ABSTRACT
Single parenting occurs due to divorce or death. Divorce is the breaking of the bond between a husband and wife which results in separation. Divorce is caused by many things, namely the absence of love, failure to communicate, domestic violence, a declining economy, the presence of a third party in the relationship and cultural differences. The impact of divorce by parents can affect the child's physical and psychological, social conditions and the future of the child. Divorce cases that occurred in 2021, increased from the previous year. This has an impact on the achievement of children's development. Efforts to maximize attention, affection and parenting are expected to minimize the impact of single parenting. The role of teachers, parents and the community is very much needed for children who are victims of divorce. This paper aims to provide insight to parents regarding their readiness to become parents and how teachers and parents can help facilitate children who are victims of divorce by their parents. The method used during the research is a literature review.
Keyword :
ABSTRAK
Single parent terjadi karena perceraian atau kematian. Perceraian  merupakan putusnya ikatan hubungan antara sepasang suami dan istri yang berakibat perpisahan. Perceraian disebabkan oleh banyak hal yaitu tidak adanya lagi rasa mencintai, gagalnya berkomunikasi, kekerasan dalam rumah tangga, ekonomi yang menurun, adanya pihak ketiga dalam hubungan dan perbedaan budaya. Dampak perceraian yang dilakukan orang tua dapat berpengaruh pada  fisik dan psikologi anak, keadaan sosial dan masa depan anak. Kasus perceraian yang terjadi pada tahun 2021, semakin meningkat dari tahun sebelumnya. Hal ini berdampak bagi  capaian perkembangan anak. Upaya memaksimalkan perhatian, kasih sayang dan pola asuh diharapkan dapat meminimalisir dampak single parent. Peranan guru, orang tua dan masyarakat sangat  di butuhkan bagi anak korban perceraian. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan wawasan pada orang tua terkait kesiapan menjadi orang tua dan bagaimana guru dan orangtua  dapat bantu memfasilitasi  anak korban perceraian yang dilakukan oleh orang tua.  Metode yang digunakan saat penelitian ialah kajian literatur.
Kata Kunci : Single parent, perkembangan anak, anak usia dini
PENDAHULUAN
Pada tahun ini  peristiwa berakhirnya hubungan perkawinan  meningkat dari tahun sebelumnya. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), terdapat 3,97 juta penduduk yang mengakhiri hubungan perkawinan dengan pasangannya hingga akhir Juni 2021. Jika diprosentasekan aka nada di angka  1,46% dari total populasi Indonesia yang mencapai 272,29 juta jiwa[A1] . Saat terjadi perceraian anak akan mengalami banyak tekanan batin.Â
Perceraian orang tua akan membawa dampak sangat buruk bagi pertumbuhan anak secara khusus selain dari perkembangan mental yang berpengaruh pada  pendidikan dan perubahan social emosional anak dalam lingkungan pada anak. Perubahan social emosional anak akan terjadi, walau sudah diupayakan sebaik mungkin bagaimana proses  penyelesaian perceraian terjadi. Tidak dapat dihindarkan anak akan mengalami perubahan sikap menjadi lebih pasif,  sinis, dingin,  merasa kehilangan hingga  menurunnya prestasi.Â
Kondisi kejiwaan peseerta didik yang oayah ibunya memutuskan menyelesaikan hubungan perkawinan sangat mengkhawatirakan sehingga butuh perhatian khusus dengan pendampingan yang berkelanjutan. Sehingga diharapkan bagaimana kondisi kejiwaannya terus dapat semakin membaik. Hal ini akan berpengaruh pada bagaimana perkembangan bukan hanya kejiwaanya tetapi juga perkembangan social dan pendidikannya juga terdamapak. Saat anak memiliki kondisi kejiwan yang baik maka bagaimana  sikap, pengetahuan dan keterampilannya terus termaksimalkan sehingga dapat lebih maksimal mengaungi kehisupannya di masa selanjutnya (Ramadhani et al., 2016).[A2]
Pendidikan anak usia dini merupakan fondasi dari tumbuhnya karakter  pendidikan sepanjang hayat (long life education) yang merupakan gerbang  utama untuk anak siap menghadapai  kehidupan sesuai jamannya. Masa usia dini ini  merupakan "golden age period" artinya  pada masa emas ini  seluruh aspek perkembangan manusia, baik nilai agama dan moral, fisik motorik, kongnitif, sosial emosional dan seni.Â
Salah satu aspek perkembangan utama yang akan jadi modal seorang manusia dapat berhasil dalam kehiduan adalah sosial emosional. Faktanya  dalam kehidupan perkembangan anak usia dini terkait pembenatukan karakter dipengaruhi oleh lingkungan. Lingkungan itu sendiri terdiri atas tiga yakni lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Keluarga dalam hal ini orang tua  yang lebih banyak membersamai anak akan lebih banyak berpengaruh  dalam membangun kepribadian anak ataupun karakter anak. (Latifah, 2020).
