Mohon tunggu...
Sari Puspita Dewi
Sari Puspita Dewi Mohon Tunggu... Dosen - a lifelong learner

Dosen Bahasa Inggris PNJ | Penerjemah | Editor | Awardee of LPDP 2019 | YT channel: Miss Sariy

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Mana Amah?

9 Mei 2020   14:47 Diperbarui: 8 Juni 2020   10:48 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Amah bade ka mana?" rengekku.

"Amah bade damel, milarian artos. Kanggo anjeun, supados sakola tinggi. Ulah kayak Abah Amah."

Itu kali terakhir kulihat ibuku bersama senja yang mengiringinya, pergi menjadi TKW dan berjanji berkumpul lagi tahun depan.
Aku hanya mengangguk menuruti nasehat ibuku yang mau bekerja cari uang agar aku bisa terus sekolah hingga bangku kuliahan, walaupun aku tidak paham; kenapa harus kerja di negeri orang seperti Ceu Imah dan Wak Enih yang rumahnya gedong itu? Ya, walau rumah gedong tapi kan kasihan si Ujang, si Neng jadi jarang bertemu ibunya. Gumamku.
Hari-hari berlalu tanpa kabar dari Amah; tak terasa dua tahun sudah. Kukuatkan saja hatiku bahwa Amah baik-baik saja selama ini. Sayangnya, Abah tidak sekuat aku dan memutuskan untuk membangun rumah tangga baru bersama Ibu Ida jauh dari kota kelahiranku; Indramayu. Aku enggan ikut Abah, akhirnya aku dibesarkan oleh Nin, beliau adalah ibu dari ibuku.

Suatu hari di bulan puasa, aku merasa rindu dengan Abah dan berharap ia berkunjung saat Lebaran.

"Nin. Apa Lebaran kali ini Abah akan pulang?" tanyaku sambil angkat jemuran baju.

"Teu ngartos. Sudahlah, Gun. Rumah Abah mu jauh dari sini, mungkin teu aya ongkos ka mari. Sabar wae atuh nyak." jawab Nin dengan bijak sambil memisahkan hasil petikan singkong; untuk dijual dan untuk dimasak.

Selama Abah punya keluarga baru, sepertinya kami terlupakan karena tidak pernah serupiah pun ia kirim kepada Nin untuk kehidupan kami sehari-hari. Jangankan uang, kasih sayang Abah pun rasanya tidak pernah menghampiri rumah gubuk reyot Nin yang kami tempati.

Walau demikian, kami tidak pernah kelaparan. Ada saja rejeki makan dan minum melalui tetangga-tetangga baik hati. Bahkan, untuk biaya sekolah pun selalu ada uluran tangan guru, dan pemerintah hingga aku bisa mencicip bangku kuliah di Jakarta. Iya, untuk makan sehari-hari saja aku sudah merepotkan Nin, jadi aku harus berusaha mencari jalan untuk membiayai sekolahku dengan meraih bantuan dana dari sumber mana pun. Tak sedikit guru dan kepala sekolah yang membantuku mulai dari uang jajan sehari-hari hingga pendaftaran Beasiswa Bidikmisi.

Selama lebih dari satu dekade aku merindukan ibu yang tak kunjung memberi kabar. Bahkan agen yang memberangkatkan saja sudah lenyap ditelan bumi. Di mana kau, Amah? Tak rindu kah kau pada anak semata wayangmu? Tangisku di atas sejadah.

Tak terasa, tiba waktuku merantau ke Jakarta untuk kuliah. Berbekal do'a restu Nin, aku langkahkan kakiku naik ke atas bus, pertama kalinya keluar dari Kabupaten Indramayu.

"Baik-baik ya Nin di rumah. InsyaAllah tiap libur kuliah, Gun akan pulang." ucapku bergetar.

Dan bus semakin menjauh dari Nin yang melambai kepadaku sambil menangis.

---/---

Suatu hari saat pulang kuliah, ibu kost menghampiriku tergesa-gesa.

