Â
HASIL DAN PEMBAHASAN
Upaya meminimalisir dampak single parent bagi tumbuh kembang anak adalah bagian dari cara kita orang dewasa memenuhi hak hidup anak dengan aman, nyaman dan bahagia. Upaya ini dapat maksimal jika kita dapat urai satu persatu dari variable yang ada pada judul artikel ini sebagai berikut :
- Anak Usia Dini
Anak usia dini merupakan masa keemasan golden age period bagi perkembangan seluruh aspek dalam kehidupannya baik itu perkembangan fisik, kognitif, sosial emosional dan pembentukan karakter pada anak (Uce, 2017). Pada pembentukan karakter anak usia dini ini membutuhkan peran penting pola asuh orang tua. Peran orang tua sebagai  pilar utama dalam pendidikan bagi anak usia dini, baik literasi, numerasi dan karakter. Anak usia dini akan  berkembang maksimal jika  mendapatkan stimulus yang baik yang sesuai dengan kebutuhan anak (Martani, 2012).Â
Anak usia dini memiliki sikap yang spontan yang belum bisa membedakan perilaku baik maupun perilaku yang buruk (Ananda, 2017). Lingkungan menjadi salah satu unsur yang mempengaruhi karakter seorang anak, baik lingkungan orang orang terdekat yang memiliki hubungan darah, lingkungan lembaga pendidikan dan masyarakat sekitarnya. (Purba et al., 2021). Orang-orang terdekat yang memiliki hubungan darah dan sering berkumpul Bersama di rumah  [A1] akan lebih banyak berpengaruh  dalam membangun kepribadian anak ataupun karakter anak (Latifah, 2020).
Pendidikan  di masa  usia dini merupakan fondasi dari tumbuhnya karakter  pendidikan sepanjang hayat (long life education). Pendidikan bagi anak usia dini akan menjadi  gerbang  utama untuk anak siap menghadapai kehidupan sesuai jamannya (Kertamuda, 2015) (Prasetiawan, 2019). Masa usia dini ini  merupakan "golden age period" artinya  pada masa emas ini  seluruh aspek perkembangan manusia, baik nilai agama dan moral, fisik motorik, kongnitif, sosial emosional dan seni. Salah satu aspek perkembangan utama yang akan jadi modal seorang manusia dapat berhasil dalam kehiduan adalah sosial emosional (Dewi, 2017).
- Pernikahan
Pernikahan merupakan sebuah hubungan antara suami dan istri yang saling membutuhkan satu sama lain. Bgaimanapun bagi setiap calon pasangan suami istri harus dapat emmahami dahulu bagaimana aturan agama dan negara terkait hubungan pernikahan ini dapat menjadi syah dan membuat nyaman bagi masing-maingnya karena paham hak dan kewajibannya (Wibisana, 2016). Pernikahan terjadi karena adanya rasa saling mencintai, menghargai, mengasihi dan saling membangun. Tujuan  pernikahan  tersirat dalam doa pernikahan yang disebutkan di dalam hadits bahwa tujuan pernikahan itu untuk mencapai keberkahan. Dengan demikian, istilah sakinah, mawaddah wa rahmah bukan ucapan yang seharusnya dipakai, karena dalil ayat yang berkenaan dengan istilah itu konteksnya umum, meliputi seluruh manusia keturunan Adam as, muslim atau non muslim (Nazaruddin, 2020).
- Sebab Terjadinya Single ParentÂ
      Dalam sebuah hubungan ikatan pernikahan tentu tidak selamanya berjalan dengan baik sesuai dengan apa yang kita harapkan. Namun terdapat juga beberapa faktor penghambat di pernikahan. Pernikahan yang seharusnya hanya dilakukan hanya sekali seumur hidup, karena ketidaksiapan dengan masalah.
Perceraian merupakan salah satu faktor penyebab banyaknya single mother di Indonesia. Jumlah perceraian semakin meningkat dari tahun ketahun. Indonesia adalah salah satu negara dengan taraf perceraian yang relatif tinggi. Data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Ditjen Badilag MA), Ketika 2010 ada 285.184 perkara yang berakhir dengan perceraian ke Pengadilan Agama se-Indonesia. Angka tersebut merupakan angka tertinggi sejak 5 tahun terakhir (Fajhrianthi, 2012). Di tahun 2014-2016 perceraian di Indonesia meningkat dari 344.237 di tahun 2014 naik menjadi 365.633 Â di tahun 2016. Rata-rata perceraian naik 3% pertahunnya (Yulianto, 2018).
Kematian merupakan salah satu realitas kehidupan manusia yang sering tidak terelakkan. Kehidupan sepeninggal pasangan ialah peristiwa yang dapat merusak kehidupan emosional, mengganti hubungan individu dengan lingkungan sosialnya dan dapat menyebabkan konflik dalam kehidupan sehabis ditinggalkan pasangan (Lopata dalam Belsky, 1997).Â
Kehilangan pasangan karena kematian merupakan peristiwa yang lebih dapat menimbulkan stres daripada kehilangan pasangan karena perceraian. Mitchell mengatakan (dalam Kasschau, 1993) hal ini dikarenakan individu yang mengalami perceraian masih mempunyai kesempatan untuk memperbaiki korelasi yang telah putus dengan pasangannya serta masih dapat mengharapkan donasi dari pasangannya terutama pada problem yang berkaitan dengan keperluan sekolah anak, pertunangan atau pernikahan anak serta hal-hal lain yang berhubungan dengan kepentingan anak.
- Single Parent