Keluarga adalah  sekelompok manusia  yang diikat oleh pernikahan yang terdiri dari bapak, ibu dan anak. Selain itu keluarga merupakan sekelompok manusia  yang paling pertama berperan dalam kehidupan seorang  manusia, dimana ia bisa mendapatkan banyak ilmu terkait bagaimana hidup dan  mengaktualisasaikan diri melalui hubungan interaksi social  dengan kelompok social  lainnya (Wijayanti et al., 2017). Keluarga sebagai kumpulan manusia atau lingkungan  sosial terdekat tempat terjalinnya hubungan interaksi sudah pasti menjadi kelompok primer yang membentuk norma-norma sosial, internalisasi norma, reference dan behaviorisme.Â
Dalam lingkungan social, keluarga memiliki peran sebagai penerus dan pemelihara secara fisik bagi  anggota keluarga. Keluarga  dalam lingkungan social berperan sebagai anggota masyarakat dan sebagai wadah untuk anak belajar bersosialisasi. Keluarga adalah sekelompok manusia  yang memiliki hubungan pernikahan dan  darah. Dari keluargalah anak  pertama  memperoleh rasa aman. Oleh karena itu dalam  hubungan keluarga sangat dibutuhkan kesepakatan  yang kuat antara dua manusia yang terikat dalam pernikahan. Dalam keluarga yang memiliki ikatan  satu sama lain akan  ditandai dengan rasa  kepercayaan, saling mendukung, saling menjaga dan selalu bersama. (Gunarsa, 2012).
Kehidupan tidak selalu berjalan sebagai mana yang diharapkan banyak persoalan datang silih berganti. Butuh kesiapan mental dari sepasang manusia ini untuk saling memahami dan menguatkan satu sama lain sehingga dapat menjadi keluarga yang Sakinah, mawadah dan warahmah. Pernikahan yang seharusnya hanya dilakukan hanya sekali seumur hidup, karena ketidaksiapan dengan masalah. Orang muslim diutamakan dapat memberi kebermanfaat yang Panjang pada sesame manusia dan mahluk hidup lainnya.Â
Dan bagaimana berupaya menghindarkan keberadaan dirinya menjadi kerugian bagi orang lain. BAgaimana hubungan perkawinan adalah perintah agama Islam sebagai upaya menghindarkan manusia dari perzinahan.. Selain itu dengan perniakahan diharapkan memiliki generasi penerus yang baik dan dapat menjadi pemimpin. Â Sepasang manusia yang akan menikah haruslah tahu aturan agama dan negara terkait hak dan kewajiban dari masing-masing indiviunya, sehingga pernikahannya Sakinah, mawadah warahmah. Â (Wibisana, 2016). [A3]
Pernikahan terjadi karena adanya rasa saling mencintai, menghargai, mengasihi dan saling membangun. Tujuan  pernikahan  tersirat dalam doa pernikahan yang disebutkan di dalam hadits bahwa tujuan pernikahan itu untuk mencapai keb erkahan. (Nazaruddin, 2020).
Beragam tekanan jiwa pasti terjadi pada anak yang hidup dengan Single parents dalam hal ini single mom, sehingga butuh penangan pasca perceraian agar anak tetap dapat melanjutkan  kehidupan dengan lebih baik. Bagaimana peran orang tua dan sekolah membantu anak melewati masa-masa sulit ini, untuk kembali kuat menjalani kehidupan sewajarnya seperti teman-temannya yang lain yang masih utuh hubungan pernikahan orang tuanya.