"Gun.. Kowe sudah lihat berita po? Ada TKW asal Indramayu mati disiksa, Gun! Namanya Saidah, puersis nama ibumu. Ya Allah Gusti, sing sabar yo le..."
Bagai tanpa tulang, seluruh tubuhku jatuh lunglai.
Setelah mencari informasi dengan jernih berpikir, kuputuskan untuk melihat jenazahnya. Sebagai laki-laki aku harus kuat. Setidaknya do'aku terkabul bahwa aku bisa bertemu ibuku kembali, walau mungkin tak bernyawa lagi.

"Silakan masuk, mas." ujar petugas.

Aroma formalin tajam menusuk hidung. Kakiku tiba-tiba kaku masuk ruangan sedingin kulkas. Setelah kami saling berhadapan, pelan-pelan dibuka kain putih itu. Aduh! Ku tak sanggup! Sebentar, tarik nafas dulu.

"Huffff....haaahhh..." Baiklah aku siap melihatnya dari dekat. Perlahan tersibak wajah biru dan data lengkap di sebelahnya.

"Ya Allah. Ini bukan Amah! Ini Saidah yang lain! Alhamdulillah!" jeritku dalam hati.

Namanya Ibu Saidah binti Saepulah. Aku tidak begitu mengenalnya karena ia tinggal di desa sebelah, namun aku kenal keluarganya. Ceu Kokom, adik bungsunya, menikah dengan guru ngaji di desaku. Tidak kusangka akhir hidup Ibu Saidah sangat naas. Tetapi, di sisi lain aku lega karena bukan Amah di posisi itu.

---/---

Tujuh tahun berlalu sejak peristiwa itu dan belum juga ada kabar dari ibuku. Aku pun bukan lagi mahasiswa. Sekarang statusku menjadi orang kantoran dengan penghasilan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Sayangnya, Nin tidak sempat mencicip jerih payahku. Ia dipanggil ilahi tepat sehari aku wisuda. Dan aku masih ingat wasiat yang ia hembuskan di nafas terakhirnya.

"Gun, Nin sudah tidak kuat. Nin mau nyusul Aki." bisiknya lirih.

"Tunggu, Nin. Jangan tinggalin Igun, Nin. Igun sama siapa lagi? Igun engga punya siapa-siapa, Nin..." jawabku terisak.

"Gun, jangan pernah berpikir kamu sebatang kara di dunia ini. Ada Alloh, Gun, Gusti Alloh. Nin tenang karena Alloh selalu menjaga kamu." suaranya bergetar diiringi air mata deras. Jarinya yang berkeriput menggenggam tanganku erat. Kalimah tauhid menjadi kalimat terakhirnya yang keluar dari bibir mungilnya.

"La ilaha illallah..." tertutup sudah mata teduh itu, selamanya.

"Eniiiiiinnnn!!! Ya Alloh... kenapa pedih takdirku?!!" jeritku terdengar sampai rumah-rumah tetangga. Mereka bergegas menenangkanku dan membantu penguburan Nin.

Nin. Tumpah air mataku jika mengingatnya. Namun, wasiat itu lah yang menguatkanku dalam mengarungi hidup. Sejatinya ada keajaiban Tuhan melalui kebaikan orang-orang yang kujumpai. Aku tidak pernah diabaikan dunia, selalu ada sahabat penyemangat, guru-dosen yang penyayang dan ibu kos yang pengertian. Namun, rasa sepi itu tetap ada mengiris luka yang menganga menyisakan pertanyaan;

Amah, kenapa kau tak pulang-pulang?

Lupa kah engkau denganku?

Aku anakmu, lelaki kecil berambut merah yang selalu mimisan ini sudah jadi pria dewasa yang matang. Kulitku pun sudah lebih cerah kena AC kantoran. Amah pasti sulit mengenalku sepintas. Tenang Amah, aku yang akan lebih dulu mengenalmu. Tenang, kita pasti akan bertemu! Tahun depan tabunganku cukup untuk mencarimu di negeri itu.

Sambil batinku berbicara, kulanjutkan menyeruput teh buatan mas Gino, OB paling rajin di kantor ini.

-- bersambung --

oleh Sari Puspita Dewi

"Di mana Amah?" bagian 1

link cerpen "Di mana Amah?" bagian 2: bit.ly/cerpendimana2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun