum sering kali lemah.Â
Dalam beberapa kasus, bahkan penegak hukum sendiri terlibat dalam praktik korupsi, padahal seharusnya mereka berfungsi sebagai pelindung dari tindakan tersebut. Selain itu, rendahnya transparansi dalam pengelolaan anggaran dan proyek publik membuka peluang bagi praktik korupsi. Ketidaktersediaan informasi yang jelas dan sulit diakses membuat masyarakat tidak mampu mengawasi tindakan pemerintah dengan efektif.
Ketidakadilan sosial menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya korupsi. Kesenjangan ekonomi yang signifikan dapat menciptakan peluang bagi individu untuk melakukan tindakan korupsi, terutama bagi mereka yang merasa terpinggirkan. Dalam situasi ini, korupsi sering kali dianggap sebagai cara untuk memperoleh apa yang seharusnya mereka dapatkan.Â
Masyarakat yang kurang berdaya dan tidak memiliki akses pendidikan serta informasi menjadi semakin rentan terhadap praktik-praktik yang merugikan.
Di bidang politik, fenomena korupsi sering kali terkait dengan praktik politik uang. Dalam sistem politik yang memerlukan biaya tinggi untuk kampanye, calon pejabat sering kali merasa terpaksa untuk mengembalikan biaya tersebut dengan melakukan korupsi setelah terpilih. Hubungan patronase antara pejabat publik dan kelompok tertentu juga berkontribusi pada praktik korupsi melalui nepotisme dan kolusi.
Faktor individu seperti moralitas dan etika juga memiliki peran penting dalam fenomena ini. Beberapa orang mungkin terdorong oleh keserakahan atau kebutuhan finansial yang mendesak, sehingga memilih untuk terlibat dalam tindakan korupsi. Ketiadaan pengawasan yang efektif memberi ruang bagi individu untuk beroperasi tanpa takut akan konsekuensi.
Di tengah kondisi ini, krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga publik yang dianggap korup semakin memperburuk situasi. Ketidakpuasan ini sering kali membuat masyarakat apatis dan enggan terlibat dalam proses politik, menciptakan jarak antara rakyat dan pemimpin.
Dengan berbagai faktor ini bersatu, fenomena korupsi di Indonesia menjadi tantangan serius yang memerlukan perhatian dan tindakan dari semua elemen masyarakat. Upaya pemberantasan korupsi yang berkelanjutan, berlandaskan nilai-nilai moral dan etika serta didukung oleh sistem hukum yang kuat, menjadi kunci untuk menciptakan perubahan positif.Â
Hanya dengan langkah-langkah tersebut, harapan untuk mengurangi korupsi dan membangun Indonesia yang lebih baik dapat terwujud.
Mengatasi fenomena korupsi bukanlah hal yang mudah, tetapi ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk menciptakan perubahan positif.
- Pendidikan dan Kesadaran: Pendidikan berperan penting dalam membangun kesadaran akan nilai-nilai etika dan moral. Kurikulum pendidikan seharusnya mencakup nilai integritas dan anti-korupsi, sehingga generasi mendatang memiliki pemahaman yang kuat tentang pentingnya kejujuran dan tanggung jawab sosial.
- Pemberdayaan Masyarakat: Masyarakat perlu diberdayakan untuk berpartisipasi dalam proses pengawasan dan akuntabilitas. Pembentukan komunitas pengawas atau lembaga yang melibatkan masyarakat dalam pengawasan penggunaan anggaran publik dapat mengurangi peluang terjadinya korupsi.
- Penguatan Lembaga Penegak Hukum: Lembaga seperti KPK harus diperkuat dari segi wewenang dan sumber daya untuk menangani praktik korupsi. Penegakan hukum yang tegas dan transparan dapat memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi.
- Transparansi dan Akuntabilitas: Penerapan sistem transparansi dalam pemerintahan dan sektor publik sangatlah penting. Penggunaan teknologi informasi untuk melaporkan dan memantau penggunaan anggaran serta proyek publik dapat membantu mengurangi praktik korupsi.
- Keterlibatan Media: Media memiliki peran krusial dalam pemberantasan korupsi. Dengan menyebarluaskan informasi dan mengungkap praktik korupsi, media dapat meningkatkan kesadaran masyarakat serta mendorong pihak berwenang untuk bertindak.
Daftar Pustaka
Widayati, N. S. (2017). Analisis Nilai-Nilai Moral dalam Karya Ranggawarsita. Jurnal Ilmu Budaya, 3(2), 45-56. Â
Mardiyah, E. (2016). Ranggawarsita dan Konsep Tiga Era dalam Pemikiran Sosial Budaya. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, 2(1), 12-22.Â
Sulaiman, A. (2022). "Krisis Kepercayaan dan Dampaknya terhadap Partisipasi Masyarakat". Jurnal Ilmu Sosial, 15(2), 123-145.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H