TUJUAN Â PENELITIAN
Tujuan tulisan ini adalah untuk memberikan wawasan guru dan orang tua  bagaimana memfasilitasi pendampingan bagi anak yang single parents serta dengan siapa dapat bermitra untuk memberikan perlindungan kepada anak korban perceraian yang dilakukan oleh orang tua.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian yang di lakukan yaitu metode studi literatur yaitu serangakain kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat, serta mengelolah bahan penelitian (Y. R. Sari & Ramalis Hakim, 2020). Dengan melakukan studi kepustakaan, peneliti mempunyai pemahaman yang lebih luas dan mendalam terhadap masalah yang hendak diteliti.
Â
HASIL DAN PEMBAHASAN
Upaya meminimalisir dampak single parent bagi tumbuh kembang anak adalah bagian dari cara kita orang dewasa memenuhi hak hidup anak dengan aman, nyaman dan bahagia. Upaya ini dapat maksimal jika kita dapat urai satu persatu dari variable yang ada pada judul artikel ini sebagai berikut :
- Anak Usia Dini
Anak usia dini merupakan masa keemasan golden age period bagi perkembangan seluruh aspek dalam kehidupannya baik itu perkembangan fisik, kognitif, sosial emosional dan pembentukan karakter pada anak (Uce, 2017). Pada pembentukan karakter anak usia dini ini membutuhkan peran penting pola asuh orang tua. Peran orang tua sebagai  pilar utama dalam pendidikan bagi anak usia dini, baik literasi, numerasi dan karakter. Anak usia dini akan  berkembang maksimal jika  mendapatkan stimulus yang baik yang sesuai dengan kebutuhan anak (Martani, 2012).Â
Anak usia dini memiliki sikap yang spontan yang belum bisa membedakan perilaku baik maupun perilaku yang buruk (Ananda, 2017). Lingkungan menjadi salah satu unsur yang mempengaruhi karakter seorang anak, baik lingkungan orang orang terdekat yang memiliki hubungan darah, lingkungan lembaga pendidikan dan masyarakat sekitarnya. (Purba et al., 2021). Orang-orang terdekat yang memiliki hubungan darah dan sering berkumpul Bersama di rumah  [A1] akan lebih banyak berpengaruh  dalam membangun kepribadian anak ataupun karakter anak (Latifah, 2020).
Pendidikan  di masa  usia dini merupakan fondasi dari tumbuhnya karakter  pendidikan sepanjang hayat (long life education). Pendidikan bagi anak usia dini akan menjadi  gerbang  utama untuk anak siap menghadapai kehidupan sesuai jamannya (Kertamuda, 2015) (Prasetiawan, 2019). Masa usia dini ini  merupakan "golden age period" artinya  pada masa emas ini  seluruh aspek perkembangan manusia, baik nilai agama dan moral, fisik motorik, kongnitif, sosial emosional dan seni. Salah satu aspek perkembangan utama yang akan jadi modal seorang manusia dapat berhasil dalam kehiduan adalah sosial emosional (Dewi, 2017).
- Pernikahan
Pernikahan merupakan sebuah hubungan antara suami dan istri yang saling membutuhkan satu sama lain. Bgaimanapun bagi setiap calon pasangan suami istri harus dapat emmahami dahulu bagaimana aturan agama dan negara terkait hubungan pernikahan ini dapat menjadi syah dan membuat nyaman bagi masing-maingnya karena paham hak dan kewajibannya (Wibisana, 2016). Pernikahan terjadi karena adanya rasa saling mencintai, menghargai, mengasihi dan saling membangun. Tujuan  pernikahan  tersirat dalam doa pernikahan yang disebutkan di dalam hadits bahwa tujuan pernikahan itu untuk mencapai keberkahan. Dengan demikian, istilah sakinah, mawaddah wa rahmah bukan ucapan yang seharusnya dipakai, karena dalil ayat yang berkenaan dengan istilah itu konteksnya umum, meliputi seluruh manusia keturunan Adam as, muslim atau non muslim (Nazaruddin, 2020).
- Sebab Terjadinya Single ParentÂ
      Dalam sebuah hubungan ikatan pernikahan tentu tidak selamanya berjalan dengan baik sesuai dengan apa yang kita harapkan. Namun terdapat juga beberapa faktor penghambat di pernikahan. Pernikahan yang seharusnya hanya dilakukan hanya sekali seumur hidup, karena ketidaksiapan dengan masalah.
Perceraian merupakan salah satu faktor penyebab banyaknya single mother di Indonesia. Jumlah perceraian semakin meningkat dari tahun ketahun. Indonesia adalah salah satu negara dengan taraf perceraian yang relatif tinggi. Data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Ditjen Badilag MA), Ketika 2010 ada 285.184 perkara yang berakhir dengan perceraian ke Pengadilan Agama se-Indonesia. Angka tersebut merupakan angka tertinggi sejak 5 tahun terakhir (Fajhrianthi, 2012). Di tahun 2014-2016 perceraian di Indonesia meningkat dari 344.237 di tahun 2014 naik menjadi 365.633 Â di tahun 2016. Rata-rata perceraian naik 3% pertahunnya (Yulianto, 2018).
Kematian merupakan salah satu realitas kehidupan manusia yang sering tidak terelakkan. Kehidupan sepeninggal pasangan ialah peristiwa yang dapat merusak kehidupan emosional, mengganti hubungan individu dengan lingkungan sosialnya dan dapat menyebabkan konflik dalam kehidupan sehabis ditinggalkan pasangan (Lopata dalam Belsky, 1997).Â
Kehilangan pasangan karena kematian merupakan peristiwa yang lebih dapat menimbulkan stres daripada kehilangan pasangan karena perceraian. Mitchell mengatakan (dalam Kasschau, 1993) hal ini dikarenakan individu yang mengalami perceraian masih mempunyai kesempatan untuk memperbaiki korelasi yang telah putus dengan pasangannya serta masih dapat mengharapkan donasi dari pasangannya terutama pada problem yang berkaitan dengan keperluan sekolah anak, pertunangan atau pernikahan anak serta hal-hal lain yang berhubungan dengan kepentingan anak.
- Single Parent
Jika seseorang mampu mengurus anak-anak, berani dan bertanggung jawab dengan segala resikonya sebagai orang tua tunggal itulah disebut single parent. orangtua yang mengasuh anaknya secara sendirian (A. Sari, 2015).
Single parent adalah orang tua tunggal yang memelihara dan membesarkan anak-anaknya tanpa kehadiran atau dukungan dari pasangan. (Rogers et al., 1982). (Gunawan et al., 2006) (Layliyah, 2013).
- Jenis -- jenis Single ParentÂ
Single parent dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
Single father atau orangtua tunggal ayah adalah ayah sebagai orangtua tunggal harus menggantikan peran ibu sebagai ibu rumah tangga yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti membersihkan rumah, memasak dan mengatur pemasukan dan pengeluaran rumah tangga, selain itu juga memperhatikan dan memenuhi kebutuhan fisik dan psikis anak-anaknya, selain kewajiban sebagai kepala rumah tangga yang harus mencari nafkah untuk keluarganya.(Ahsyari, 2014). Â
Single mother adalah adalah ibu sebagai orang tua tunggal harus menggantikan peran ayah sebagai kepala rumah tangga dan juga  harus mencari nafkah  (Rahmawati, 2018). Saat  wanita menjadi orang tua tunggal, proses ini tentu tidak mudah dan terasa berat. Perubahan hidup yang tiba-tiba mengharuskan ia jadi  satu-satunya orang yang bertanggung jawab terhadap kehidupan keluarga. Wanita dituntut menjalankan semua tugas yang sebelumnya ia lakukan bersama pasangannya seperti mengurus rumah, mengurus anak-anak dan sejak kematian suami, seorang ibu harus pula menduduki posisi sang ayah dan bertanggung jawab dalam menjaga perilaku serta kedisiplinan anaknya, kini dengan tugas baru yang harus diembannya itu, ia memiliki tanggung jawab yang jauh lebih sulit dan berat dibanding sebelumnya. Istilah single parent lebih sering digunakan untuk menyebut ibu yang berperan sebagai orang tua tunggal karena kebanyakan anak yang orang tuanya bercerai berada dalam pengasuhan ibu.
- Dampak Single Parent Terhadap Anak
Saat terjadinya proses perceraian orang tua akan memberi dampak negatif bagi pendidikan dan perkembangan jiwa anak. Anak pada umumnya sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya. Suasana dalam keluarga yang berantakan dapat menyebabkan anak tidak memiliki semangat lagi dalam belajar dan memberi dampak negatif pada pertumbuhan anak (M Yusuf, 2014).
Single parents akan berpengaruh pada pekembangan social emosional anak. Kume (2015) menyebut efek dari perceraian adalah berkurangnya. Keluarga yang hubungan antar anggotanya tidak harmonis, penuh konflik, atau gap communication, dapat mengembangkan masalah kesehatan mental (Prayoga, 2013).
Anak yang berasal dari keluarga yang gagal lebih banyak memiliki jati  diri negatif, lebih ekstrim  dalam mengekspresikan perasaan, emmiliki banyak trauma  dan lebih sulit mengontrol jasmaninya daripada anak dari keluarga yang utuh. Menurut Hetherington & Kelly (Papalia & Feldman, 2014) berdasarkan beberapa riset, 25% anak hasil perceraian ketika masa dewasa awal memiliki masalah serius secara sosial, emosional atau psikologis dibandingkan 10% dari anak yang orang tuanya tetap bersama. Amato (2005) mengungkapkan bahwa anak dalam keluarga orangtua tunggal dapat melakukan semua hal dengan baik, tetapi cenderung tidak lancar dalam urusan sosial dan pendidikan dibandingkan anak yang tinggal dengan kedua orangtua (Amato, 2005), (Strohschein, 2005).
Perceraian menimbulkan beragam permasalahan social yang dihadapi anak, selain itu  juga akan  berdampak pula pada permasalahan di sekolahnya. Dampak terhadap anak di lingkungan sekolah juga terlihat dari sikap anak yang  sulit menunda keinginan, suka melanggar peraturan sekolah, mengganggu teman, tidak memperhatikan pelajaran, sering membuat keributan di kelas, mudah menyerah saat menghadapi kesulitan, kurang mau berusaha. Manning & Lamb (2003) menunjukkan bahwa anak yang tinggal dengan orang tua tunggal cenderung memiliki permasalahan di sekolahnya, seperti hubungan dengan guru, pekerjaan rumah, dan perhatiannya di sekolah.
- Upaya Single Parent Dalam Membentuk Perkembangan mental
Saat perceraian terjadi maka bagaimana single parents dapat tetap memaksimalkan pengasuhan  pada anak menjadi salah satu solusi. Keadaan anak menjadi lebih baik setelah perceraian dengan posisi single parent jika tetap memiliki kehangatan, penuh dukungan, pola asuh otoritatif, mendampingi  aktivitas anak, dan memiliki harapan sesuai usia anak. Ahrons & Tanner (2003). Cara mendidik ayah bundanya  menurut Casmini dalam Marlina (2014: 10) adalah bagaimana ayah bunda memberikan pendampingan bagi anak untuk terus dapat memperkuat potensi sikap, pengetahuan dan keterampilan dari buah hatinya hingaa meraka siap menjalani secara mandiri kehidupan selanjutnya. Sesuai dengan nilai agama dan budaya di lingkungannya.Â
Pola asuh yang diterapkan single parents dalam membentuk generasi anak sholeh dengan cara menanamkan pengetahuan agama kepada anak-anaknya sejak dini dan juga memperlihatkan keteladanan  untuk ditiru anak-anaknya, akan membentuk karakter anak yang tangguh dan mandiri (Anugrah D, 2020).
 Capaian perkembangan sosial emosional anak usia dini dengan single parent  dipengarui oleh pola asuh orang tua dan latar belakang single parent orang tuanya (Lestari et al., 2015). Sehingga bagaimana orang tua dapat menerapkan pola asuh terbaik bagi anak menjadi kunci utamanya. Pola asuh adalah bagaimana cara ayah dan ibu dalam memberikan kasih sayang dan cara mengasuh mempunyai pengaruh yang sanagt besar bagi pertumbuhan dan perkembangan anak (Ayun, 2017).
Orang tua di Indonesia memiliki beragam model dan tipe gaya asuh. Model pola asuh ada yang berupa model  kepemimpinan, pemimpin dan pengikut. Di Indonesia ada kepemimpinan Ki Hajar Dewantara dan Kepemimpinan Pancasila. Selain itu pola asuh orang tua memiliki beberapa tipe yaitu authoritarian (otoriter),  Authoritative/ Demokratis, Asuh Permisif, Asuh Laissez Faire, Fathernalistik, Karismatik, Melebur Diri, Pelopor, Manipulasi, Transaksi, Biar Lambat Asal Selamat, Alih Peran, Pamrih, Konsultasi, dan Militeristik.
Beragam  model dengan tipe pola asuh diatas dapat digunakan oleh orangtua dalam memberikan pengasuhan pada anak-anaknya. Berbagai macam jenis pola asuh diatas dapat di variasikan untuk beragam kepentingan yang memaksimalkan upaya  dalam mendidik anak-anaknya. Setiap usaha memberikan yang terbaik bagi anak tetap harus dilihat dari kebutuhan dan keminatan anak yang memiliki hak dan kewajiban sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Terkadang masih banyak orang tua hanya melihat dari kacamata dirinya yang terbaik bagi anak tanpa melihat kebutuhan dan kerakteristik anak (Masni, 2017).
Peran Perempuan Single Parent dalam menjalankan Fungsi Keluarga harus dapat  menekankan pentingnya komunikasi terbuka dan pengungkapan perasaan, sehingga aspirasi dan suara anak dapat didengar. Selain itu perempuan single parent hendaknya bisa menerapkan disiplin secara konsisten dan demokratis, dengan kata lain perempuan single parent tidak berlaku kaku dan tidak longgar.  Perempuan yang telah mengakhiri hubungan pernikannya harus memiliki pengetahuan yang lebih luas terkait bagaimana memberi dukungan lebih kondisi perkembangan kejiwaan dan fisik anaknya. Demikian juga dengan masyarakat sekitar anak korban putusnya hubungan pernikahan dapat membantu memberi dukungan perhatian memfasilitasi kondisi kejiwaan anak tetap dapat maksimal baik sikap , pengetahuan dan keterampilannya (Rika, n.d.).
Setiap anak membutuhkan perhatian dan kasih sayang melalui  pola asuh otoritatif sebagaimana anak juga membutuhkan gizi. Perhatian dan kasih sayang dengan pola asuh otoritatif ini sebaiknya  dapat diberikan berkesinambungan  oleh keluarga, masyarakat maupun sekolah.  Seperti juga saat anak mengalami kekurangan gizi akan menimbulkan gangguan jasmani, maka  kekurangan perhatian dan kasih sayang dengan penerapan pola asuh yang salah akan mengakibatkan munculnya gangguan emosional pada anak.
KESIMPULAN
Pernikahan merupakan sebuah hubungan antara suami dan istri yang saling membutuhkan satu sama lain. Dalam sebuah hubungan ikatan pernikahan tentu tidak selamanya berjalan dengan baik sesuai dengan apa yang kita harapkan. Saat terjadinya proses perceraian orang tua akan memberi dampak negatif bagi pendidikan dan perkembangan jiwa anak. Anak pada umumnya sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya.
Suasana dalam keluarga yang bercerai  dapat menyebabkan anak tidak memiliki semangat lagi dalam belajar dan memberi dampak negatif pada perkembangan  emosional  anak yang akhirnya berdamapak pada aspek  perkembangan  anak lainnya.
Dampak perceraian akan dapat di perkecil jika seluruh bagian dari lingkungan anak dapat berkesinambungan memberikan perhatian, kasih sayang dan pola asuh otoritatif.
Â
REFERENSI
Ahsyari, E. R. N. (2014). Kelelahan Emosional Dan Strategi Coping Pada Wanita Single Parent (Studi Kasus Single Parent Di Kabupaten Paser). Psikoborneo: Jurnal Ilmiah Psikologi, 2(3).
Ananda, R. (2017). Implementasi nilai-nilai moral dan agama pada anak usia dini. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 1(1), 19--31.
Anugrah D, A. D. (2020). Peran Single Parents dalam Membentuk Generasi Anak Saleh di Kota Parepare: Perspektif Hukum Keluarga Islam. IAIN Parepare.
Ayun, Q. (2017). Pola asuh orang tua dan metode pengasuhan dalam membentuk kepribadian anak. ThufuLA: Jurnal Inovasi Pendidikan Guru Raudhatul Athfal, 5(1), 102--122.
Dewi, K. (2017). Pentingnya Media Pembelajaran untuk Anak Usia Dini. Raudhatul Athfal, 1.
Gunarsa, Y. S. D. (2012). Asas-Asas Psikologi Keluarga Idaman, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.
Gunawan, R., Gadkar, K. G., & Doyle III, F. J. (2006). 11 Methods to Identify Cellular Architecture and Dynamics from Experimental Data. System Modeling in Cellular Biology, 221.
Kertamuda, M. A. (2015). Golden Age-Strategi Sukses membentuk Karakter Emas pada Anak. Elex Media Komputindo.
Latifah, A. (2020). Peran Lingkungan Dan Pola Asuh Orang Tua Terhadap Pembentukan Karakter Anak Usia Dini. JAPRA) Jurnal Pendidikan Raudhatul Athfal (JAPRA), 3(2).
Layliyah, Z. (2013). Perjuangan hidup single parent. The Sociology of Islam, 3(1).
Lestari, I., Riana, A. W., & Taftazani, B. M. (2015). Pengaruh gadget pada interaksi sosial dalam keluarga. Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 2(2).
M Yusuf, M. Y. (2014). Dampak perceraian orang tua terhadap anak. Jurnal Al-Bayan: Media Kajian Dan Pengembangan Ilmu Dakwah, 20(1).
Martani, W. (2012). Metode stimulasi dan perkembangan emosi anak usia dini. Jurnal Psikologi, 39(1), 112--120.
Masni, H. (2017). Peran Pola Asuh Demokratis Orangtua Terhadap Pengembangan Potensi Diri Dan Kreativitas Siswa. Jurnal Ilmiah Dikdaya, 6(1), 58--74.
Nazaruddin, N. (2020). SAKINAH, MAWADDAH WA RAHMAH SEBAGAI TUJUAN PERNIKAHAN: TINJAUAN DALIL DAN PERBANDINGANNYA DENGAN TUJUAN LAINNYA BERDASARKAN HADITS SHAHIH. Jurnal Asy-Syukriyyah, 21(02), 164--174. https://doi.org/10.36769/asy.v21i02.110
Prasetiawan, A. Y. (2019). Perkembangan Golden Age Dalam Perspektif Pendidikan Islam. TERAMPIL: Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran Dasar, 6(1), 100--114.
Purba, S., Iskandar, A., Khalik, M. F., Syam, S., Purba, P. B., Saputro, A. N. C., Sundulusi, H. C. Bin, Karwanto, K., Kato, I., & Ili, L. (2021). Landasan Pedagogik: Teori dan Kajian. Yayasan Kita Menulis.
Rahmawati, W. D. (2018). Gambaran Coping Pada Single Mother. Universitas Mercu Buana Yogyakarta.
Ramadhani, T., Djunaedi, D., & Sismiati, A. (2016). Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) Siswa Yang Orangtuanya Bercerai (Studi Deskriptif yang Dilakukan pada Siswa di SMK Negeri 26 Pembangunan Jakarta). Insight: Jurnal Bimbingan Konseling, 5(1), 108--115.
Rika, D. M. (n.d.). PERAN PEREMPUAN SINGLE PARENT DALAM MENJALANKAN FUNGSI KELUARGA (Studi di Perumahan Wadya Graha II Kelurahan Delima Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru).
Rogers, M., Miller, N., Mayer, F. S., & Duval, S. (1982). Personal responsibility and salience of the request for help: Determinants of the relation between negative affect and helping behavior. Journal of Personality and Social Psychology, 43(5), 956.
Sari, A. (2015). Model Komunikasi Keluarga Pada Orangtua Tunggal (Single Parent) Dalam Pengasuhan Anak Balita. Avant Garde, 3(2).
Sari, Y. R., & Ramalis Hakim, Mp. (2020). Penggunaan Model Pembelajaran Picture and Picture Meningkatkan Hasil Belajar Seni Rupa di Sekolah Menengah Pertama. Serupa The Journal of Art Education, 9(2).
Uce, L. (2017). The golden age: Masa efektif merancang kualitas anak. Bunayya: Jurnal Pendidikan Anak, 1(2), 77--92.
Wibisana, W. (2016). Pernikahan dalam islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam-Ta'lim, 14(2), 185--193.
Wijayanti, C. I. A., Suardana, I. P. O., & Bangli, S. S. (2017). PENGEMBANGAN MODEL PEMBINAAN BAHASA INDONESIA PADA ANAK-ANAK USIA SEKOLAH DASAR MENGGUNAKAN PENDEKATAN BERMAIN BONEKA TANGAN. Buku Proceeding Konferensi Nasional Guru Dan Inovasi Pendidikan (KONASGI), 121.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H